Mohon tunggu...
Dan Jr
Dan Jr Mohon Tunggu... Lainnya - None

私の人生で虹にならないでください、私は黒が好きです

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Negara Mengabaikan UUD 1945

17 Maret 2014   22:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbekal kehilangan inspirasi untuk menulis, saya pun memutuskan untuk naik kereta dari stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan menuju Bogor. Sesampainya di Bogor kebuntuan tidak hilang juga, maka saya kembali berbalik arah dari Bogor, Jawa Barat kearah Stasiun Kota Jakarta Barat. Belum sampai di stasiun kota, saya merasakan sesuatu kejanggalan pada diri saya sendiri, saya yang memang harus berdiri dari stasiun cilebut, karena seorang ibu tua hendak duduk, menyadari bahwa saya baru saja kehilang dompet, mungkin dicopet atau mungkin terjatuh, yasudahlah, saya tidak terlalu memusingkannya, saya pun turun di stasiun pasar minggu, untuk kemudian membuat surat kehilangan di polsek pasar minggu.

Sesampainya di kantor polisi, sungguh terkejut saya, saat melihat beberapa orang, mungkin jumlahnya sekitar lima sampai enam orang yang juga sedang ingin melaporkan kehilangan. Belakangan saya ketahui dua diantaranya kehilangan sepeda motor, sehari sebelumnya. Hebat!!! Pikir saya, jika dalam sehari ada enam orang yang kehilangan, berarti dalam sebulan seratus delapan puluh orang yang mengalami hal serupa.

Tapi bukan itu yang membuat saya betah berlama – lama di kantor polisi, adalah obrolan para polisi diruang sebelah yang membuat bulu kuduk saya merinding.

“Negara sudah mengabaikan UUD 1945, nggak ada yang peduli lagi sama konstitusi Negara kita…” Kata salah satu diantara mereka, obrolan itu membuat saya tertarik untuk akhirnya menguping.

“Padahal ka nada Dinas Sosial…” kata seorang lain menimpali, membuat saya akhirnya paham apa yang sedang mereka bicarakan.

Pasti obrolannya tidak jauh dari para pengemis jalanan.

Aneh memang, disaat para politisi sibuk mengkampanyekan diri, segelintir orang justru sibuk berkeliling Jakarta hanya untuk meraih seribu, dua ribu rupiah. Yang tak kalah seru lagi, para “pengemis” tersebut ternyata masih muda, dan sesungguhnya memiliki kekuatan untuk bekerja.

Dari kantor polisi, saya pun memutuskan untuk mampir sebentar ke lembaga zakat nasional milik swasta. Lagi – lagi saya takjub, disana saya bertemu seorang muda, dengan perawakan yang sangat bagus dan sehat.

“udah sering kesini mas?” kata orang tersebut, saya hanya menggeleng pelan.

“orangnya udah ganti belum ya? Saya baru saja dari lembaga yang dicililitan” kata orang itu lagi melanjutkan.

Woww… ternyata mengemis sudah menjadi sebuah pekerjaan di negri ini, saya tidak tahu kapan dimulainya dan siapa yang memulainya, yang jelas hal tersebut patut dipertanyakan ke pemerintah.

“ada yang bisa dibantu mas…” kata seorang wanita, yang akhirnya saya ketahui pengurus lembaga tersebut, yang memberikan uang kepada mereka yang meminta. Mungkin dengan surat kehilangan yang digenggaman saya, dengan kop polri, wanita itu berpikir saya pun akan meminta “ongkos” disana.

“saya hanya ingin mengobrol sebentar mba, boleh?” kontan saja wanita berkerudung itu menatap saya dengan curiga, segera ia menyimpan handphone yang tadinya dimeja dibalik laci yang tersembunyi dibawah meja tersebut. Saya pun mengklarifikasi ikhwal kedatangan saya kelembaga tersebut.

“Iya mas, memang banyak orang yang datang kesini, karena dinas social juga terkadang hanya memberi surat pengantar saja, sehingga banyak orang tersesat yang datang ke lembaga – lembaga seperti ini” kata wanita itu akhirnya.

Wanita itu pun menambahkan, tidak sedikit orang yang memanfaatkan lembaga bertujuan mulia itu sebagai kepentingan sesaat mereka, hingga akhirnya muncullah istilah “gembel elit” gembel tapi banyak duit.

Sepulang dari sana, didalam taksi saya pun mulai berpikir. Siapa yang sebenarnya miskin di negri ini. Masyarakat atau Negara? Toh Dinas Sosial yang notabene milik Negara saja tidak sanggup untuk melayani para manusia tersesat.

Akhirnya tujuan lembaga swasta, yang hanya sebagai pembantu dan penopang Dinas Sosial berubah menjadi Dinas Sosial swasta.

Apakah benar Negara memang tidak memiliki cukup dana untuk Dinas Sosial? Jika memang benar demikian sebaiknya dihapuskan saja UUD 1945 PASAL 33 yang kurang lebih berisi “anak yatim dan duafa dipelihara Negara” supaya tidak ada pengabaian dalam pelaksanaan ketatanegaraan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun