Mohon tunggu...
Danang Candra Wiratama
Danang Candra Wiratama Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang tenaga medis. Sejak tahun 2009 saya bekerja sebagai abdi masyarakat dan abdi negara serta menjadi anggota Korpri. Saya lahir di kota Proklamator, Blitar. Hobby saya membaca, menggambar, fotografi dan sedang mengembangkan hoby menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Satu Lagi, Anak Bangsa Meninggal Karena Demam Berdarah

12 Maret 2010   11:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Selasa (9/3/2010) yang lalu, tetangga sekitar 500 meter dari rumah saya amat berduka cita. Nita, sebut saja begitu, anak pertama dari keluarga tersebut meninggal dunia. Gadis cilik berusia sembilan tahun itu meninggal karena shock akibat Demam Berdarah Dengue. Dia meninggal setelah menderita demam tinggi selama lebih kurang lima hari. Orang tua Nita bukan tidak berusaha sama sekali. Pada hari kelima, ketika menyadari bahwa gejala yang dialami Nita tidak berkurang, orang tua Nita membawanya ke rumah sakit di kota Blitar. Namun, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, semua usaha itu sia-sia. Nita meninggal dunia kurang dari 24  jam setelah dirawat.

Demam Berdarah Dengue (DBD), atau yang dalam dunia medis sering disebut dengan Dengue Haemorrhagic Fever, sebenarnya sudah tidak asing lagi di kalangan awam yang sama sekali tidak pernah mengenal dunia medis. Bahkan boleh dibilang, anak-anak yang masih taman kanak-kanak pun tahu tentang DBD. Hampir setiap orang pasi pernah mendengar jargon "3 M Plus". Hal ini bisa dimaklumi karena lewat berbagai media, pemerintah dan LSM pemerhati DBD, gencar melakukan promosi tentang bahaya dan pencegahan DBD. Akan tetapi mengapa angka kejadian DBD masih tinggi dan tingkat kematian yang diakibatkannya cukup mengkhawatirkan? Gagalkah upaya pemerintah dalam menangani DBD?

Mengenali tanda dan gejala DBD tidaklah mudah bagi masyarakat awam. Demam tinggi yang umumnya menjadi tanda awal penyakit ini tidaklah berbeda dengan demam-demam lainnya. Keluhan yang diungkapkan penderita, seperti pusing, mual dan nyeri ulu hati, juga tidak akan membuat orang awam curiga kalau itu adalah juga gejala awal demam berdarah. Malah sering dianggap sebagai "masuk angin". Apalagi demam pada DBD ini akan mereda pada hari ke-3 atau  ke-5. Sebagai seorang bapak atau ibu, tentunya kita senang karena panas anak kita sudah turun. Padahal umumnya gejala demam berdarah akan memburuk setelah demam turun. Bersamaan dengan turunnya demam, sel trombosit pada darah yang bertugas untuk mencegah terjadinya perdarahan, juga berkurang jumlahnya akibat banyak yang dirusak oleh virus dengue. Tanda semacam ini tentunya tidak tampak secara kasat mata, harus dengan menggunakan pemeriksaan darah di laboratorium. Nah, pada titik kritis inilah sering terjadi hal sepele yang berakibat fatal. Kita sering mengira bahwa turunnya demam adalah tanda berakhirnya sakit yang kita derita, padahal pada DBD turunnya demam bisa berarti tanda awal terjadinya syok. Jika sudah demikian biasanya akan timbul tanda-tanda perdarahan spontan (mimisan dan gusi berdarah tanpa sebab, timbul bintik-bintik merah di kulit) namun seringkali juga tidak. Kasus DBD yang sering berakibat fatal adalah yang tidak menimbulkan gejala perdarahan spontan pada tahap awal terjadinya. Karena tidak ada tanda perdarahan kita pasti akan mengabaikannya, "Ah! Paling-paling juga panas biasa", tentu itu yang akan mampir di benak kita. Padahal pada kasus ini, jika sampai terjadi perdarahan, maka perdarahan yang terjadi akan sangat susah dihentikan. Dan ketika sudah demikian, terlambat lah untuk menyesal.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Penderita yang mengalami perdarahan hebat masih terselamatkan asal kita dengan segera membawanya ke tempat pelayanan kesehatan yang dilengkapi dengan unit perawatan intensif atau Intensive Care Unit (ICU). Karena jika sudah demikian penderita perlu diamati dan ditangani secara intensif. Tidak ada kata terlambat untuk berusaha!

Kejadian yang menimpa tetangga saya di atas tentunya patut menjadi keprihatinan kita bersama. Seringkali kita tidak tanggap terhadap suatu hal dan cenderung menyepelekannya. Apa yang terjadi pada Nita adalah salah satu akibatnya. Secara ekonomi bisa dibilang keluarganya adalah orang berada, secara pendidikan juga tidak terbelakang. Desa tempat kami tinggal pun juga tidak terlalu jauh dari pusat layanan kesehatan, hanya perlu sekitar lima menit untuk mencapai Puskesmas terdekat dan hanya perlu 20 menit untuk sampai di rumah sakit yang memiliki ICU. Dan yang membuat saya geleng kepala, hanya butuh waktu kurang dari 3 menit untuk datang ke tempat saya dan meminta informasi. Sikap orang tua Nita yang terlalu mengentengkan berakibat fatal bagi anaknya.

Kesimpulannya, seberapa gencarnya promosi dan prevensi yang dilakukan untuk mengatasi demam berdarah akan tetap sia-sia jika kita tidak tanggap dan siaga. Pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat hanya akan sia-sia jika kita tidak mengambil sikap untuk segera bertindak. Demam berdarah tidaklah menakutkan selama kita tanggap dan siap untuk melakukan tindakan yang benar. Mari kita perangi demam berdarah dengan Pola Hidup Bersih dan Sehat, dan terpenting TANGGAP dan SIAGA.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun