Mohon tunggu...
Danang Kristianto
Danang Kristianto Mohon Tunggu... penulis -

tidak pernah berhenti belajar dan akan selalu begitu....

Selanjutnya

Tutup

Money

Bahaya Perspektif "Hedonis" Bagi generasi jejaring sosial

1 September 2017   01:34 Diperbarui: 1 September 2017   02:10 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa bermaksud menggurui, penulis berusaha mencermati akan sebuah pola hidup generasi terbarukan. Terbarukan begitu istilah yang saya pilih untuk mencoba mendeskripsikan masyarakat  "era digital media" atau generasi sosial media

Demam enterpreunership yang disalah artikan sebagai sebuah cara memperoleh kelayakan hidup dengan cara mendirikan sebuah peluang usaha secara instan dengan bermodal  pada pinjaman uang dengan antusias yang membara dan penuh harap akan momentum kesuksesan. Ya, memang setiap kita pasti merindukan momentum kesuksesan yang besar. Tetapi tak sedikit yang hanya mengikuti tren yang terjadi. Alhasil mereka hanya terjebak pada penambahan "Liabilitas" daripada berfokus pada "Asset"

Memperhatikan pada generasi muda "era digital media" akhir- akhir ini, masih banyak yang dengan perasaan bangga berlomba memamerkan pembelanjaan barang-barang konsumtif walaupun tak sedikit yang memilikinya dengan cara berhutang atau kredit. Hal itu sebagai efek mata rantai dari banyaknya penyedia jasa leasing  dengan berjuta strategi kemahiran pemasaran? Lalu apakah generasi muda ini hanya akan jadi korban "target market" para leasing?

Bertahun-tahun bekerja gaji habis hanya untuk membayar cicilan ini dan itu.

Berusaha menyusun sebuah konsep usaha, tanpa sadar usia sudah menua sedang menghabiskan usianya hanya untuk sebuah gaya hidup hedonis?

Atau memulai usaha yang berujung pada kasus pembelitan hutang pinjaman bank?

Dalam sebuah buku Robert Kiyosaki,  berjudul "Rich dad, poor dad" sebenarnya saya tidak terlalu hafal benar. Hanya satu hal yang masih saya ingat adalah tentang pentingnya memilah antara Asset dan liabilitas dalam implementasi kehidupan.

Saya hanyalah seorang tukang las, real dan bukan citraan tulisan. Selama bekerja disebuah bengkel las mungkin saya satu-satunya yang dijuluki aneh. Karena pada usia 20 tahunan anak muda biasa  senang membeli gadget bagus dan terbaru, motor yang kekinian sampai berlomba belanja di mall alih-alih memburu diskon. 

Dan harus jujur saya akui bahwa saya tidak tertarik. Saya habiskan uang bayaran saya tidak juga untuk orang tua, seperti banyak alasan pemuda yang gagal menabung. Saya habiskan uang itu membeli sedikit demi sedikit peralatan yang menunjang profesi saya, seperti bor, gerinda, travo las dan lain sebagainya karena menurut saya itu lah yang akan menjadi asset saya dan barang2 itulah yang akan mencarikan uang untuk saya dibanding kendaraan yang akan hanya sebagai liabilitas yang terus turun "nilai bukunya" dan memerlukan banyak pengeluaran dalam perawatannya.

Tetapi tidak lantas selamanya saya tidak memiliki kendaraan karena setelah asset asset saya berjalan sebagaimana fungsinya, maka kendaraanpun terbeli dengan sendirinya. Saya tidak mengatakan gaya hidup "hedonis" itu seratus persen buruk. Hanya banyak yang membalik prosesnya. Ibarat membangun rumah, mereka mendirikan bata diatas tanah bukan pondasi.

Baru lah setelah asset saya bekerja, saya mulai memikirkan bagaimana asset saya berkembang. Dengan informasi mengenai kemana saya harus melakukan pemutaran uang dari kelebihan laba  yang saya dapat. Teman saya menyarankan untuk ke bank berlogo LPS. Awalnya saya saya tidak sejalan dengan teman saya karena kebijakan LPS saat itu menghapus adanya Blanket guarantee. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun