Harus aku akui, bahwa sejak terlahir ke dunia ini, atau setidaknya sejak ibu meninggal, aku tidak pernah adalah bagian dari keluarga ini. Ayah mengirimku jauh dari Alfira dan Tobias, dua saudara kandungku untuk tinggal bersama nenek, dan akhirnya nenek menitipkanku pada Lina, anak keempatnya, adik ayah. Alfira yang lebih tua empat belas tahun dariku, berulang kali berusaha mendekatkan diri. Sedang Tobias, sudah terjebak dengan narkotika sejak duduk dibangku Sekolah Menengah.
Aku ingat betul, waktu itu pukul satu siang, saat aku masih mengenakan seragam putih merah. Ketika akan berjalan melangkah pulang sekolah, Alfira menghentikanku ditengah jalan. Dia menyimpan sesuatu ditangannya, menatapku dengan penuh kasih sayang seorang gadis kepada adik bungsunya.
"Coba ingat, apa yang kamu minta sebagai hadiah ulang tahunmu?" kata Alfira waktu itu sumringah.
Lalu, perempuan yang sudah digilas dengan berbagai duka sejak masa kecil itu mengeluarkan sebuah kotak. Kotak yang dibungkus rapi dihiasi pita berwarna biru, membiarkanku menebak isinya. Sebuah jam tangan yang aku tahu, Alfira membutuhkan waktu lama mengumpulkan uang untuk membelinya.
kau tau, sejauh apapun saudara dipisahkan
tidak akan ada hubungan lebih kental daripada hubungan darah
Selama sembilan tahun aku hidup dirumah Lina, setiap akhir tahun, Alfira selalu menjemput untuk membawaku pulang ke kempung ibu. Bertemu dengan saudara -- saudara ibu, berkenalan dengan anak -- anak mereka, saudara sepupuku. Atau sekedar mendapatkan pelukan rindu dari kakek dan nenek, orang tua ibu.
Krikil tajam mulai menghalangi jalan kehidupan, ketika ibu dari ayah meninggal dunia. Usiaku baru delapan tahun waktu itu. Dan yang aku tahu, babak baru sebuah kehidupan baru saja dimulai. Satu peristiwa yang akan membuatku akan selalu berbeda dari anak laki -- laki lainnya. Satu peristiwa yang akan mengubah seorang anak yang tidak tahu apa -- apa, menjadi monster mengerikan, pembawa masalah dimanapun dia berada.
Aku tidak akan bisa melupakan bagaimana Berlin, sepupuku, anak semata wayang Lina, merentangkan tubuhnya diatas kursi jati kebanggaan ibunya. Waktu itu Berlin berusia lima belas kurasa, ketika pertama kali dia membuka celananya dihadapanku dan menjadikanku mainan barunya.
Kalau saja aku tahu itu adalah sebuah kesalahan, mungkin aku tidak akan pernah melakukannya. Kalau saja aku tahu peristiwa itu akan membuatku tumbuh menjadi manusia yang merasa terkutuk oleh takdir, aku akan menghindarinya. Kenyataannya, selama setahun Berlin melakukannya padaku, dan selama setahun itu pula, aku tidak berteriak untuk sebuah pertolongan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!