Tidak seperti biasanya, mbah Atmo tertunduk lesu di beranda rumah sembari menghela nafas sepenggal-penggal. Tubuh kurus berbalut setelan sorjan itu tampak kesulitan menyelaraskan detak jantung tak teratur dengan nafas yang keluar masuk dari mulutnya. Detak jantung ibarat sebuah alunan musik dan nafas itu adalah tariannya. Ketidakselarasan keduanya akan menumpulkan seseorang untuk tetap hidup. Mbah Atmo adalah sesepuh. Dialah yang dituakan. Bukan saja karena umurnya yang memang sudah tua, tetapi juga karena kemampuan supranaturalnya. Tapi sore itu, ia tak tampak seperti orang yang berilmu. Lebih tepatnya, tak punya harapan dan kepastian.
"Pak, sudah magrib, lekas sembahyang!" rayu istrinya dari dalam rumah.
"Nggak, nanti saja!"Â
Istrinya tahu persis apa yang sedang dialami mbah Atmo. Apa yang dirasakan mbah Atmo sekarang adalah keresahan istrinya juga. Pernah saat yang lampau, mbah Atmo mengatakan bahawa istrinya adalah jiwanya. Begitupun istrinya mengamini hal yang sama sekalipun tak terucapkan langsung kepada mbah Atmo. 'Atmo' atau atma dalam bahasa lain juga berarti jiwa yang luhur.
Sekat-sekat kayu dan bambu rumahnya masih sekedar menjadi sandaran tak berarti. Sesekali ia memandang sekeliling rumahnya yang semakin gelap dan suram. Ingatanya kembali tertuju pada kejadian siang harinya. Ya, siang tadi adalah waktu yang istimewa bagi dusun Wonolelo, salah satu dusun di lereng gunung Merapi. Ada hajatan besar: ruwatan dusun dangan jathilan. Orang Wonolelo lebih akrab menyebutnya dengan jathilan, daripada kuda lumping, seperti orang kebanyakan katakan. Sekalipun ada alunan musik gamelan pengiring yang seakan terdengar konstan dan menjemukan, para pemain lebih suka menyebut dirinya sedang 'njathil'. Mereka tidak sedang menari, tetapi njathil, yaitu menyelaraskan badan ragawi manusiawi dengan roh kosmik. Itulah alalasan mengapa ruwatan dilakukan, yaitu memunculan harapan keselarasan alam dengan kehidupan manusia.
"Apa yang salah? Apa yang kurang tepat? Adakah yang meleset dari pakem?", batin mbah Atmo. Ia masih cemas dan tidak percaya. Selama berpuluh-puluh tahun jadi sesepuh, baru kali ini, ia meragukan keyakinannya dan tak ada jawaban.
"Kata orang-orang, jathilanya tidak mau kesurupan ya pakne?," tanya istri mbah Atmo keheranan.
"Iya..."
"Kenapa?"
"Tidak tahu"
"Sajennya kurang?"