Demi sebuah ekslusivitas, mereka mempertontonkan kesedihan dan menjual penderitaan. Mungkin bagi mereka tidak cukup, bahwa dengan menunjukkan sebuah kabar duka saja sudah membuat miris, justru mereka mengejar tangisan keluarga para korban yang sedang tersayat kepedihan mendalam. Mempertontonkan tangisan dan penyesalan, mengungkap kenangan yang seharusnya menjadi milik pribadi keluarga, hanya untuk sebuah persaingan memamerkan kata EKSKLUSIF dan AKTUAL. Hebat?!!! Mereka justru konyol, mengubur perasaan kemanusiaan demi sebuah persaingan.
Miris, begitulah pertama kali yang bisa terasa, saat Pepih Nugraha, sang pendiri kompasiana menguak fakta mengenai oknum wartawan.
"Kalau ada berita kecelakaan, korbannya hanya satu dua orang, banyak wartawan yang tidak mau meliput"
Kata Pepih ketika mengisi acara di Kompasiana Nangkring Bareng BI di Medan 11 Oktober 2014 lalu. Terdengar sebuah nada penyesalan, mengenai oknum wartawan yang pilah - pilih berita yang seharusnya dikabarkan kepada masyarakat luas.
Tampaknya perkataan Pepih menunjukkan bukti yang nyata, setidaknya beberapa waktu terakhir Indonesia dihebohkan dengan hilangnya pesawat Air Asia, rute penerbangan Surabaya - Singapura. Yang lebih menghebohkan adalah, ketika sebuah stasiun televisi menayangkan "Jasad Mengapung" yang diyakini milik pesawat malang tersebut.
Tak pelak, stasiun televisi tersebut kemudian menjadi bulan - bulanan warga media sosial, bahkan KPI pun turun tangan menyoal berita "aktual" tersebut.
Sayangnya, tanpa kita sadari kejadian serupa sebenarnya sering terjadi ketika ada berita kecelakaan yang menghebohkan. Masih kental dalam ingatan kita saat MH17 dirudal di Ukraina yang mana penumpangnya sebagian adalah WNI. Stasiun TV berbondong - bondong menjumpai keluarga korban, menanyakan hal - hal konyol yang nyaris membuat telinga tak percaya. Apa pesan terakhir dari korban? Apakah ada tanda - tanda korban akan meninggal? Kenangan apa yang paling diingat? adalah tiga pertanyaan yang wajib ada saat mewawancarai para keluarga korban kecelakaan pesawat tersebut. Alih - alih menutup luka dihati, mereka justru membalurinya dengan cuka yang pedih. Alih - alih menunjukkan rasa empati, mereka justru berharap akan ada dramatisasi dalam tayangannya. Begitulah yang terjadi setiap kali ada persitiwa kecelakaan yang menghebohkan tanah air.
Semoga saja, diwaktu kedepan wartawan dan televisi lebih bijak dalam memilih berita dan narasumber mereka untuk ditampilkan ke publik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H