"Tak ada kau tak akan tumbang pohon-pohon ini, berapa kalian digaji? aku juga sama makan gaji tapi tak merusak seperti ini!" Sersan Syamsul menambahkan. Perambah mengaku mereka digaji antara 800 ribu hingga 1,5 Juta Rupiah per satu hektar lahan yang mereka buka.
Hasil interogasi ada beberapa nama disebut oleh kedua perambah, namun mereka terkesan menutup-nutupi siapa boss-nya, keterangan berbeda-beda dan nama yang  mereka sebutkan juga berubah-rubah, ada banyak dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang secara terorganisir memporak-porandakan kawasan hutan.
"Sekarang kalian pulang dan jangan kembali! jika kami bertemu lagi maka kami tak segan untuk menangkap kalian, terlebih ada banyak barang bukti dan kalian tertangkap tangan sedang melakukan perambahan" tutup Sembiring mengakhiri ketegangan.
Perjalanan dialihkan berdasarkan kesepakatan bersama, kami kembali kedalam hutan menghindari daerah tumbangan, selain beresiko terhambat oleh banyaknya pohon-pohon yang rebah, ada kekhawatiran para perambah merespon kehadiran tim ekspedisi dan kembali ke hutan dengan jumlah yang lebih banyak, mengantisipasi respon mereka jauh lebih baik, kami sedikit paranoid! ini di hutan dimana hukum rimba akan berlaku jika kita dalam keadaan lengah, di sisi lain mereka juga sama seperti saya adalah masyarakat biasa. Rute tak lebih dari satu kilo meter kembali di tempuh, kami mencari sungai dan tiba di sungai Tampak, sungai kecil yang nantinya bermuara di sungai Nilo.
Keesokan harinya setelah melewati rawa, kubangan air, vegetasi hutan yang tertutup dan sungai-sungai kecil akhirnya kami kembali menemukan jalan setapak, jalanan yang bisa dilalui oleh sepeda motor hingga ke pinggiran sungai nilo, sepanjang jalan saya memperhatikan cekungan-cekungan tekstur di atas tanah yang ditinggalkan ban sepeda motor, hingga akhirnya menemukan beberapa karung kosong yang terserak. Jejak-jejak ini mengundang kecurigaan ada aktifitas orang lain didalam hutan di waktu yang sama, namun tak lama tercium bau menyengat, bau bangkai mulai tajam memasuki rongga pernafasan, oh tidak! jangan sampai kami menemukan pembunuhan. Pada akhirnya anggota tim lain mengabarkan ada bangkai Gajah tergeletak dibawah pohon, kondisinya mulai membusuk dengan kulit yang sudah mulai terkelupas sebagian. Ini kali pertama saya melihat gajah mati, matanya masih tampak terbuka seolah menitikan air mata, satu persatu anggota tim mendekat dengan mengambil gambarnya.
Gajah Mati ( Photo belum pernah dipublikasikan)
Polhut dan tim dari Elephant protection unit memperkirakan Gajah mati ini adalah gajah betina, terlihat tak ada gading dan tak ada tanda-tanda gadingnya telah diambil, usianya diperkirakan seumuran dengan Lisa, 36 tahun. Lisa adalah induk dari Limbo gajah yang ada di Elephant Flying Squad TNTN. Aroma bangkai gajah dengan bau menyengat itu membuat sebagian besar anggota tim ekspedisi merasakan mual. Apakah gajah ini mati dengan sendirinya atau dibunuh? pertanyaan yang jadi obrolan sepanjang rute menuju pos perhentian berikutnya.
Saya meminta ijin untuk mempublikasikan temuan, namun fajar selaku koordinator tim belum mengijinkan, karena persoalan kematian gajah adalah hal sensitif dan ia mengatakan harus terlebih dulu menyampaikannya ke pihak Balai Taman Nasional Tesso Nilo, selain agar secepatnya bisa dilakukan nekropsi (otopsi gajah) agar informasi tidak simpang siur apakah gajah ini mati atau dibunuh oleh manusia, kesimpulan sementara gajah mati di pinggiran sungai diduga sakit dan meninggalkan kelompoknya, Dwi Volunteer WWF menjelaskan bahwa prilaku gajah yang sakit cenderung menyendiri seperti tidak ingin menularkan penyakit pada kawan-kawannya dan gajah mencari udara yang lebih dingin hingga akhirnya menjumpai sungai untuk berendam kemudian kembali ke darat dan berputar-putar di tempat yang sama kemudian mati. Saat tim menemukan bangkai gajah, air sungai yang mengalir dari bagian hulu terlihat keruh menandakan ada gajah-gajah lain yang sedang melakukan aktifitas di sungai, sayangnya tim ekspedisi tak melalui rute ini.