Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) musim kemarau di Indonesia pada 2014 ini akan berlangsung mulai Mei. Suasana terik, panas dan sumuk di siang hari dilanjutkan dengan penurunan suhu yang tajam di tengah malam akan mudah ditemui. Tetapi kali ini saya tidak akan berbagi tentang cuaca dalam makna denotatifnya, karena saya tidak ahli di bidang itu. Kita bahas cuaca yang lain saja. Yaitu cuaca yang juga sedang terik di atas panggung politik.
Seusai gegap gempita pemilihan anggota legislatif April lalu, secara maraton kita disambungkan dengan hiruk pikuk pemilihan presiden. Suasana semakin menggempita ketika ternyata hanya dua calon yang tersedia. Layaknya tak ada putaran kedua, polarisasi ini membikin energi masing-masing calon dipertaruhkan semua untuk kemenangan 9 Juli. Habis-habisan, head to head, panas, “sumuk” dan sering membuat gerah karena berseliwerannya terror dan fitnah.
Malam hari ketika saya menuangkan tulisan ini, debat capres putaran pertama baru saja dilangsungkan. Di media sosial, mungkin lebih dari 90 persen account aktif yang saya baca mendadak "berstatus" politis. Debat capres! Ya, mereka saling klaim dengan membuat score yang memenangkan jagoannya masing-masing. Yang satu berpendapat capres A sebagai pemenang debat, lainnya menilai capres B yang menguasai permainan. Tentu statusnya dibumbui juga dengan komentar-komentar agitatif, bernada ejekan, olok-olok dan melecehkan.
Orang-orang awam non partisan, umumnya akan mengikuti kehendak media yang paling cerdik dalam mengarahkan opini publik. Sehingga masyarakat umumnya akan mengambil kesimpulan berdasarkan informasi yang ia terima meski ala kadarnya. Mentah-mentah, emosional tanpa pendalaman, tanpa proses balancing dari sudut pandang dan sumber berita yang berbeda, serta tanpa melakukan check dan recheck atas keotentikan berita. Barangkali memang sudah watak kita yang mudah sekali terprovokasi oleh berita yang datang meski bisa jadi kualitas datanya tak seimbang.
Kelemahan ini pun dimanfaatkan dengan jeli oleh timses dan para simpatisan untuk secara massive dan tanpa jeda menciptakan persepsi yang menguntungkan jagoannya. Maka kemudian kita jamak mengenal istilah settingan, pencitraan, playing victim, negative campaign, bahkan fitnah terang-terangan demi membunuh karakter lawan.
Tak peduli jika harus menabrak nilai-nilai moral dan agama, yang penting ambisi politik terpenuhi dan kepentingan dunianya tercapai. Tak aneh rasanya jika kemudian ada capres yang dituduh psikopat (sedangkan yang tahu seseorang psikopat atau tidak hanya dokter pemeriksanya dan Tuhan), ada juga yang didakwa beretnis cina (apa yang salah dengan etnis cina?) bahkan diragukan keislamannya.
Kita sebagai Konsumen Berita
Sebagai konsumen berita, kita diperintahkan untuk berhati-hati dalam mengambil sikap atas berita yang ada. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat : 6)
Lihatlah, betapa Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk tidak mudah terprovokasi dan terburu-buru dalam memberikan vonis. Karena bisa jadi berita yang seakan nyata itu sebenarnya hanyalah setumpuk persangkaan yang dikonstruksi dari asumsi-asumsi sumir, dari landasan berfikir yang tidak kuat. Maka, ayat di atas seharusnya menjadi batu penjuru agar tidak terjadi kedzaliman menimpa suatu ummat karena akibat kebodohan kita.
Ayat tersebut adalah pesan penting yang mengajarkan kepada kita agar bertindak proporsional. Sesuai kadarnya. Ayat ini juga secara lugas mengarahkan kita untuk menjadi penilai yang cerdas dan menjadi pengambil kesimpulan yang obyektif melalui proses check dan recheck atau tabayyun. Imam al Hasan al Bashri berkata,"Seorang mukmin adalah abstain (diam) sehingga dia bertabayyun.”
Bagi seorang muslim, jika mendengar berita tentang seseorang, maka selayaknya dilihat terlebih dahulu latar belakang para penyampai berita. Karena bisa jadi dia sedang ada sengketa dengan orang yang diberitakan, sehingga nilai beritanya timpang dan tak layak dijadikan rujukan. Dalam konteks kampanye politik, ketika ada berita hitam yang berasal dari orang-orang dengan sarat kepentingan, apakah masih layak informasi itu kita jadikan pegangan? Anda pasti lebih bisa menilainya.