Sejak pindah ke Jakarta dan duduk dibangku SMA, saya menghabiskan sekitar tiga puluh persen pengeluaran bulanan saya untuk membeli buku. Sampai - sampai kamar kost saya berubah menjadi tumpukan buku yang sebagian besarnya bahkan tidak disentuh sama sekali.
Ayah saya, yang berulang kali mengunjungi saya ke Jakarta seringkali berkomentar "ini kamar atau perpustakaan, buku apa saja yang kamu beli?" dan saya hanya tersenyum tidak mampu menjawab. Dulu, alasan saya membeli buku hampir setiap minggu adalah gengsi.
Maklum saja, waktu itu saya adalah bocah kampung yang hendak menunjukkan taringnya dihadapan anak - anak ibu kota.
Alhasil, saya sudah membaca buku - buku seperti milik Andrei Aksana, Jhon Grihsam, bahkan buku - buku politik dan konspirasi masa lalu sudah tersimpan rapi didalam kamar saya.
Dulu, belum ada smartphone yang sanggup membuat penggunanya lupa apa saja. Bahkan, kalau nafas bukanlah suatu rukun dalam hidup mungkin manusia sudah lupa bernafas hanya sekedar demi Ponsel pintar.
Jadilah, saya membaca satu persatu buku - buku yang saya beli itu dan akhirnya menjadi candu. Dari sana, kemudian saya mulai belajar menulis, dari hal - hal kecil sampai yang cukup rumit bagi seorang siswa SMA. Disaat anak - anak seusia saya masih asyik dengan buku pelajaran mereka, saya (berhasil mengejutkan para guru) menenteng satu buku besar tulisan Plato ke sekolah.
Candu baca saya menjadi tidak terselamatkan ketika dunia internet menyapa dan seolah bersahabat dengan manusia. Saat SMA, saya menghabiskan waktu di sekolah hampir seharian, lalu toko buku sekitar dua minggu sekali, dan warnet hampir setiap malam hari.
Bagi saya, membaca adalah bagaimana saya mampu membuka dunia dan menulis adalah cara saya untuk tetap abadi
Ternyata, candu baca saya tidak berhenti disana. Beranjak dewasa, saya masih suka mampir ke toko buku sekedar melirik novel fiksi terbaru atau tulisan - tulisan "orang pintar" mengenai agama. Tapi, kini alasan saya membeli buku bukan lagi sebuah gengsi. Buku adalah kebutuhan, bahkan saya sengaja menghidari e - book dan tetap setia bersama buku - buku konvensional.
Hasilnya, saya yang hanya lulusan SMA sanggup mengimbangi seorang pegawai kementrian dalam berdiskusi soal politik sekira tujuh tahun lalu. Dihadapan mahasiswa - mahasiswa Politik - Hukum pun saya menjadi percaya diri setiap diajak diskusi bertukar pendapat mengenai kondisi terkini perpolitikan tanah air.
Iya, benar bahwa buku - buku itu tidak sanggup menyerahkan sertifikat sarjana kepada saya. Lebih daripada itu, buku mampu meletakkan saya pada posisi yang tidak akan bisa dianggap remeh siapa saja meski dengan keterbatasan sertifikasi.