Indonesia sedang mengalami suatu situasi yang unik dan tidak pernah terjadi selama ini, yaitu secara bersamaan menghadapi persoalan yang timbal balik. Indonesia sudah dan sedang melakukan eksekusi mati terhadap warga negara asing, namun secara bersamaan sedang menghadapi persoalan yang sama atas WNI di luar negeri. Kedua situasi ini sangat diametrikal tapi membuahkan pembelajaran publik.
Indonesia sedang mempersiapkan eksekusi hukuman mati terhadap beberapa warga asing. Kloter lain bakal menyusul. Sedangkan di luar negeri, dua WNI yaitu Siti Zainab dan Karni Tarsim, baru saja menjalani eksekusi hukuman pancung. Ratusan WNI lain juga bakal menyusul.
Masih ingat hiruk pikuk pasca eksekusi oleh Saudi Arabia terhadap Ruyati tahun 2011? Reaksi publik Indonesia sangat gaduh dan “menyeramkan”. Tidak hanya pemerintah Saudi, pemerintah Indoesia juga habis jadi bulan-bulan kecaman publik. Terjadi kehebohan politik, ada saling tuding-menuding antar berbagai pihak yang terkait. Komisi I DPR mempersoalkan kinerja Diplomasi Menlu RI yang dianggap gagal menyelematkan Ruyati. Di berbagai media dengan diskusi publiknya, terjadi kecaman keras terhadap Saudi yang mempersoalkan semua hal, mulai dari majikan yang zholim, hukumnya yang jelek dan tidak adil, sampai ke soal mentalitas hukum di Saudi. Kecaman ini kemudian bermuara pada desakan keras kepada Pemerintah Indonesia agar bersikap keras se kerasnya kepada Saudi, dan kalau perlu, ibarat kata, “menculik’ majikannya untuk diadili di Indonesia.
Terlepas dari issue politisasi kasus Ruyati, yang selalu akan mungkin di negara demokrasi seperti Indonesia, reaksi publik ini agak anomali jika tidak dibilang berlebihan. Ada yang salah dan keliru dalam pola pikir publik jika terkait dengan persoalan penegakan hukum terhadap WNI di luar negeri. Reaksi ini tidak hanya emosional namun cenderung euphoria yang tidak rasional.
Kekeliruan pertama, adanya kesan publik bahwa Indonesia memiliki kedaulatan di negara lain. Telah diasumsikan secara tidak sengaja bahwa negara lain itu adalah “bagian dari Provinsi Indonesia”.Kesan ini terlihat karena desakan publik cenderungmenempatkan negara ini di wilayah jursidiksi Indonesia, misalnya, “Indonesia harus menangkap dan mengadil Majikan”, “Pemerintah Indonesia harus mendesak Saudi Arabia membebaskan Ruyati”, atau “seret majikan ke Mahkamah Internasional”, dan seterusnya. Intinya, publik mendesak agar Indonesia melakukan penegakan hukum di negara lain.
Euphoria ini jelas tidak rasional. Aturan internasional jelas bahwa penegakan hukum suatu negara harus berhenti pada saat persitiwa itu melintasi batas negara. Negara dilarang untuk menegakkan hukum di wilayah negara lain. Negara yang melakukan penegakan hukum di negara lain intervensi dan melanggar kedaulatan negara lain. Sebenarnya, publik Indonesia faham betul soal ini, karena mereka pasti murka jika negara lain mencampuri hukum Indonesia. Namun sayangnya, pemahaman ini hanya satu arah yaitu jika yang jadi korban internvensi adalah negara Indonesia. Tapi tiba-tiba menjadi gagal faham manakala yang jadi korban adalah negara lain dan pelaku intervensi itu adalah Indonesia sendiri.
Akibatnya, sering terjadi inkonsistensi dengan reaksi publik Indonesia. Jika asing berekasi terhadap penegakan hukum di Indonesia, maka negara tsb akan segera dituding “mencampuri kedaulatan hukum” Indonesia dan publik Indonesia akan terusik. Namun dalam persoalan yang sama, jika publik Indonesia berekasi terhadap penegakan hukum di negara lain terhadap WNI, akan diklaim sebagai upaya “menjaga harkat bangsa”. Akibatnya menjadi sangat anomali, karena terhadap situasi yang sama, “mencampuri kedaulatan hukum” dan “menjaga harkat bangsa” menjadi sinonim.
Tanpa disadari, kita justru penganut fanatik terhadap prinsip kedaulatan ini sehingga pernah marah kepada Australia karena mencoba mencampuri kasus Corby di Bali beberapa tahun silam. Kita pernah murka kalau AS atau Negara yang warganya jadi korban mencoba melindungi WN-nya waktu kasus Bom di Mariott beberapa tahun yang lalu. Kita bahkan murka manakala Australia dan Brazilia mencoba mencampuri penegakan hukum di Indonesia terkait dengan eksekusi mati warganya. Namun dengan logika yang terbalik kita justru ingin Pemerintah RI melakukan "intervensi" terhadap kedaulatan Negara lain.
Terus, apa yang dapat dilakukan oleh suatu Negara terhadap warganya yang mengalami peristiwa tragis di luar negeri seperti kasus Siti Zainab dan Karni Tarsim ini? Tentu saja Pemerintah memiliki ruang untuk melakukan langkah perlindungan namun upaya itu tidak sama dengan dan tidak mungkin seleluasa seperti yang dilakukan oleh Pemerintah RI terhadap WNI di wilayah Indonesia.
Hukum internasional punya aturan perihal ini. Jika tidak,maka akan muncul pertikaian antar negara. Upaya yang tersisa bagi Pemerintah dalam situasi seperti ini hanya pada apa yang disebut perlindungan konsuler. Perlindungan penegakan hukum tidak lagi dimungkinkan karena penegakan hukum merupakan wewenang dan kedaulatan negara penerima.
Apa itu perlindungan konsuler? Masalah ini memang tidak terlalu tersosialisasi di publik Indonesia. Perlindungan konsuler adalah intervensi suatu negara terhadap negara lain yang diizinkan oleh hukum internasional dengan tetap menghormati kedaulatan negara itu. Perlindungan konsuler hanya terbatas pada upaya "to ensure that its nationals are treated with due process in receiving state".
Artinya, Kemlu dan KBRI di Ryad hanya berwenang untuk memastikan bahwa kasus kasus Siti Zainab dan Karni Tarsim mendapat perlindungan hukum Saudi Arabia (bukan Indonesia) dan diperlakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Saudi Arabia (bukan di Indonesia). Hak-hak hukum mereka harus terpenuhi mulai dari penyelidikan sampai ke eksekusi matinya.
Kemlu dan KBRI tentu tidak bisa mencampuri proses hukum ini karena itu akan melanggar kedaulatan Saudi Arabia. Jadi tugas Kemlu dan KBRI adalah pendampingan konsuler dan bisa memiliki peran sepanjang hukum Saudi mengijinkannya, misalnya, membantu bernegosiasi dengan pihak keluarga korban.
Perlindungan konsuler ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sampai tuntas, mulai dari tahap awal sampai tahap eksekusi. Hanya memang ada persoalan prosedur yang tidak dipenuhi oleh Saudi, yaitu tidak adanya notifikasi tentang eksekusi ini. Untuk kelalaian ini Indonesia pun melakukan protes diplomatik. Protes ini merupakan bagian dari perlindungan konsuler, karena Indonesia memprotes Saudi atas nama dan untuk kepentingan hak-hak terpidana.
Bertubi-tubinya protes Australia dan Brazil terhadap eksekusi mati warganya oleh Indonesia telah membelalakkan mata publik. Bangsa Indonesia tidak sudi penegakan hukumnya diobok-obok oleh negara lain. Muncul resistensi publik yang semakin mengeras dan mengecam kedua negara ini. Pengalaman diobok-obok ini membuat publik semakin hati-hati dalam menyikapi persoalan yang sama yang terkait dengan penegakan hukum di negara lain. Makanya, pada waktu Siti Zainab dan Karni dihukum pancung, reaksi publikkita tidak segaduh dulu. Publik mulai cerdas menghormati penegakan hukum negara lain. Seperti tertera dalam Alkitab umat Kristen: “jangan lakukan terhadap orang lain sesuatu yang kau tidak suka jika orang lain melakukan itu terhadap mu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H