Dalam permainan catur, seringkali kita berpikir lawan akan menjalankan kuda atau benteng untuk menyerang. Lalu kita siap - siap untuk bertahan dari serangan yang akan datang. Alih- alih lawan justru menjalankan pion satu langkah, membuyarkan strategi yang sudah kita siapkan.
Begitulah politik, kita hanya bisa menduga langkah lawan. Selalu ada rencana cadangan, kalau - kalau antisipasi sebelumnya adalah sebuah kekeliruan. Dalam politik, tidak ada yang benar - benar hitam, tidak pula bisa disebut putih. Semuanya abu - abu.
Tengok saja, seorang yang dalam pelariannya karena menganggap penguasa sedang mengincarnya. Ketika di negri seberang terpojok, seolah mengibarkan bendera putih sosok tersebut meminta perlindungan dari penguasa yang tadinya dia anggap sebagai pemburunya.
Atau dua puluh tahun lalu, ketika seorang tokoh reformis dengan vokal menyebut seseorang tidak boleh menjadi penguasa negri ini. Seiring berjalan waktu, disertai kegagalan demi kegagalan tokoh tersebut, kini dia justru mendukung orang yang dulunya paling dia "benci".
Hanya memakan kepala sendiri yang tidak mungkin dalam politik. Bisa jadi, ungkapan ini benar - benar menunjukkan fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Bahwa para elit, tidak pernah berpikir untuk siapa mereka berjuang. Yang benar adalah, untung dan rugi yang mungkin mereka dapatkan dalam perjuangan itu. Sehingga, kepentingan para politisi menjadi momok menakutkan bagi rakyatnya sendiri.
Mari kita ambil contoh sederhana. Adalah kejahatan luar biasa, korupsi. Koruptor seolah menjadi musuh bersama di negri ini. Disaat bersamaan, para elit saling tutup mata pada koruptor kelas kakap dihadapan mereka.
Bagaimana tidak, berapa banyak kasus korupsi di negri ini yang terhenti pada pelaku kelas teri? Sedangkan otak dan dalangnya bebas berkeliaran bahkan mendapatkan simpati. Apakah lawan politik tidak tahu korupsi yang terjadi? Salah! Semua orang tahu korupsi itu terjadi, hanya saja lawan politik tidak menggunakannya sebab mereka juga punya dosa yang sama. Ibaratnya, dalam dunia politik mereka bersebrangan, tapi di ranah hukum mereka berusaha saling melindungi. Walaupun sebenarnya tindakan itu hanyalah melindungi diri sendiri.
Saya hendak mengajukan sebuah ilustrasi,
Diana adalah seorang manajer dalam sebuah toko. Beberapa karyawan mengetahui kalau Diana beberapa kali melakukan penggelapan keuntungan toko. Tapi karyawan tersebut tidak bisa mengadu, sebab Diana adalah kepercayaan tunggal di toko tersebut.
Lalu, ada Anita yang kelak menggantikan posisi Diana sebab Diana akan diberi jabatan lebih tinggi. Anita, juga mengetahui tindak tanduk Diana yang merugikan toko tersebut. Tapi, Anita terbentur sebab dirinya pernah melakukan penggelapan dengan cara yang berbeda.
Karyawan sebenarnya menginginkan Anita untuk melaporkan Diana. Tapi karyawan paham bahwa Anita juga tidak bisa berbuat apa - apa sebab punya dosa yang sama yang diketahui Diana. Akhirnya, para karyawan pun melakukan caranya sendiri dalam meraih keuntungan pribadi di toko tersebut. Tidak ada yang saling menuduh walaupun saling mengetahui. Dan penggelapan di toko itu menjadi budaya yang mengakar. Bukan hanya karena mereka senang melakukannya, tapi karena mereka tahu tidak akan ada yang melaporkan sebab semua orang punya dosa yang sama.