Dia adalah sebuah kisah
Tempatku pernah menyandarkan lelah
Dia adalah sebuah mimpi
Berakhir dalam tragedi
Aku bertemu dengannya lima belas tahun lalu, setengah dari usianya sekarang, saat mungkin saja sudah tak ada lagi tempat mengadu. Dia bersama ayah dan yang kupikir adalah ibunya, sedang menyantap hidangan makan siang, waktu itu. Aku sendiri berada di meja lain, berbincang dengan orang tuaku, tentang perjalanan menyambut tempat tinggal baru.
Aku menatapnya sekian lama, untuk kemudian menyadari bahwa dia tidak benar - benar bahagia. Aku merasakan kepalsuan dalam tawa, hatinya masih menyimpan duka. Ketika sebuah pengumuman bahwa pesawatnya sudah tersedia, dia bergegas tertunduk untuk sebuah segera. Kedua orang tuanya berusaha untuk menunggu lebih lama, namun kelihatannya dia terlalu gelisah untuk meninggalkan tempatnya. Pertengkaran keluarga kecil terdengar akhirnya, orang tua mengalah pada anaknya, mereka segera memasuki ruang tunggu dalam tawa kecil yang berusaha.
Hanya sepuluh menit setelah kepergiannya, aku dan orangtuaku mempersiapkan diri, menimbang antrian untuk memasuki pesawat sudah berakhir. Tentu saja, kami tidak ingin nama - nama kami disebut dalam sebuah panggilan terakhir.
Pesawat itu tidak membawa banyak penumpang, hanya tiga perempat yang terisi berharap segera bertemu Bali. Aku melihatanya berbincang dengan seorang pramugari, kemudian perbincangan itu berpindah dengan orang tuanya sendiri. Sebuah anggukan persetujuan, dia mengambil ransel dan walkman miliknya dan melangkah pada kursi paling belakang. Dia ingin sendiri.
Ketika pesawat itu sudah lepas landas, aku mencari alasan agar bisa pindah dari tempat dudukku saat ini. Ayahku mengerti, aku tidak pernah ingin berpergian bila tidak duduk didekat jendela pesawat. Sedangkan ibu, punya masalah yang sama denganku. Setelah selesai bernegosiasi dengan pramugari, aku diizinkan untuk berpindah.