Beberapa hari ini, semenjak pergantian kepemimpinan di tingkat menteri pendidikian, banyak netizen yang ramai menguliti sistem zonasi penerimaan peserta didik baru di setiap sekolah negeri. Apakah memang sistem zonasi ini problematik? Apakah yang bermasalah sistemnya atau cara orang menanggapi / merespon sistem tersebut?
Lama sebelum munculnya sistem zonasi ini, masyarakat di Indonesia dihadapkan pada permasalahan munculnya sekolah favorit dan yang bukan favorit. Segi kepopuleran setiap sekolah ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah segi kualitas layanan pendidikan yang ada di setiap sekolah negeri tersebut. Maka, secara otomatis, masyarakat Indonesia akan memilih sarana pendidikan negeri yang memiliki standar kulitas yang terbaik di daerahnya masing-masing. Kondisi inilah yang menyebabkan suatu sekolah bisa over limit sementara sekolah negeri yang lain kekurangan murid.
Munculnya gagasan sistem zonasi sebenarnya mau menyelesaikan persoalan tersebut. Secara sederhana, sistem zonasi ini ingin mengelompokkan murid berdasarkan lokasi tempat tinggal terdekat dengan sekolah negeri. Cita-cita dasar ini sementara waktu masih bertentangan dengan 'hak' dan kebebasan orang tua untuk memilih layanan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Dalam kaca mata orang tua, mereka masih menggunakan 'orientasi' lama untuk tetap memilih sekolah-sekolah yang tadinya mendapatkan lebel 'favorit'.
Gagasan sistem zonasi ini tentunya perlu dibarengi dengan usaha pemerintah untuk menstandarkan kualitas layanan di setiap sekolah negeri. Standar pelayanan ini termasuk kualitas pengajar, staf, dan fasilitas sekolah. Jika hal ini belum terpenuhi, maka sama saja, permasalahan awal tetep belum saja terpecahkan.
Kondisi inilah yang menyebabkan beberapa orang tua 'bermain curang' untuk menghadapi sistem zonasi ini. Salah satu yang paling sering terdengar adalah memindahkan status Kartu Keluarga anak ke Kartu Keluarga lain yang berada di zona sekolah yang hendak dituju. Praktik ini sudah lazim terjadi dan banyak kalangan yang ternyata juga tutup mata.
Sekarang, ketika berganti menteri, sistem zonasi ini diungkit dan ingin diaudit oleh netizen. Dari beberapa fakta yang terjadi di lapangan, maka mungkin masyarakat dapat mengambil kesimpulan, di mana letak kesalahannya. Apakah pada sistemnya itu sendiri? Ataukah pada usaha pemerintah yang belum menstandarkan layanan pendidikan di setiap sekolah? Atau kesalahan pada aksi 'curang' dalam menghadapi sistemnya?
Menurut para kompasiner bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H