Singkatnya, menurut Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa jika Penduduk Indonesia tidak menganut satu dari enam agama yang diakui secara sah di Indonesia, maka mereka punya hak untuk mengosongkan kolom agama tersebut.
Persepsi publik kemudian menjadi liar dan semakin "lari" dari poin utama yang disebutkan oleh mentri dalam negri tersebut.
Mulai dari adanya komentar yang mengaitkan rencana kebijakan ini dengan sila pertama dalam Pancasila yaitu Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sebuah komentar mengatakan "bertentangan dengan sila pertama, ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, bukan dinamisme, animisme, paganisme apalagi atheis"
[caption id="attachment_334111" align="alignnone" width="752" caption="Sumber : merdeka.com"][/caption]
Yang harus dipahami adalah, jauh sebelum pancasila ada, keyakinan masyarakat akan leluhur sudah terlebih dulu berkembang. Bahkan keberadaan agama Hindu dan Buddha sebagai agama pertama yang hadir di Indonesia juga tidak mampu mengikis kepercayaan masyarakat Indonesia pada saat itu. Faktanya yang lebih harus dipahami, meskipun sudah memiliki agama, masyarakan Indonesia masih saja percaya akan leluhurnya dengan adanya adat istiadat yang masih bahkan wajib untuk dipertahankan sebagai kebudayaan nasional.
Penggiringan opini, bahwa dengan diizinkannya kolom agama dikosongkan maka negara ini akan menjadi negara komunis, dan yang lebih ironis dikhawatirkan akan menjurus pada Atheis.
Komunis dan Atheis sama sekali tidak ada kaitannya dengan kolom agama. Yang perlu dicermati adalah, Atheis yang berasal dari dua suku kata yaitu "a" yang artinya tidak; dan Theos yang berarti "Tuhan". Atheis artinya Tidak Ber-Tuhan, bukan tidak beragama. Jadi bisa saja seseorang memiliki agama, tapi tidak percaya akan keberadaan Tuhan (Tuhan Yang dimaksud disini adalah Sang Pencipta). Begitu juga mereka yang tidak beragama belum tentu tidak percaya akan Tuhan.
Jadi, sesungguhnya kebijakan pemerintah dengan mengizinkan dikosongkannya kolom agama adalah tepat. Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada rezim orde baru, etnis Tionghoa yang kemungkinan besar pada dasarnya adalah pemeluk agama Konghucu dipaksa untuk mencantumkan agama lain di KTP mereka. Hal ini jelas menyalahi UUD 1945 pasal 29. Dasarnya, pada saat itu agama konghucu belum resmi diakui di Indonesia, sehingga untuk "memuaskan" pencatatan sipil, maka pemeluk agama Konghucu harus memilih satu dari lima agama yang tersedia.
Disamping itu, kita harus memahami bahwa di Indonesia bukan hanya Agama saja yang ada, namun seperti yang sudah ditulis diatas, Kepercayaan juga ada di Indonesia, bahkan sudah lebih dulu berkembang daripada agama. Kepercayaan bukanlah agama, orang - orang zaman dulu -sebelum hadirnya agama- memiliki kepercayaan pada Pohon, Leluhur, Batu dan lain sebagainya. Faktanya sampai saat ini kita juga masih percaya akan hal serupa, seperti tempat - tempat angker yang mana ketika berada disana harus melakukan atau tidak boleh melakukan sesuatu. Bukankah dengan percaya akan hal - hal angker tersebut, kemudian menuruti printah melakukan dan tidak boleh melakukan sesuatu, justru membuat kita seakan - akan meniadakan keberadaan Tuhan yang menurut mereka yang beragama* adalah Penguasa alam?
Bahkan dalam praktek sehari - hari, secara tidak sengaja kita justru mengakui keberadaan Kepercayaan di Indonesia. Tidak jarang ketika waktu doa bersama yang mana pesertanya berbeda - beda agama akan disebutkan "berdoa menurut agama dan kepercayaan masing - masing".
Jadi, mari berpikir positif bahwa tidak semua penduduk di Indonesia memeluk salah satu agama dari enam agama yang sudah diakui secara sah Indonesia. Masih ada kepercayaan lain, dan agama lain yang juga harus dihormati keberadaannya.