Merasa bosan, saya pun akhirnya masuk ke BAB 5 berharap menemukan perumusan masalah yang dijanjikan pada BAB 1 sub judul 2. Sekali lagi, saya harus kecewa. Sebab penulis sekali lagi membosankan saya dengan pendapat dari ahli ini dan itu.
Lalu perlahan saya mencoba mengurai sendiri BAB 3 dan BAB 4 berharap saya salah menilai disertasi ini. Saya gagal. Alih -- alih menyebutnya sebagai sebuah disertasi, saya lebih suka menyebut tulisan ini sebagai kumpulan pendapat para ahli mengenai judul yang disajikan.
Saya berharap, saya yang sekali lagi hanya lulusan SMA ini salah mengartikan disertasi seharusnya. Didalam pikiran saya, disertasi adalah buah pikiran penulis tentang suatu objek yang ditelitinya dengan kajian empiris dan sebuah observasi nyata kemudian membuktikan hipotesisnya dengan mengacu pada pendapat para ahli sebelum dirinya.
Yang menarik perhatian saya, adalah dari ratusan sumber yang ditemukan turnitin, yang sebagian besar berasal dari internet. Lebih dari satu persen adalah informasi yang bersumber dari kompasiana.com.
Saya mencoba mengulik arti disertasi di mesin pencari google, ternyata saya tidak terlalu banyak keliru. Jadi, saya bertanya sekali lagi pada diri saya sendiri "kalau dari pendahuluan sampai pembahasan yang disajikan adalah pendapat ahli, apa yang sedang ada dihadapan saya ini?"
Kelemahan Literasi Tumpulnya Imajinasi
Saya yakin, bahwa kasus yang saya hadapi kini bukanlah pertama kali di dunia pendidikan Indonesia. Saya hanya ragu, apakah benar ada mahasiswa strata tiga lainnya yang melakukan hal serupa pada disertasinya.
Maksud saya, sebagai seorang mahasiswa dengan tingkat tinggi, seharusnya penulis tersebut mengetahui bahwa yang dibutuhkan dalam disertasinya adalah buah pikirnya sendiri mengenai sesuatu yang ironisnya dipilihnya sendiri untuk diteliti.
Menurut saya, internet memiliki peran penting dalam gagalnya beberapa akademisi menyelesaikan penelitiannya sendiri.
Sebab semua informasi sudah tersedia di mr. google seolah -- olah menjadi sarjana itu semakin mudah saja. Padahal, informasi yang dihidangkan di internet seharusnya hanyalah sekedar pancingan bagi kepala (dan hati) untuk bisa menciptakan satu setidaknya pendapat baru mengenai suatu hal.