"laki -- laki tidak mau sama aku, bukan karena pola pikirku..." Ranum menjawab "tapi karena mereka takut menjadi inferior dihadapanku"
Begitulah Ranum, standarnya untuk mendapatkan pasangan hidup memang cukup tinggi. Hanya pria yang benar -- benar mampu berpikir terbuka yang bisa menerima pemikiran gadis itu.
Senja mulai tenggelam, hadir kembali keindahan sumringah malam. Ranum terbaring diatas kasur mencoba mengeja kembali kesalahannya sebagai seorang gadis. Nihil, Ranum tidak menemukan satupun alasan tepat yang bisa membuatnya benar -- benar tidak diinginkan oleh pria.
***
Malam yang tergerus begitu datar di kota Jogja, setidaknya bagi Tristan. Sudah tiga kali pria berusia tiga puluh dua tahun itu menyetir berputar putar di sekitaran jalan kaliurang, sekedar untuk menangkan pikiran. Usia yang matang, pekerjaan yang mapan, membuat Tristan tersedak untuk mendapatkan tuntutan agar segera mendapatkan pendamping hidup.
Sayangnya, bagi Tristan, beberapa gadis yang pernah ditemuinya, tidak ada satupun benar -- benar sesuai dengan keinginan hati pria itu. Budaya wanita jawa yang mayoritas ramah dan manut, membuat Tristan jengah. Pria yang bekerja di salah satu perusahaan multinasional itu menginginkan sosok pendamping hidup yang sejalan dengannya. Tidak harus sepemikiran, tidak harus selalu menuruti keinginan Tristan. Baginya, perdebatan dalam sebuah hubungan adalah keindahan yang harus dijalani.
"saya tidak mencari wanita yang akan menjadi pendamping hidup saya" kata Tristan kepada seorang wanita yang dikenalnya lewat situs pencari jodoh daring.
Wanita itu terlihat terkejut tidak percaya dengan ucapan Tristan. Namun ia menunggu untuk ucapan selanjutnya.
Bagi Tristan, wanita sudah selayaknya diberi posisi seharusnya dalam keluarga. Seorang istri dan ibu, tidak melulu harus masak di dapur atau mencuci pakaian kotor saja. Suami sebagai kepala keluarga pun terkadang harus mengambil tanggung jawab yang sama. Didalam keluarga, suami dan istri, ayah juga ibu memiliki posisi setara bagi Tristan.
"sebuah bahtera tidak mungkin memiliki dua nahkoda" kata wanita itu menjawab. Menyiratkan bahwa salah satu diantara pria atau wanita harus mengambil alih sebagai pemimpin dalam keluarga. Dan dalam budaya manapun, pria adalah sosok paling tepat untuk posisi tersebut.
Bagi Tristan, analogi itu tidak tepat. Seringkali dia mendengar analogi sama, seperti tidak mungkin bumi disinari oleh dua matahari. Dan sebagainya dan sebagainya.