Seorang teman tanpa meminta bantuan saya untuk melakukan pemeriksaan plagiarisme terhadap satu disertasi menggunakan aplikasi turnitin. Betapa terkejutnya, ketika saya menemukan 58% (Lima Puluh Delapan Persen) penjiplakan dianggap pada tulisan tersebut.
Sebagai perbandingan, beberapa tahun lalu saya melakukan hal sama terhadap sebuah skripsi, hasilnya menunjukkan 37% (Tiga Puluh Tujuh Persen) kasus yang sama.
Saya yang hanya menamatkan diri dari bangku putih abu -- abu ini akhirnya memutuskan untuk membaca disertasi tiga ratus halaman tersebut. Mencoba menimbang -- nimbang, apa yang sedang hendak disajikan calon strata tiga satu ini, sampai -- sampai saya sendiri tidak tega memberi penilaian terhadap tulisan tersebut.
Bukannya sok pintar. Hanya saja, menurut saya bagi seorang mahasiswa tingkat tertinggi dalam perguruan tinggi, seharusnya punya pemikiran luas untuk karya penelitiannya.
Ketika bertemu dengan BAB 1 yang berisi pendahuluan, saya langsung memahami kendala disertasi satu ini. Nyatanya, penulis yang berprofesi sebagai dosen tersebut memilih untuk memutar banyak kata dari banyak ahli sebagai bahan dalam tulisannya.
Ada empat atau lima nama diperkenalkan, hanya untuk mengartikan satu kata dari judul disertasinya. Nama yang sama dengan tambahan nama -- nama lain di uraikan untuk menjelaskan kata kedua.
Banyak nama -- nama lain, berhamburan menyampaikan gagasannya untuk sekedar memberi penjelasan mengenai arti kata dari keseluruhan judul disertasi tersebut. Akhirnya, tujuh belas halaman terbuang percuma, yang ironisnya tidak ada satu katapun (selain kata penghubung atau pengganti tentunya) yang adalah pemikiran dari penulis sendiri.
Pada sub judul kedua, penulis memberikan poin -- poin pokok rumusan masalah yang menjadi objek penelitiannya kali ini.
Ketika sampai pada BAB 2, saya kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, penjelasan -- penjelasan mengenai pengertian satu kata yang berasal dari judul disertasi ini diulang kembali.
Kali ini, oleh pendapat dari ahli yang berbeda yang sekali lagi bukan penulis itu sendiri. Saya membaca sekilas, pola yang dilakukan sama seperti pada BAB 1 sub judul 1 tadi.
Merasa bosan, saya pun akhirnya masuk ke BAB 5 berharap menemukan perumusan masalah yang dijanjikan pada BAB 1 sub judul 2. Sekali lagi, saya harus kecewa. Sebab penulis sekali lagi membosankan saya dengan pendapat dari ahli ini dan itu.
Lalu perlahan saya mencoba mengurai sendiri BAB 3 dan BAB 4 berharap saya salah menilai disertasi ini. Saya gagal. Alih -- alih menyebutnya sebagai sebuah disertasi, saya lebih suka menyebut tulisan ini sebagai kumpulan pendapat para ahli mengenai judul yang disajikan.
Saya berharap, saya yang sekali lagi hanya lulusan SMA ini salah mengartikan disertasi seharusnya. Didalam pikiran saya, disertasi adalah buah pikiran penulis tentang suatu objek yang ditelitinya dengan kajian empiris dan sebuah observasi nyata kemudian membuktikan hipotesisnya dengan mengacu pada pendapat para ahli sebelum dirinya.
Yang menarik perhatian saya, adalah dari ratusan sumber yang ditemukan turnitin, yang sebagian besar berasal dari internet. Lebih dari satu persen adalah informasi yang bersumber dari kompasiana.com.
Saya mencoba mengulik arti disertasi di mesin pencari google, ternyata saya tidak terlalu banyak keliru. Jadi, saya bertanya sekali lagi pada diri saya sendiri "kalau dari pendahuluan sampai pembahasan yang disajikan adalah pendapat ahli, apa yang sedang ada dihadapan saya ini?"
Kelemahan Literasi Tumpulnya Imajinasi
Saya yakin, bahwa kasus yang saya hadapi kini bukanlah pertama kali di dunia pendidikan Indonesia. Saya hanya ragu, apakah benar ada mahasiswa strata tiga lainnya yang melakukan hal serupa pada disertasinya.
Maksud saya, sebagai seorang mahasiswa dengan tingkat tinggi, seharusnya penulis tersebut mengetahui bahwa yang dibutuhkan dalam disertasinya adalah buah pikirnya sendiri mengenai sesuatu yang ironisnya dipilihnya sendiri untuk diteliti.
Menurut saya, internet memiliki peran penting dalam gagalnya beberapa akademisi menyelesaikan penelitiannya sendiri.
Sebab semua informasi sudah tersedia di mr. google seolah -- olah menjadi sarjana itu semakin mudah saja. Padahal, informasi yang dihidangkan di internet seharusnya hanyalah sekedar pancingan bagi kepala (dan hati) untuk bisa menciptakan satu setidaknya pendapat baru mengenai suatu hal.
Internet berhasil membuat sebagian orang melupakan eksemplar eksemplar cetakan ilmiah yang seharusnya bisa menambah wawasan imajinasi dalam berkarya.
Tapi, saya tidak benar -- benar mengerti. Apakah sebuah karya ilmiah memang dibutuhkan untuk menjadi seorang akademisi, atau hanya sekedar stempel untuk mengucap sah mendapatkan sebuah gelar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H