Penghapusan subsidi BBM seakan menjadi dilema tersendiri bagi Pemerintah Republik Indonesia. Disatu sisi, penghapusan subsidi tersebut disebut – sebut akan menyengsarakan rakyat, disisi lain, pemerintah sepertinya menyadari bahwa sesuatu harus dilakukan untuk menyelamatkan krisis energi di Indonesia.
Namun, yang pasti tugas untuk menyelamatkan energi di Indonesia bukan hanya berada dipundak Pemerintah. Tugas ini juga berlaku bagi setiap elemen masyarakat yang mengaku Bangsa Indonesia terlebih bagi mereka yang memang tinggal di Indonesia.
Rakyat Manja, Pemerintah Harus Apa?
Sorotan penulis kali ini adalah mengenai rakyat yang manja dengan subsidi. Hal ini tidak berbeda apakah rakyat tersebut adalah orang kaya atau orang tak punya. Bagaimanapun starata ekonominya, rakyat Indonesia memilih untuk menghemat bagi dirinya sendiri.
Menghemat bagi dirinya sendiri, artinya rakyat memilih untuk menggunakan BBM subsidi daripada non-subsidi. Menariknya, sebuah mobil yang dibeli seharga diatas seratus juta sekalipun, merengek – rengek meminta pemerintah untuk memberikan subsidi.
Logika dasar adalah, jika subsidi bagi kendaraan pribadi terus dilakukan, maka bisa dipastikan pemerintah tidak akan terlepas dari beberapa masalah. Masalah tersebut antara lain;
1.Pemerintah akan selalu memboroskan APBN untuk subsidi BBM yang nyatanya dinikmati oleh orang mampu.
2.Pemerintah tidak akan pernah bisa menemukan solusi untuk kemacetan yang terjadi dikota – kota besar di Indonesia.
Khusus untuk poin ke dua, jelas peran serta rakyat sangat dibutuhkan. Solusi termudah untuk memecahkan masalah ini adalah; pemerintah menghapus subsidi BBM, yang membuat rakyat dua kali berpikir dalam keinginan untuk membeli kendaraan pribadi. Rakyat akan memilih untuk menggunakan kendaraan umum jika memang terbukti biayanya bisa lebih murah.
Artinya, jelas bahwa rakyat Indonesia harus menyadari bahwa menghapus subsidi BBM adalah kebijakan pemerintah yang terbaik untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia sendiri.
Orientasi Pemerintah Harus Berubah
Meningkatnya Krisis energi di Indonesia, bisa dipastikan kesalahan Pemerintah dalam tata kelola yang dilakukan. Tampaknya selama ini, pemerintah hanya fokus pada produksi, kemudian sedikit melupakan penambahan cadangan baru untuk energi tidak terbarukan. Padahal untuk SDA yang tidak terbarukan, yang paling utama adalah menambah cadangan baru.
Perlu diketahui bahwa Potensi sumber daya migas di perut bumi, menurut kementrian ESDM berkisar 50 Miliar Barel, menurut geologis Internasional sekitar 80 miliar Barel.Tapi cadangan (yang terbukti) hanya 3,5 Miliar Barel. Hal ini diungkapkan oleh pengamat energi Kurtubi yang dilansir antaranews.com pada 8 September 2014.
Jika, perkataan Kurtubi benar adanya, maka Pekerjaan Utama pemerintah kali ini adalah mencari tambahan cadangan baru yang masih berada di Indonesia, sekitar 46,5 Miliar Barel (merujuk pada info Kementrian ESDM).
Soal SDM, semua elemen harus berbenah diri
Tidak bisa dipungkiri, untuk mengelola SDA dengan baik, maka dibutuhkan SDM yang baik pula. Dan tugas utama untuk prihal SDM sebenarnya ada pada Mahasiswa, bukan pemerintah. Menariknya, mahasiswa di Indonesia lebih asyik berdemo menolak kebijakan pemerintah daripada membantu pemerintah dalam mendapatkan solusi untuk kebijakan yang lebih baik.
Disamping itu, mahasiswa yang memang berkompeten banyak yang memilih untuk melanjutkan studi diluar negri. Memang, tidak ada yang salah kecuali jika diperhatikan bahwa mahasiswa - mahasiswa tersebut akhirnya memilih untuk bekerja di perusahaan swasta dan/atau bekerja diluar negri. Artinya orientasi mahasiswa sendiri lebih untuk menguntungkan dirinya daripada membantu bangsa menjadi lebih baik.
Tidak hanya mahasiswa dan kaum akademis, masyarakat awam juga harus berbenah diri. Seringkali, masyarakat mengaku paling dikorbankan bila subsidi dihapuskan. Padahal, pada dasarnya, jika memang yang bicara itu adalah rakyat yang tidak punya (miskin) maka dampaknya tidak terlalu berat semestinya.
Memang kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan bahan pokok lainnya. Tapi pemerintah saat ini mengaku, sedang melakukan upaya, agar BBM tidak menjadi patokan pasar dalam hal kenaikan harga. Yang pasti, proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
Yang terakhir, adalah pemerintah. Pemerintah harus terbuka pada rakyat, bahwa cadangan migas Indonesia tidak seperti apa yang beredar selama ini. Bahwa Indonesia kaya migas memang benar, tapi harus ditunjukkan juga besaran konsumsi migas di Indonesia pertahunnya, yang jika dicermati jauh lebih besar dari produksi.
Disamping itu, pemerintah harus mulai berbenah juga dipersoalan penggunaan energi Migas terutama pada minyak. Indonesia, selama ini masih berpatokan pada tenaga diesel untuk hal pembangkit listrik. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan panas bumi yang terbesar didunia, artinya pemerintah harus beralih ke energi panas bumi untuk pembangkit listrik yang penggunaanya bisa disebut akan meningkat setiap waktunya.
Akhirnya, sampai pada kesimpulan bahwa krisis energi membutuhkan peran besar Sumber Daya Manusia dalam menanganinya. Menghemat energi adalah satu – satunya cara mengatasi keadaan ini. Sumber Daya Manusia yang dimaksud, bukan hanya pada mereka yang berkompeten dibidang energi tersebut, tapi juga pada seluruh lapisan masyarakat yang menggunakannya.
Indonesia, seluruh elemen masyarakat, jika tidak bisa mulai berbenah diri dalam produksi migas (dibagian hulu oleh akademisi dan pemerintah) dan konsumsi (oleh rakyat luas) maka bisa dipastikan Indonesia akan mengalami chaos pada sepuluh atau dua puluh tahun mendatang.
Masyarakat Indonesia sekarang mungkin tidak akan mengalami krisis energi yang dimaksud, tapi anak – cucu bangsa akan menjadi korban yang paling dirugikan.
SALAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H