Hari demi hari berganti dengan aktifitas yang sama namun suasana selalu berbeda, berjalan kaki, berdiskusi, bercanda untuk menyegarkan suasana, memasak, memancing dan mendirikan tenda. Hingga tiba Jumat, 26 Februari 2016. Pagi-pagi sekali kami sudah berkemas untuk melakukan perjalanan, hari ini sepertinya jauh lebih rileks dengan agenda 'liburan' artinya jika kami menemukan lokasi yang strategis dan nyaman untuk bermalam meski belum saatnya mendirikan tenda kami akan berhenti disana.
Catatatan saya menuliskan sudah belasan pondokan perambah di sekitar  rute perjalanan termasuk yang tampak dari jauh telah ditinggalkan para penghuninya, malah beberapa diantaranya berdiri permanen bukan dengan menggunakan terpal, saya meyakini kehadiran tim ekspedisi telah membuat pelaku illegal loging dan para penumbang pohon itu sementara waktu keluar dari hutan, polhut berkisah mengenai patroli yang mereka lakukan-pun tak membuahkan hasil karena para perambah hutan cenderung kucing-kucingan dan akses menuju Taman Nasional Tesso Nilo begitu banyak seperti jaring laba-laba, akhirnya laju perambahan hutan ini tak bisa dibendung.
Tiba di sebuah pondokan kayu yang permanen, persis di tepian sungai Nilo.
Setelah sebelumnya tim mengendap-endap untuk mencari tahu adakah aktifitas disana? ternyata kosong dan kami segera menghampiri, lalu  Camp ini diketahui milik bang Upal masyarakat sekitar TNTN yang hanya memanfaatkan hutan sekedarnya saja, memancing atau mencari rotan. kemudian kami menamai pos ini sebagai Camp Upal, tempatnya lumayan! dengan gubuk panggung dan tanah terbuka cukup luas untuk menerima sinar matahari, nyaris seluruh anggota tim mengeluarkan semua pakaian basah untuk dijemur. Sementara gubuk yang satunya lagi terletak bersebrangan mirip pos penjagaan memiliki beberapa anak tangga, mungkin sengaja dibangun pembuatnya jika keadaan darurat misalnya menghindari ancaman binatang buas.
Sampah-sampah plastik berserakan jadi perhatian saya, hal ini merupakan pemandangan mencolok di setiap pondokan yang kami temui, saya berusaha mengumpulkannya, jika bisa sampai tak bersisa lalu membakarnya dalam sebuah gundukan sebab tak ada alternatif lain yang lebih baik selain membakar tanah disekitar terlalu keras untuk digali dan menimbunnya, sampah-sampah ada dimana-mana! saya pikir di hutan tak akan menemui sampah sebanyak itu, dalam pikiran mereka-reka binatang liar  apakah  yang telah mati disini karena menelan sampah plastik ini.
Di lain waktu Rudi anggota tim perwakilan masyarakat sempat bertutur, masyarakat lokal biasa justru punya perlakuan arif terhadap hutannya, mereka tak setuju dengan perambahan dan pembakaran hutan, Rudi tak sanggup menyembunyikan kesedihannya akibat deforestasi karena telah begitu besar dampaknya bagi lingkungan sekitar, "Aa mungkin ndak percaya dulu pernah ada ribuan orang datang ke sungai Nilo untuk menangkap ikan menggunakan potas, saya sedih banget, harusnya jangan begitu, mereka mengambil ikan-ikan yang besar-besarnya saja" suaranya lirih tak sanggup menyembunyikan rasa nelangsa, ia menjelaskan ikan-ikan yang hanya seukuran telapak tangan tidak ada yang mengambilnya padahal sudah mati terkena racun, targetnya hanya ikan-ikan sungai yang berukuran besar diatas satu setengah kilo gram.
Sebelum ikan-ikan diracuni, bagi Rudi memancing adalah memenuhi protein hewani keluarganya, atau jika hasil memancing berlebih ada yang minat dengan ikannya bisa ia jual, dalam sekali memancing bisa 3-4 ekor ikan gurame dengan rata-rata berat 3 kilogram ia dapat.
"sekarang mana a? ndak ada lagi ikan-ikan tuh! aa tahu sendiri hasil pancingan kita semalam  kecil-kecil dan paling besar hanya setengah kilo." Rudi terdiam dan kembali mengenang era 90-an hingga awal 2000-an  ketika dirinya masih bisa mendapati hasil memancing yang cukup.