PENDAHULUAN
Nama Korea Utara sebagai sebuah negara di belahan ASIA memang memberikan kesan tersendiri, penuh misteri karena memang sebagai sebuah Negara Korut agak tertutup dengan dunia luar. Bertetangga dengan Korea Selatan yang lebih liberal dan terbuka (opened) Korut tidak terpengaruh dengan kemajuan yang dicampai tetangganya itu. Sampai saat ini tidak banyak informasi yang bisa didapat dari Negara Komunis tersebut. Tembok besar laksana mengelilingi Negara konon kabarnya penggunaan teknologi informasi melalui internet sangat dibatasi oleh Pemerintah Korea Utara. Hanya kalanganelit tingkat atas yang dapat menikmati akses internet global yang jumlahnya hanya ribuan dari 25 juta penduduk Korea utara sebagai gantinya masyarakat umum hanya bisa mengakses situs yang sudah disensor,dipilih dan disalin oleh Pemerintah yang disebut Kwangmyong (Kompas: 24 Desember 2014).
Kiprah Korea Utara di panggung politik Internasional tidak kalah hebih seakan mewarisi trah Unisoviet sebagai negara Komunis, Korut menjadi Negara yang ngotot dan ngeyel berkali-kali negara ini bersinggungan keras dengan Negara Adidaya AS terutama dalam soal Nuklir dan HAM. Saling gertak satu sama lain dalam nuansa soft power tidak berlabuh ke penggunaan hard power. Padahal berkali-kali Korut menyatakan kesiapannnya untuk berperang dengan siapapun termasuk dengan AS.
KETIKA SENI BERBICARA
Namun dalam beberapa pekan di akhir tahun 2014 Korut kembali terusik namun kali ini bukan karena tuduhan pelanggaran HAM, Kepemilikan Senjata Nuklir atau ancaman Perang dari AS namun kali ini usikan itu berasal dari Seni dan ekspresi lewat sebuah film fiksi yang diberi judul the Interview. Film yang disutradarai oleh Seth Rogen dan Evan Goldberg menghebohkan jagad perfilman Dunia sekaligus memicu perseteruan dan Kecaman dari Korea Utara.
Negeri Sosialis-Komunis itu berdalih bahwa kehadiran film The Interview merupakan bentuk pelecehan terhadap Pemimpim sekaligus Presiden mereka KIM JONG-UN dikarenakan film ini berkisah tentang rencana pembunuhan Presiden Korea Utara tersebut. Alhasil diawal-awal primiernya Columbia Pictures sempat diretas oleh Hacker sehingga premiernya sempat tertunda (New York Times 17 Desember 2014) terlebih lagi sejak Juni 2014 Pemerintah Korea Utara sudah mengultimatus AS dan Columbia Pictures jika tetap merilis film tersebut.
Gonjang ganjing jadi tidaknya film yang berbau Drama Komedi Politik tersebut terjawab sudah ketika pada 23 Desember 2014 akan merilis untuk jumlah yang terbatas bertepatan dengan hari Natal 25 Desember 2014 (http://www.bloomberg.com: 23 Desember 2014). Dan untuk menjangkau lebih banyak penonton (audieces) akan diperkanankan untuk watching and downloading straeming services via youtube,google play dan Xbox Video (www.theverge.com, 26 Desember 2014).
Launching film ini pun terbilang sukses dihari pertama primernya pada 25 Desember yang lalu di 331 teater atau bioskop di AS meraup 1 Juta USD yang menjadikan sebagai film Box Office ditahun ini. Terlebih pada menjelang long holidays seperti saat ini menjelang tahun baru diperkiran keuntungan akan berlipat samoai 20 Juta USD akan diraih film yang berbudget 548 Miliar selama libur panjang ini.
KOMUNIS dan KAPITALIS
Di era 1990-an dunia internasional termasuk pakar study-studi ilmu politik luar Negeri, Hubungan Internasional mengkonsepkan dunia sedang mengalami era perang dingin (cold war), berbeda dengan perang yang terjadi pada perang dunia 1 dan ke 2, perang dingin lebih ditandai dengan perang prinsip,idiologi mencari teman seperjuangan. Perang dingin pun berlalu tidak ada darah (No Blood) namun sebuah Negara Berdaulat Uni Soviet selaku pemimpin blog timur pada saat itu hancur berkeping-keping.
Hilangnya Uni Soviet sebagai sebuah Negara di percaturan dunia Internasional tidak serta merta menghilangkan idiologi yang sudah berkembang bagi para Negara-Negara yang tergabung dalam blog timur untuk meneruskan ajaran Komunisme. Salah satu Negara penganut paham Komunis yang memang jumlah sangat langka karena terpaaan derasnya arus Demokrasi seperti yang dikemukan oleh Samuel P Huntington (1991) sebagai sebuah the Third Wave Democracy (Demokrasi Gelombang ketiga).Pasca Kolonialisme dan Perang dingin dunia seakan dijangkiti virus Demokrasi demikian kira-kira kesimpulannya.
Sejatinya konflik atau situasi tegang antar negara seperti yang dialami oleh AS dan Korut tidak saja melulu di latar belakangi oleh masalah idiologi terkadang ada hal lain yang turut memicu perang urat saraf diantara dua Negara. Namun jika melihat sepak terjang AS dalam mengatasi permasalahan internasional termasuk mendorong Demokrasi sepertinya masuk akal jika perang urat syaraf AS dan Korut sedikit banyaknya dipengaruhi oleh idiologi seperti yang terjadi pada penurunan Rezim Otoriter di Irak (walau Wacana yang mencuat di Irak adalah adanya senjata pemusnah massal).
Namun wacana internasional yang saat ini sering dijadikan alasan AS untuk mengintervensi Negara lain terkait isu HAM , Teroris dan Senjata Pemusnah Massal (Nuklir). Ke isu ini merupakan wacana panas yang beberapa tahun belakangan ini mempengaruhi hubungan bilateral AS dan Korut.
Akhir –akhir AS melalui OBAMA mendukung penuh penayangan film The interview sebagai sebuah sindiran tentunya bagi kedaulatan Korea Utara. Korut mengatakan Obama sebagai “Monkey” dan harus bertanggung jawab beredarnya film tersebut (http://www.reuters.com: 27 Desember 2014)
Sadar kondisi yang kian memanas kini Korut sendiri semakin mempersiakan dirinya bilamana invasi memang benar terjadi terlepas juga persoalan HAM yang kini hangat di bicarakan di Sidang DK PBB (Desember 2014) bagi AS Korut saat ini adalah Negara yang sangat berbahaya (http://kanalsatu.com/).Bahkan Mantan Presiden AS George W. Bush (2002) mengatakan bahwa Korut merupakan salah satu dari Negara poros Setan dan Tirani.
PENUTUP
Perang urat syaraf yang dipicu oleh primier sebuah karya Seni membuka babak baru ketegangan antara AS dan Korea Utara. Mungkin ini sinyal Hard Power yang selama ini menjadi jalan terakhir yang diambil oleh AS untuk menjaga perdamaian dunia (peacefull keeping) akan kembali digunakan. Publik dunia tentu akan menanti apakah di tahun 2015 mendatang akan muncul sebuah drama berdarah-darah atau mungkin hanya gertakan saja mengingat AS sendiri masih berkutat dengan perbaikan ekonomi dalam Negeri yang sempat collapse.
*Penulis adalahPemerhati Sosial Politik sekaligus penggiat Demokrasi, Founder InPAS (Institute For Political,Analysis and Strategy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H