Menyusuri hutan dataran rendah di Taman Nasional Tesso Nilo adalah melihat langsung hutan yang porak poranda, rusaknya ekosistem melukiskan betapa ganasnya perambahan memiliki andil besar dalam degradasi lingkungan dan deforestasi, rasa ngeri tak terbendung saat menyaksikan ratusan hektar lahan yang gundul, pohon-pohon tumbang tak berdaya dan bara yang masih menyala dari sisa-sisa pembakaran di pangkal pohon-pohon besar.
Dalam perjalan ekspedisi yang terdiri dari 2 perwakilan Green Radio Pekanbaru, 4 Perwakilan dari Balai TNTN, 3 Personil TNI,  2 Volunteer WWF dan 2 perwakilan masyarakat menembus hutan dari utara ke selatan sepanjang 39 Kilo meter dengan waktu efektif selama 10 hari, kami seringkali melewati rute dengan jalan rintisan yang sukar ditembus, namun sangat  bersyukur berkesempatan melihat keaslian kondisi hutan yang masih ada, hutan sisa ini barangkali masih bisa diupayakan untuk tetap lestari dan selamat dari lajunya perambahan hutan yang gila-gilaan, sangat masif...!
(Penampakan Burung elang )
Jejak-jejak satwa sesekali kami temui, berjumpa dengan  labi-labi, melewati jejak-jejak gajah, jejak kijang, jejak beruang  dan jejak harimau yang tertinggal di hamparan pasir putih sungai Sawan, menatap langit dengan pemandangan burung elang  yang sedang terbang bebas dan tinggi di atas hutan Taman nasional Tesso Nilo. Beruntung tim ekspedisi masih sempat mendokumentasikan itu dalam beberapa bidikan kamera, momen ini sangat berharga.
Ketika tiba di pinggiran sungai dengan hamparan pasir yang memukau, disini tenda kembali didirikan dan kami menamainya camp pantai, selain lokasi yang strategis untuk mendapatkan air minum, memasak, mandi dan kegiatan lainnya, pemandangannya cukup berkesan hamparan pasir putih yang nyaris belum terinjak manusia lain, gelombang pasir seperti dilukis air dan angin, lokasi ini adalah hadiah setelah melalui rute yang sukar akhirnya kelelahan terbayar.
Saking senangnya mendapatkan tempat bermalam yang mempesona, seluruh tim menghampiri tepian sungai, sekedar cuci muka dan merendam kaki, sebelum tenda berdiri sebagian anggota tim melepas lelah diatas pasir, di sekelilingnya masih rimbun tertutup dengan pepohonan, airnya jernih, udaranya segar dan saya merebahkan diri setelah menanggalkan baju yang basah oleh keringat, pasir yang masih hangat meresap ke punggung seperti dipijit-pijit oleh tangan kecil rasanya, anggaplah terapi! apapun insiden yang terjadi menimpa kami, selalu anggap sebagai sebuah terapi termasuk ketika tersengat tawon dan tertusuk duri salak hutan atau rotan, tak pelak keluar candaan "anggap saja terapi".
Â
Yang mengejutkan adalah tanda-tanda kehadiran harimau di tempat ini, meski sebagian jejaknya sempat terhapus oleh langkah-langkah kaki dipasir.
Awalnya Raju dan Gilang yang menemukan jejak raja rimba itu, jejak yang masih baru diperkirakan melewati sungai pada malam hari sebelum kami tiba. Harimau itu datang ke sungai untuk minum, Sersan Syamsul menambahkan bahwa 'datuk' (panggilan masyarakat untuk harimau) datang ke sungai tak sekedar untuk minum tetapi juga makan, ia mencari ikan karena makanan lain sudah sama menyusutnya seperti hilangnya hutan yang sedemikian mengerikan, dimana laju perambahan sudah sampai ke tepian sungai Sawan. Untungnya hanya sebagian kecil jejak harimau yang terhapus, selebihnya masih bisa direkam dengan gambar jiplakan menggunakan spidol dan plastik transparan untuk kemudian dijadikan data pihak Balai Taman Nasional.Â
Temuan ini tentu membahagiakan, setidaknya menandakan eksistensi raja rimba bukan isapan jempol belaka, sekaligus mengundang kekhawatiran. Sersan Syamsul memberi penghiburan "Insya Allah nggak bakal ada apa-apa, nang! kita datang ke hutan ini juga niatnya untuk mengupayakan ngasih perlindungan sama mereka termasuk datuk inilah." kemudian ial melanjutkan obrolan bahwa kita datang ke hutan dengan rasa cinta pada mereka, kemungkinan naluri hewan-hewan hutan itu juga bisa merasakan hal tersebut dan sebetulnya satwa-satwa itu juga enggan bertemu dengan manusia, rasa was-was tak bisa dihindari malam itu kami lebih siaga dari biasanya.
Di pinggiran sungai banyak ditumbuhi rotan yang menghijau, berbeda dari sebelumnya dimana rotan-rotan mengering dan meranggas di sekitar daerah bukaan lahan baru, sedikit saja api dinyalakan maka kebakaran akan meluas ke sekitarnya.Â
Rotan adalah sumber pangan bagi masyarakat Lubuk kembang selain diolah menjadi barang tradisional yang sederhana seperti bubu alat penangkap ikan, rotan muda bisa dimakan begitu saja setelah dibersihkan hingga bagian muda terlihat putih kekuningan dengan tekstur agak lunak, sebutannya humut, istilah ini dikenal juga oleh masyarakat di pulau Jawa untuk menyebut bagian pucuk pohon kelapa, rasa pucuk rotan manis tetapi kesat, masyarakat setempat biasa membuat gulai rotan  yang sedap disantap terlebih jika dipadukan dengan daging kijang yang teksturnya lembut, Rudi anggota tim dari masyarakat sekitar TNTN berkisah ketika ada kijang keluar hutan tersesat ke perkampungan atau ke lahan HTI, mereka menangkap dan memasaknya.
( Sisi Selatan menuju Kawasan TNTN yang berbatasan dengan HTI)
Vegetasi hutan di TNTN masih beragam, terdapat hutan yang benar-benar tertutup, pohon-pohon endemik relatif banyak, sebagian kokoh menjulang tinggi diantaranya jenis meranti yaiyu pohon sialang, ulin, durian hutan dan lain sebagainya, sesekali tampak pohon-pohon besar yang lapuk dimakan usia bukan karena sengaja ditumbangkan oleh manusia, yang tak kalah menarik perhatian adalah pasak bumi banyak  dijumpai, pohon yang memiliki nama latin Eurycoma longifolia selain di Sumatera tumbuh subur di pedalaman Kalimantan, masyarakat Dayak telah mengenal dan menggunakannya sebagai tanaman yang memiliki beragam khasiat.
Begitu pula dengan masyarakat modern mengenal tanaman ini mampu menyembuhkan beberapa penyakit, khasiat daun, kulit pohon dan akarnya bisa mengatasi demam, penyembuh luka di gusi, gangguan cacing, tonikum pasca melahirkan, mengatasi kelelahan dan membantu menguatkan stamina. Penasaran, saya mencobanya dengan merendam akar pasak bumi dalam air panas mendidih kemudian meminumnya, rasanya benar-benar pahit! tetapi betapa sulitnya mencabut pohon ini meski tingginya sekedar 20-40 sentimeter. Ada mitos beredar soal pasak bumi, ia tak dapat dicabut sembarangan, tumbuhan dikotil ini sangat kuat menancap ke dalam bumi meski kecil dan pendek jika tidak sedang beruntung pasak bumi tak akan bisa dicabut dengan sekuat tenaga kecuali digali untuk mendapatkan akarnya.
Memasuki hari ketiga ekspedisi, suara-suara alam tiap waktu nyaris sama dan tak lagi menjadi perhatian saya meski di kemudian hari rasa rindu pada suara-suara itu begitu kuat, kehadiran beruang yang sangat mencolok terekam dalam ingatan, suara beruang yang sedang bertengkar atau apa? sempat membuat khawatir jangan-jangan mereka mendekat, apakah mereka merasa terganggu dengan kehadiran kami yang berjumlah 13 terlalu banyak?Â
****
Bunyi nyaring Chain saw atau Shenso mulai terdengar, pertanda penumbang pohon sedang melakukan aktifitasnya, para perambah tengah menggergaji separuh diameter pohon yang mereka akan tumbangkan, kemungkinan menghemat  bahan bakar dan tenaga, mereka  efektif dan efisien, ketika angin bertiup kencang pohon-pohon yang telah digergaji runtuh dan saling menindih setelah diterpa angin besar terjadi efek domino saling menumbangkan satu sama lain, bila musim kemarau tiba lahan-lahan itulah yang dibakar dan dalam sekejap api akan segera menjalar.
(Sungai Sawan, di seberang daerah tumbangan perambah)
Di hari keempat ekspedisi, kami menjumpai dua orang perambah yang masih relatif muda, perambah ini mengaku bernama RZ usia 16 tahun, usia belia nampak dari wajahnya dan  JMD yang sudah dewasa mengaku berasal dari Jakarta keturunan Sumut, mereka diinterogasi oleh Sersan Syamsul, Burhanuddin dan Sembiring anggota TNI AD. Sersan Syamsul memberikan beberapa peringatan dan nasihat tentang bagaimana kegiatan mereka telah merusak ekosistem di TNTN, merusak habitat asli hewan-hewan yang terancam punah dan dilindungi, mengingatkan tentang perbuatan melanggar hukum dan menggambarkan kehidupan yang bisa mereka dapatkan dengan tidak  menjadi pembalak liar atau perambah suruhan di dalam hutan, keduanya disuruh pergi meninggalkan hutan.Â
Masih di hari yang sama, kami kembali mendapati para perambah untuk kedua kalinya dengan pelaku yang berbeda, ketegangan dan kegaduhan terjadi karena  perambah ini tampaknya jauh lebih galak ketimbang aparat, jari kiri tangan sersan Syamsul terkena goresan parang perambah yang berhasil kabur, padahal ketika Polhut dan TNI yang berjalan lebih dulu beberapa meter di depan saya hanya memanggil mereka  agar bisa melakukan sosialisasi dan pendekatan persuasif, JH 25 tahun dan AM 45 tahun mengaku dari Toro dan Doli, dusun yang dikenal  berada di kawasan TNTN, menurut Amir Hamzah penduduknya sudah mencapai 3000 kepala keluarga, keduanyapun akhirnya dilepaskan setelah TNI memberikan peringatan keras mengingat hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang nyaris habis.
"Saya cuma pekerja pak!" Manurung berkilah.
"Iya! jika kalian tak bekerja seperti ini tak akan habis hutan ini!" Pak Burhanuddin dengan tune tinggi.
"Ya pak, saya minta maaf!"
"Tak ada kau tak akan tumbang pohon-pohon ini, berapa kalian digaji? aku juga sama makan gaji tapi tak merusak seperti ini!" Sersan Syamsul menambahkan. Perambah mengaku mereka digaji antara 800 ribu hingga 1,5 Juta Rupiah per satu hektar lahan yang mereka buka.
Hasil interogasi ada beberapa nama disebut oleh kedua perambah, namun mereka terkesan menutup-nutupi siapa boss-nya, keterangan berbeda-beda dan nama yang  mereka sebutkan juga berubah-rubah, ada banyak dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang secara terorganisir memporak-porandakan kawasan hutan.
"Sekarang kalian pulang dan jangan kembali! jika kami bertemu lagi maka kami tak segan untuk menangkap kalian, terlebih ada banyak barang bukti dan kalian tertangkap tangan sedang melakukan perambahan" tutup Sembiring mengakhiri ketegangan.
Perjalanan dialihkan berdasarkan kesepakatan bersama, kami kembali kedalam hutan menghindari daerah tumbangan, selain beresiko terhambat oleh banyaknya pohon-pohon yang rebah, ada kekhawatiran para perambah merespon kehadiran tim ekspedisi dan kembali ke hutan dengan jumlah yang lebih banyak, mengantisipasi respon mereka jauh lebih baik, kami sedikit paranoid! ini di hutan dimana hukum rimba akan berlaku jika kita dalam keadaan lengah, di sisi lain mereka juga sama seperti saya adalah masyarakat biasa. Rute tak lebih dari satu kilo meter kembali di tempuh, kami mencari sungai dan tiba di sungai Tampak, sungai kecil yang nantinya bermuara di sungai Nilo.
Keesokan harinya setelah melewati rawa, kubangan air, vegetasi hutan yang tertutup dan sungai-sungai kecil akhirnya kami kembali menemukan jalan setapak, jalanan yang bisa dilalui oleh sepeda motor hingga ke pinggiran sungai nilo, sepanjang jalan saya memperhatikan cekungan-cekungan tekstur di atas tanah yang ditinggalkan ban sepeda motor, hingga akhirnya menemukan beberapa karung kosong yang terserak. Jejak-jejak ini mengundang kecurigaan ada aktifitas orang lain didalam hutan di waktu yang sama, namun tak lama tercium bau menyengat, bau bangkai mulai tajam memasuki rongga pernafasan, oh tidak! jangan sampai kami menemukan pembunuhan. Pada akhirnya anggota tim lain mengabarkan ada bangkai Gajah tergeletak dibawah pohon, kondisinya mulai membusuk dengan kulit yang sudah mulai terkelupas sebagian. Ini kali pertama saya melihat gajah mati, matanya masih tampak terbuka seolah menitikan air mata, satu persatu anggota tim mendekat dengan mengambil gambarnya.
Gajah Mati ( Photo belum pernah dipublikasikan)
Polhut dan tim dari Elephant protection unit memperkirakan Gajah mati ini adalah gajah betina, terlihat tak ada gading dan tak ada tanda-tanda gadingnya telah diambil, usianya diperkirakan seumuran dengan Lisa, 36 tahun. Lisa adalah induk dari Limbo gajah yang ada di Elephant Flying Squad TNTN. Aroma bangkai gajah dengan bau menyengat itu membuat sebagian besar anggota tim ekspedisi merasakan mual. Apakah gajah ini mati dengan sendirinya atau dibunuh? pertanyaan yang jadi obrolan sepanjang rute menuju pos perhentian berikutnya.
Saya meminta ijin untuk mempublikasikan temuan, namun fajar selaku koordinator tim belum mengijinkan, karena persoalan kematian gajah adalah hal sensitif dan ia mengatakan harus terlebih dulu menyampaikannya ke pihak Balai Taman Nasional Tesso Nilo, selain agar secepatnya bisa dilakukan nekropsi (otopsi gajah) agar informasi tidak simpang siur apakah gajah ini mati atau dibunuh oleh manusia, kesimpulan sementara gajah mati di pinggiran sungai diduga sakit dan meninggalkan kelompoknya, Dwi Volunteer WWF menjelaskan bahwa prilaku gajah yang sakit cenderung menyendiri seperti tidak ingin menularkan penyakit pada kawan-kawannya dan gajah mencari udara yang lebih dingin hingga akhirnya menjumpai sungai untuk berendam kemudian kembali ke darat dan berputar-putar di tempat yang sama kemudian mati. Saat tim menemukan bangkai gajah, air sungai yang mengalir dari bagian hulu terlihat keruh menandakan ada gajah-gajah lain yang sedang melakukan aktifitas di sungai, sayangnya tim ekspedisi tak melalui rute ini.
Hari demi hari berganti dengan aktifitas yang sama namun suasana selalu berbeda, berjalan kaki, berdiskusi, bercanda untuk menyegarkan suasana, memasak, memancing dan mendirikan tenda. Hingga tiba Jumat, 26 Februari 2016. Pagi-pagi sekali kami sudah berkemas untuk melakukan perjalanan, hari ini sepertinya jauh lebih rileks dengan agenda 'liburan' artinya jika kami menemukan lokasi yang strategis dan nyaman untuk bermalam meski belum saatnya mendirikan tenda kami akan berhenti disana.
Catatatan saya menuliskan sudah belasan pondokan perambah di sekitar  rute perjalanan termasuk yang tampak dari jauh telah ditinggalkan para penghuninya, malah beberapa diantaranya berdiri permanen bukan dengan menggunakan terpal, saya meyakini kehadiran tim ekspedisi telah membuat pelaku illegal loging dan para penumbang pohon itu sementara waktu keluar dari hutan, polhut berkisah mengenai patroli yang mereka lakukan-pun tak membuahkan hasil karena para perambah hutan cenderung kucing-kucingan dan akses menuju Taman Nasional Tesso Nilo begitu banyak seperti jaring laba-laba, akhirnya laju perambahan hutan ini tak bisa dibendung.
Tiba di sebuah pondokan kayu yang permanen, persis di tepian sungai Nilo.
Setelah sebelumnya tim mengendap-endap untuk mencari tahu adakah aktifitas disana? ternyata kosong dan kami segera menghampiri, lalu  Camp ini diketahui milik bang Upal masyarakat sekitar TNTN yang hanya memanfaatkan hutan sekedarnya saja, memancing atau mencari rotan. kemudian kami menamai pos ini sebagai Camp Upal, tempatnya lumayan! dengan gubuk panggung dan tanah terbuka cukup luas untuk menerima sinar matahari, nyaris seluruh anggota tim mengeluarkan semua pakaian basah untuk dijemur. Sementara gubuk yang satunya lagi terletak bersebrangan mirip pos penjagaan memiliki beberapa anak tangga, mungkin sengaja dibangun pembuatnya jika keadaan darurat misalnya menghindari ancaman binatang buas.
Sampah-sampah plastik berserakan jadi perhatian saya, hal ini merupakan pemandangan mencolok di setiap pondokan yang kami temui, saya berusaha mengumpulkannya, jika bisa sampai tak bersisa lalu membakarnya dalam sebuah gundukan sebab tak ada alternatif lain yang lebih baik selain membakar tanah disekitar terlalu keras untuk digali dan menimbunnya, sampah-sampah ada dimana-mana! saya pikir di hutan tak akan menemui sampah sebanyak itu, dalam pikiran mereka-reka binatang liar  apakah  yang telah mati disini karena menelan sampah plastik ini.
Di lain waktu Rudi anggota tim perwakilan masyarakat sempat bertutur, masyarakat lokal biasa justru punya perlakuan arif terhadap hutannya, mereka tak setuju dengan perambahan dan pembakaran hutan, Rudi tak sanggup menyembunyikan kesedihannya akibat deforestasi karena telah begitu besar dampaknya bagi lingkungan sekitar, "Aa mungkin ndak percaya dulu pernah ada ribuan orang datang ke sungai Nilo untuk menangkap ikan menggunakan potas, saya sedih banget, harusnya jangan begitu, mereka mengambil ikan-ikan yang besar-besarnya saja" suaranya lirih tak sanggup menyembunyikan rasa nelangsa, ia menjelaskan ikan-ikan yang hanya seukuran telapak tangan tidak ada yang mengambilnya padahal sudah mati terkena racun, targetnya hanya ikan-ikan sungai yang berukuran besar diatas satu setengah kilo gram.
Sebelum ikan-ikan diracuni, bagi Rudi memancing adalah memenuhi protein hewani keluarganya, atau jika hasil memancing berlebih ada yang minat dengan ikannya bisa ia jual, dalam sekali memancing bisa 3-4 ekor ikan gurame dengan rata-rata berat 3 kilogram ia dapat.
"sekarang mana a? ndak ada lagi ikan-ikan tuh! aa tahu sendiri hasil pancingan kita semalam  kecil-kecil dan paling besar hanya setengah kilo." Rudi terdiam dan kembali mengenang era 90-an hingga awal 2000-an  ketika dirinya masih bisa mendapati hasil memancing yang cukup.
"apalah a yang kami ambil dari hutan? kemarin saya sempat sedih dan was-was ada kayu yang sudah jadi mau dimusnahkan, tapi untungnya nggak jadi, saya tahu siapa yang mengolah, tapi berapalah ia mengambil hasil hutan ini? satu pohon saja yang kecil itu ndak bakal habis satu hari mereka kerjakan, beda halnya dengan orang-orang yang merambah hutan, meluaskan lahan dan membakarnya gede-gedean, aa lihat sendiri berapa ratus hektar tumbangan kemarin tuh? sebagian malah sudah siap ditanami, untuk kami punya satu hektar saja cukup kalo cuma memenuhi kebutuhan perut, sayangnya kami tak punya. masyarakat tahulah tuh siapa yang bermain." Cerita rudi masih panjang saya merasakan nelangsa itu.
Dari Camp upal kami terjaga dengan riuh rendahnya suara-suara aktifitas binatang hutan di pagi hari terutama burung dan jenis primata, langkah-langkah kaki kembali menembus hutan belantara, hari ini merupakan hari ketujuh dan saya tak mengira perjalanan yang ditempuh begitu jauh, berkelok, berliku, pendakian  lebih banyak melewati bukit di dalam hutan tertutup, rawa-rawa yang berpacet dan penuh lintah, air hujan terhalang oleh pepohonan, udara yang lembab dan hampir kehabisan tenaga, sehingga pacet yang menyedot darah di perut saya sama sekali tak terasa karena hanya fokus terhadap medan yang sulit, turbelensi menguat lagi.
Diantara pohon-pohon yang tinggi menjulang, rotan dan jenis-jenis tumbuhan yang tidak saya kenali, tebing curam mau tidak mau harus dilalui, badan yang basah dengan keringat, nafas yang harus diatur, kaki yang terasa pegal dan dehidrasi adalah sumber halusinasi. Tiba-tiba saya merasa ada kehadiran orang lain dalam ekspedisi ini, di hutan manapun sering dijumpai cerita mistis, termasuk di Taman Nasional Tesso Nilo, konon menurut seorang warga yang bernama Saum, 50 tahun yang tengah mengambil rotan sekaligus memancing bersama dua anaknya yang masih remaja di pinggiran sungai Nilo, selama 2 setengah tahun ia memanfaatkan rotan untuk pengikat bubu, katanya di TNTN terdapat air terjun yang sangat cantik, yang letaknya di daerah Bukit Tiga dimana terdapat pemakaman entah makam siapa, mungkin kuburan nenek moyang mereka, Saum pernah sampai ke air terjun itu secara kebetulan, tetapi lokasi yang ia sebut bukan jalur lurus yang harus kami lewati dari sisi utara TNTN hingga ke Selatan.
Rupanya perjalanan di hari ketujuh tercatat menempuh 13-14 kilo meter menurut hitungan untuk sampai ke Camp terakhir yang hampir berbatasan dengan HTI Putri Lindung Bulan, dengan jalan yang mulus  jarak 13 km relatif dekat, terlebih jika melihatnya hanya di peta, namun menyusuri hutan belantara jelas berbeda.
(Jejak Gajah di Pinggir Sungai Nilo)
Camp terakhir ini kami beri nama camp limbad, tenda didirikan persis ditepi sungai yang belum ada namanya, Limbad adalah jenis Head snake fish, menurut pendapat saya sebetulnya lebih mirip lele, di sungai kecil ini Limbad berhasil ditangkap walau hanya tiga ekor tapi cukup besar dan lumayan juga untuk menambah lauk saat makan malam berhubung perbekalan lauk pauk sudah mulai menipis, Rudi memasaknya dengan bumbu asam padeh atau asam pedas, rasa asam dalam masakan tersebut didapat dari pepohonan hutan yang disebut asam gelugur. Tapi saya tak sempat mencobanya, selera makan saya hilang dikalahkan rasa ingin ngopi dan menghabiskan satu batang kretek saja.
Aktifitas pagi pada esok harinya berjalan normal, semua berkemas dan Ainun didaulat memimpin doa, ritual setiap akan berangkat melanjutkan perjalanan.
"mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing agar perjalanan ini lancar, tak menemui hambatan yang berarti dan semua anggota tim selamat sampai tujuan, berdoa mulai!"
Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu lama, kami hanya sekira 1,5 Kilometer saja keluar dari hutan TNTN di hari ke-8 minus saat memulai packaging logistik di Elephant Flying Squad TNTN Lubuk Kembang Bunga, setelah melalui batas TNTN terlihatlah alam yang terbuka antara langit dan tanah seperti tak ada penghalang, gundukan pohon-pohon akasia sedang dirapikan oleh alat-alat berat dan diangkut keluar HTI Putri Lindung Bulan kemudian akan diolah menjadi kertas  dan beredar di kota-kota besar.
Luar biasa luas lahan ini, terlihat kosong melompong seperti gurun, kering kerontang dan kontradiktif dengan kondisi sebelum kami melewati batas TNTN. Tak lama menunggu dibawah gundukan kayu-kayu akasia setinggi 3 meter, koordinator tim ekspedisi meminta mobil jemputan untuk sampai ke pos pengelolaan TNTN seksi dua Basrah, 2 mobil Kabin dikerahkan untuk menjemput kami, jarak yang ditempuh lebih kurang 30 KM, sesampainya di Kantor Seksi 2 kami disambut dengan gembira dan ramah oleh Delfi, kepala Balai SPTN Basrah.
Salah satu anggota tim segera mencari saluran national geographic, sambil beristirahat mereka menikmati tayangannya sesekali berkomentar dan menyambung-nyambungkan pengalaman, sementara  yang lain menyiapkan makan siang, Hutomo Kasubag tata usaha Balai TNTN datang membawa aneka buah-buahan, lama tak bertemu buah sebab di hutan belum musimnya, dalam sekejap dukuh, salak dan jeruk habis disantap oleh anggota tim ekspedisi 13. Berakhirkah perjalanan? belum, perjalanan masih panjang  untuk sampai ke Pekanbaru, terlebih menceritakan kesedihan hutan dan kehidupan aneka satwa  yang ada didalamnya, Hutan itu benar-benar porak poranda dan eksistensinya hingga kini tetap terancam, namun paling tidak bahwa dengan kehadiran ekspedisi ini baik TNI, Balai TNTN, WWF, Green Radio dan anggota masyarakat adalah penampakan diri bahwa ada pihak-pihak yang ikut hadir termasuk negara turut mengupayakan kelestarian salah satu hutan dataran rendah yang  tersisa di pulau Sumatera.
(Kembali ke Pekanbaru dengan pemandangan kebun Sawit di wilayah Ukui)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H