[caption caption="Latte Art By : Obi W. ; Photo By : Lucifer"][/caption]
Ketika hari mulai menua, senja menjadi jawaban mentari yang lelah menyinari bumi. Setelah berjalan seharian di Gramedia, satu – satunya toko buku yang aku percaya menghidangkan bacaan menarik, dengan potongan harga yang menyegarkan dompet. Aku duduk disini, tersudut sendiri di starbucks, menatap pada orang – orang yang memamerkan kemewahan dalam secangkir kopi mereka.
Satu persatu aku keluarkan buku yang kubeli di Gramedia tadi, potongan lima belas persen, membuatku tak ragu mengambil buku terakhir Robert Galbraith bertajuk “Titian Kejahatan”. Satu buku lainnya milik Jhon Grisham a time to kill. Entah kenapa, ditanggal tua begini, aku justru menghamburkan uang, demi buku – buku yang menurut sebagian orang tidak terlalu penting. Sebagian lain justru memilih untuk membeli buku bajakan yang tersebar luas diemperan, harganya memang selisih terlalu jauh untuk dibayangkan. Tapi membeli buku bajakan adalah kecurangan paling memalukan bagiku.
Aku sedang membongkar isi tas, mencoba mencari struk belanja, menghitung seberapa besar pengeluaranku untuk hari ini. Aku menemukan buku lama, yang aku beli justru setelah bertemu dengan penulisnya. Yang aku cari hampir diseluruh Gramedia, dan nyaris tak mendapatkannya. Cukup senang, ketika akhirnya aku mendapatkan satu – satunya buku yang tersisa berjudul “SAIA”, milik Djenar Maesa Ayu. Aku ambil buku itu, lusuh dan nyaris tak bernyawa. Aku membacanya puluhan kali, mungkin cukup menyiksa bagi buku bersampul wanita yang terikat pita garis polisi itu. Aku akan membiarkannya ditumpukan dua buku lain dimeja, kalau saja wanita itu tidak keluar dari ruang ber AC starbucks. Tubuhnya kurus, menggenggam dua anak kecil ditangannya, sedang satu lainnya berada digendongannya.
Wajahnya cukup aku kenal, meski sudah tak seperti dulu, sudah kehilangan keanggunan seorang selebriti. Hidung yang bertindik, juga dipipi sebelah kanan diatas bibir. Leher yang dihias dengan tattoo, sebagai kebanggan seorang ibu muda yang terluka karena cinta. Kutatap lagi buku “SAIA”, tentang perjuangan para wanita didalammnya, yang aku hapal betul setiap katanya.
AIR
Judul pertama dibuku kumpulan cerpen itu. Aku akan menjaganya adalah patahan kata yang takkan pernah terlupa, tentang perjuangan seorang ibu. Baru aku membaca lagi, bait pertama, wanita rapuh itu duduk tepat dikursi dihadapanku. Kupandang dia, memperhatikan anak – anaknya yang lucu itu. Teringat akan pesananku tadi pada barista pria, soal secangkir latte art. Kutinggalkan sejenak buku – buku bertumpuk diatas meja, dan beranjak mengambil pesanannku.
“mba, maaf, saya boleh titip meja yang itu ya sebentar” kataku mencoba membuka pembicaraan pada wanita kurus itu. Dan dengan ramah ia mengangguk, mengingatkanku pada akting – akting hebatnya dibeberapa film dulu.
Ketika aku keluar, kutatap wanita itu, berterimakasih karena dia bersedia menjaga mejaku. Kemudian, pikiranku menggila, alih – alih duduk dikursi cokelat tuaku, aku mengambil buku karangan Djenar itu. Kopi masih ditanganku, ditemani buku lusuh tapi penuh makna dan pesan dari penulisnya.
“mba...” kataku, wanita itu menatapku nanar “saya mengenal mba, kalau boleh, sebagai salah satu pengagum mba dan film – film mba, saya mau kasih ini”
Kuserahkan secangkir kopi itu, dan buku lusuh yang meski aku tahu, aku harus berjuang lagi untuk menemukan yang baru. Wanita itu tersenyum menolak, tapi aku memaksa, hingga dia tak kuasa menahan permintaanku.