Akhir-akhir ini kita disuguhi aksi-aksi demonstrasi buruh untuk menuntut perbaikan upah mereka. Demonstrasi yg terakhir, dilakukan oleh buruh dari Bekasi dalam skala cukup besar yang menutup jalan tol Cikarang, Jawa Barat. Sebagaimana diketahui, aksi ini mampu melumpuhkan arus lalu lintas di jalan tol tersebut, selama kurang lebih selama 8 jam. Akibatnya, pemerintah mengelar rapat darurat untuk meredakan aksi tersebut. Hasil dari rapat tersebut, diperoleh kesepakatan untuk memenuhi tuntutan kenaikan upah sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat bagi perusahaan yang telah mampu melaksanakan. Sedangkan bagi perusahaan yang belum mampu akan melakukan perundingan tripartit (pemerintah daerah, serikat pekerja, dan pengusaha).
Mencermati aksi buruh yang terjadi, penulis teringat akan pemikiran Karl Marx yang meyakini bahwa buruh merupakan agen perubahan sosial dengan cara melakukan revolusi. Revolusi merupakan upaya niscaya dari buruh untuk melawan eksploitasi dari kaum pemodal (para kapitalis). Namun pemikiran tersebut dibantah oleh Jurgen Habermas. Menurutnya, ada yang alpa dalam premis Karl Marx yakni kemampuan manusia untuk melakukan dialog. Dialog nyatanya mampu meredakan konflik bahkan mampu mencari solusi dari konflik tersebut. Kondisi yang demikian menyebabkan revolusi untuk menciptakan struktur masyarakat tanpa kelas, yang diyakini oleh Karl Marx, tidak kunjung terwujud. Dalam aksi demontasi buruh besar-besaran di Eropa pada waktu lampau, yang kemudian diperingati tiap tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh, mampu memaksa pemberlakuan jam kerja buruh yang lebih manusiawi yakni 8 jam. Pun, dalam konteks aksi buruh belakangan ini di Indonesia, aksi-aksi demontrasi buruh mampu menegosiasi ulang upah buruh seperti pada kasus aksi buruh di Bekasi.
Aksi buruh di Jawa Barat memang dipicu oleh SK Gubernur Jawa Barat menaikan upah buruh yang dianggap oleh Apindo menyalahi kesepakatan yang telah dibuat bersama. Apindo kemudian melayangkan gugatan ke PTUN terkait dengan hal tersebut. Gugatan Apindo ini, ditanggapi dengan aksi demonstrasi yang mencapai puncaknya dengan menduduki jalan tol.
Terlepas dari perselisihan hukum dan aroma politisasi, pada kenyataannya, menurut penulis memang sewajarnya ternyadi kenaikan upah buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Upah buruh yang ada memang belum mencukupi untuk hidup layak bagi buruh. Terlebih bagi meraka yang telah berkeluarga. Apabila kita bandingkan dengan upah buruh Negara-negara lain misalnya di China atau Malaysia, upah buruh kita memang lebih murah dari upah buruh di negara-negara tersebut.
Untuk itu, memang dibutuhkan kerelaan dari para pengusaha untuk menyisihkan sebagaian keuntungan yang mereka dapatkan untuk meningkatkan upah buruh yang lebih layak.
Bagi buruh sendiri juga harus cermat dalam melakukan aksi-aksinya. Jangan sampai, aksi demonstrasi tersebut malah menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Misalnya, aksi demontrasi yang anarkis, akan menyebabkan iklim dunia usaha menjadi tidak kondusif. Bila ini terjadi, pada gilirannya bukan tidak mungkin akan bermuara pada penutupan perusahaan. Dalam kondisi tersebut, tentu yang dirugikan bukan hanya pengusaha tetapi juga buruh.
Di tengah ancaman adanya resesi ekonomi global sebagai dampak adanya krisis ekonomi di Eropa dan AS, tentu kita berkepentingan agar iklim dunia usaha di negara kita tetap kondusif sehingga krisis ekonomi tidak sampai menjalar ke negara kita. Dalam konteks perburuhan, maka segala permasalahan yang ada di dalamnya harus disikapi dengan cara dialogis antar berbagai pihak yang berkepentingan. Karena dengan cara itulah kita berharap iklim dunia usaha tetap kondusif, yang akan menyelamatkan perekonomian secara nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H