Ratna Sarumpaet bukan nama baru di negeri ini. Tokoh wanita, yang merangkap sebagai seniman teater, penggiat film, juga aktifis ini namanya sudah melegenda sejak bahkan sebelum reformasi.
Ratna, adalah sosok idealis wanita yang acapkali berbenturan dengan kekuasaan. Sebab idealisme tinggi ini pula, Ratna sempat harus meringkuk dibalik jeruji besi selama dua bulan.
Tapi, saat usia semakin jauh membawa kehidupan dalam perjalanan. Ratna terpleset di dunia politik praktis. Bukan hanya Ratna, sebagian besar aktifis besar terjermbab dalam politik dan akhirnya meninggalkan idealisme yang mereka gaungkan sebelum namanya berkibar.
Sejujurnya, pada momen - momen tertentu, saya masih mengagumi sosok Ratna belakangan ini. Sebut saja kritik pedas Ratna kepada para pendukung fanatik Jokowi.
Seolah hendak membangunkan, bahwa Presiden ke tujuh RI itu adalah manusia biasa, ada celah kesalahan yang bisa diperbuatnya. Tapi, kita justru menyalahkan Ratna. Seolah ucapannya hanyalah kritik oposan belaka yang mencari sensai dibalik prestasi pemerintah.
Kemudian, cerita membawa Ratna terpleset lebih dalam lagi di dunia politik. Idealisme yang saya kagumi itu perlahan luntur, membangunkan kepentingan pada kekuasaan yang tidur terlelap dalam dirinya.
Hilang sudah seorang Ratna Sarumpaet, sang sutradara "Pelacur dan Sang Presiden" yang dulu benar - benar saya kagumi itu. Namanya kian hitam, bersama aktor politik lain yang sedang berebut kue kekuasaan. Satu langkah, sanggup memporak porandakan nama yang dia bangun seumur hidupnya.
Kekaguman saya pada Ratna hilang, bukan sebab ibunda Atiqah Hasiholan itu berbeda pandangan politik dengan saya. Tapi, cara wanita berusia tujuh puluh tahun itu mengemas idealisme yang ternoda narasi politis membuat saya gerah juga pada akhirnya.
Sayangnya, saat ini hanya Ratna yang dengan gagah mampu mempertontonkan kesalahannya. Diluar sana, masih banyak (bekas) aktifis lain yang masih menikmati "jerih payah" mereka di dunia politik tanah air.
Sebab politik, idealisme menjadi runtuh tanpa bekas. Berapa banyak aktifis '65 yang bergelimang kuasa hingga akhirnya terpidana. Atau aktifis '98 yang dulu begitu dicintai justru terjebak korupsi.
Pengakuan Ratna akan kebohongan yang dia lakukan adalah momen tepat mengembalikan kita pada sesuatu yang tidak pernah akan bisa diperjual belikan. Idealisme sebagai manusia, integritas tanpa batas. Sehingga, tiba suatu saatnya nanti kita masih ingat dengan apa yang sebenarnya kita perjuangkan dalam berdemokrasi.