Pemberitaan media memang sedang diguncang hebat oleh aksi Ratna Sarumpaet. Tapi, media sosial punya kesibukannya sendiri. Adalah sebuah adegan dalam satu sinetron yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta menjadi perbincangan. Adegan diatas ranjang, berpelukan seolah tanpa mengenakan pakaian membuat gerah para warganet. Belum lagi, sinetron yang dimaksud tayang pada waktu "prime time" dimana anak dan remaja masih bisa menyaksikannya.
Kecaman pun terlontar. Terbayang oleh beberapa komentar, dimana seri animasi anak yang menjadi korban sensor. Sedangkan, adegan dewasa yang dipertontonkan dua remaja yang bahkan tidak pinya ikatan pernikahan, lolos dari pantauan LSI.
Ini adalah satu dari sekian banyak kelemahan sinetron kejar tayang. Sebab, biasanya sinetron kejar tayang bisa dikatakan syuting siang tayang malam, dihari yang sama. Sehingga, sebenarnya tidak ada waktu untuk melapor ke LSI mengenai konten yang akan ditayangkan. Sebab, video hasil syuting masih harus di edit di studio sebelum akhirnya diserahkan pada stasiun televisi. Dalam hal ini, salinan yang sebenarnya juga harus diserahkan kepada LSI dan KPI seolah terabaikan.
Padahal, urutan yang benar dalam produksi sinetron adalah:
1. Kegiatan produksi syuting sinetron
2. Kaset hasil syuting dibawa ke studio untuk di edit
3. Selesai edit, kaset diserahkan kepada LSI untuk kemudian dikeluarkan surat "layak tayang" sesuao dengan sasaran penonton produksi tersebut.
4. Lalu kaset diserahkan kepada stasiun televisi, untuk ditayangkan.
Jarak antara lokasi syuting dengan tempat editing seringkali terlalu jauh. Ditambah kemacetan Ibukota, membuat waktu "runner" (yang bertanggung jawab mengantar kaset) menjadi terbatas. Proses editing pun butuh waktu, dan dikejar jam tayang membuat produksi tidak sempat diperiksa oleh LSI.
Lalu pertanyaannya adalah;
Bagaimana LSI bisa mengeluarkan surat layak tayang, jika menyaksikan produksinya saja mereka belum?