Pesawat mendarat di bandara Kuala Namo, Deli Serdang, Sumatera Utara. Puluhan orang mencari jalan tercepat untuk keluar dari kabin, seolah lumbung besi itu akan meledak, seolah tidak ada waktu tersisa untuk bertahan lebih lama lagi. Mereka terpelajar, tapi dikalahkan ego masing – masing. Bahkan seorang ibu tua harus mengalah pada remaja yang sudah tidak sabar menginjakkan kaki di bumi Melayu itu.
Selalu ada yang mengejar waktu,
Tak ingin tertinggal terlalu jauh,
Sebodoh itukah kita,
Diperbudak oleh sesuatu yang tak pernah nyata
Aku melangkahkan kaki keluar dari pintu kedatangan. Bagiku, ini yang pertama kali merasakan udara Kuala Namo. Sebelumnya, untuk yang terakhir kali, aku melakukan penerbangan dari Bandara Polonia yang tersudut ditengah kota Medan.
Waktu selalu memberi kesempatan untuk berubah,
Seringkali perubahan itu bahkan tidak bisa diterima oleh manusia sendiri,
Seolah kita tak pernah meyakini,
Satu – satunya yang takkan berubah adalah perubahan itu sendiri
Pikiranku masih melayang di Pantai Kuta saat mengambil duduk disebuah café kecil untuk menyeruput secangkir kopi. Aneh rasanya, ketika menyadari bahwa tempatku berada sekarang adalah salah satu penghasil kopi terbaik di Indonesia, tapi mereka justru menawarkan kopi daerah lain, bahkan negara lain. Sebegitu pesimiskah kita pada milik kita sendiri, sebegitu memalukan, sehingga tak ada yang ingin membuat sesuatu menjadi kebanggan bagi dirinya sendiri.