Sinar hangat dan semilir angin menyapa pagi di sebuah tempat di kota bandung. Ramai lalu lalang kendaraan di jalan raya diiringi derum klakson besahutan, terlihat beberapa penjajak kaki lima sedang sibuk menggelar dagangannya, di sisi lain seorang polantas sedang membantu menyeberangkan orangtua dan murid-murid sekolahan, pancaran senyum kegembiraan melekat pada sopir angkot karena sedang penuh tumpangan, mobil-mobil pribadi tumpah ruah memadati jalanan seantero kota bandung, sedangkan para jogger sedang berlari-lari santai diatas trotoar. Pagi hari dimana semua orang memulai aktifitas, pagi yang memberi harapan untuk menjadi lebih baik, pagi yang telah memberikan kesempatan, pagi yang menjanjikan untuk bisa hidup di hari ini.
Seorang remaja dan kakeknya sedang berjalan menelusuri trotoar di jalan merdeka mengitari kantor pemerintahan kota. Pagi itu trotoar terlihat bersih dari daun-daun dan sampah-sampah yang berserakan beratapkan pohon-pohon rimbun yang meneduhkan disertai semilir angin sepoi-sepoi. Tepat di pintu gerbang utama terlihat beberapa orangtua renta berselendang kumuh tanpa alas kaki sambil menadahkan tangan kepada pelintas jalan. Pagi yang indah telah diciderai oleh pemandangan yang cukup ironis dimata sang remaja itu. Maka remaja itu bertanya pada sang kakek, “kek, kenapa banyak sekali pengemis disana?” gumam remaja yang kecewa dengan pemandangan itu. Sang kakek yang bijak kemudian bertanya balik kepada cucunya, “cucu kakek yang pintar, kenapa kamu harus kaget melihat pengemis?”, sang cucu mulai cemberut karena rasa penasarannya tak berbuah jawaban, yang di dapatnya adalah pertanyaan balik. Dengan senyuman yang hangat sang kakek mencoba untuk menjelaskan cucunya.
“Coba kau tengok diseberang jalan sana, sepasang anak sekolahan sedang berduaan, terlihat seorang cowok sedang berlutut di hadapan ceweknya sambil menyodorkan bunga padanya, tandanya anak cowok itu sedang mengemis cinta dari pujaan hatinya. Mereka pun pengemis juga. Coba lihat orang berkopiah putih itu yang baru keluar dari masjid, mungkin baru saja ia mengemis (berdoa) sama Allah agar di bukakan rezekinya untuk hari ini dalam sholat dhuhanya. Orang-orang taubat pun mereka menjadi pengemis hidayah pada Tuhan-Nya. Dia pun juga pengemis. Kamu dan teman-temanmu yang sekolah dan belajar di kampus pun juga pengemis karena kamu semua disekolah menjadi pengemis ilmu dari gurumu. Kakek pun pengemis juga”, kakek mengemis apa?”, tanya sang cucu, “ kakek mengemis agar disayang sama cucu kakek”, senyuman penjelasan itu menyulap kembali rasa kecewa menjadi kepahaman. “Kalau begitu semua orang yang pernah merasakan jatuh cinta, orang yang sedang menimba ilmu dan pernah berdoa pada Tuhan-Nya adalah pengemis juga hanya saja cara dan ditujukannnya yang berbeda, maka sekiranya kita sesama pengemis tidak boleh merasa paling mulia ya”, simpulan cucu pada kakeknya. “cerdas”, jawab sang kakek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H