Legalitas LGBTQ? Apa maksudnya, apakah ada kaitannya dengan pernikahan sesama jenis? Tampaknya hal ini sama sekali tidak mengganggu kaum LGBTQ di Indonesia. Khususnya bagi para Gay (penyuka sesama jenis), pernikahan sebenarnya adalah produk bagi kaum heteroseksual. Lebih jauh, saya ingin mengatakan kami tidak butuh sebuah legalitas. Buat apa pemerintah melegalkan pernikahan sesama jenis, kalau akhirnya masyarakat tidak bisa menerima keadaan ini.
Legal atau tidak legal, faktanya LGBTQ memang sudah ada sejak lama di Indonesia. Kondisi masyarakat yang membuat keberadaan ini tidak terlihat secara terang – benderang. Terlebih prilaku LGBTQ yang dianggap sebagai sebuah dosa, penyakit, kelainan dan banyak lagi tuduhan lainnya. Dampaknya cukup rumit, terlebih bagi kaum Gay. Memaksakan diri untuk bisa menikah dengan lawan jenis adalah pilihan terakhir, demi memuaskan nafsu para penuntut norma masyarakat umum.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang sudah menerima dirinya sebagai Gay, tidak memaksakan diri seperti yang diminta oleh kebanyakan orang. Bukankah menjadi masalah tersendiri, ketika ternyata prosesi coming out (membuka diri) justru membuat mereka terjebak dalam hinaan dan cemoohan. Kehilangan orang – orang terkasih, keluarga, sahabat dan teman – teman, adalah resiko yang harus diterima seorang Gay. Seiring perjalanan waktu, keberadaan LGBTQ semakin tersudut, terlebih ketika ada satu atau dua kasus kriminal yang menlibatkan tokoh dari kaum tersebut.
Sebut saja kasus Rian dari Jombang yang membunuh belasan (puluhan mungkin) orang dan kebetulan orientasi seksualnya adalah Gay. Maka buru – buru semua orang menyamakan bahwa Gay, seharusnya sama dengan Rian. Lalu bolehkah saya menyamakan semua pria heteroseksual dengan Jack The Ripper yang membunuh banyak pelacur?
Kemudian, beberapa universitas di Indonesia, mulai secara terang – terangan menolak adanya kalangan Gay dilingkungan mereka. Entah atas dasar apa, tapi ketakutan akan “menular” membuat kami seakan adalah wabah yang seharusnya ditumpas habis, layaknya Mers, Zika bahkan HIV. Untuk virus terakhir, yang paling menyedihkan adalah, kalangan Gay selalu diidentikkan dengan HIV - AIDS. Dalam tulisan sebelumnya, saya mengungkapkan bahwa siapa saja bisa terkena virus HIV, dan siapa saja bisa terjangkit AIDS.
Baiklah, mungkin adalah salah kami yang terlahir sebagai wanita lesbian, adalah dosa kami yang tumbuh menjadi pria gay. Adalah penyakit yang kami harus hadapi, ketika menyadari bahwa kami adalah Biseksual, atau adalah keputusan bodoh kami yang akhirnya memutuskan untuk menjadi Transgender. Tapi, tidak bisakah kalian menerima kami selayaknya kami adalah manusia biasa?
Disisi lain, terkait legalitas yang sedang diributkan itu. Bagaimana kalau pemerintah memperbaiki sistem yang ada. Sebagai contoh kecil adalah ; seorang anak yang lahir dari wanita tanpa suami, memiliki kesulitan tersendiri untuk menempuh pendidikan. Hal ini pastinya akan berlaku, jika sepasang Gay mengadopsi anak, kemudian menginginkan anaknya untuk sekolah di sekolah umum.Karena harus diakui, tingkat pengakuan terhadap kedua kondisi tersebut tampaknya tidak jauh berbeda.
Ketika saya mengungkapkan soal anak yang diasuh (dibesarkan) sepasang (seorang) Gay, kebanyakan teman – teman berujar. Kalau Gay yang mengasuh anak dari kecil, bukankah kemungkinannya besar sekali bahwa anak tersebut akan tumbuh menjadi gay juga. Nah, saya hanya bisa mengembalikan dengan pertanyaan yang tidak jauh berbeda, Kalau pasangan heteroseksual bisa melahirkan (membesarkan) anak yang menjadi gay, bukankah gay juga bisa membesarkan anak yang menjadi hetero?
Akhirnya, saya mengatakan, topik yang harus dibahas adalah “Pengakuan da penerimaan pemerintah terhadap keberadaan LGBTQ di Indonesia, bukan legalitas (pernikahan legal) yang pasti akan tertolak dilapangan.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI