Mohon tunggu...
Dr. Damos Agusman
Dr. Damos Agusman Mohon Tunggu... Dosen - Rechtswissenschaften Universität Frankfurt

Dr. iur. International Law, University of Frankfurt. Bermimpi untuk mengurai benang kusut akibat distorsi publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ahok, Tutur Katanya versus Topeng Kemunafikan

4 Maret 2015   19:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:10 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekalipun berlatar belakang hukum, kali ini saya tertarik bicara soal Kultur kita. Itu pun yang ringan-ringan. Ahok saat ini menjadi fenomenal, sebenarnya sejak lama telah fenomenal namun puncaknya adalah pada sesi "dana siluman" di ABPD DKI 2015. Kemudian terjadi letupan dahsyat yang jadi totonan menarik tapi tidak lucu, yaitu DPRD mengajukan hak angket, dan Ahok laporkan temuannya ke KPK Selama seminggu publik dicekokin dengan berbagai informasi tentang kasus ini. Semua informasi tersuguhkan dan cukup untuk bedah kasus ini. Ahok mengatakan ada dana siluman 12,1 T, dan ini sudah dintai oleh Ahok sejak APBD 2012, dan binggo... konon katanya, berkat E-Budgeting Ahok dapat "menangkap basah"  bagaimana siluman ini bergentayangan. Kemudian muncul reaksi dari kubu di seberangnya: "Ahok memalsukan dokumen, APBD yang diajukan ke Mendagri bukan yang dibahas di DPRD, Ahok tidak bertika, menduduh oknum DPRD merampok:", serta berbagai macam jargon dan peluru politik ditembakkan ke arah Ahok. Selanjutnya, terjadi saling lapor baik ke KPK dan Polri. Terlepas dari hiruk pikuk ini, ada yang agak aneh, setidak-tidaknya menurut logika publik. Manakala ada dugaan dana siluman 12, 1 triliun terkuak ke publik, pastilah mata publik terbelalak: wow ...uang pajak gue. Publik ingin tahu mengapa bisa terjadi, dan pastilah publik ingin temuan diusut tuntas.  Dalam sistem demokirasi, aspirasi publik ini bakal diambil alih oleh wakil rakyat dan ujungnya adalah investigasi sampai tuntas. Namun anehnya, aspirasi publik ini tidak ter-echo dengan baik oleh DPRD. Apa yang dipikirkan oleh publik, ternyata tidak sama dengan apa yang terbenak oleh DPRD. Artinya, rakyat itu tidak identik dengan wakilnya. Manakala rakyat DKI pingin tahu uang pajaknya diapain, para wakilnya justru tertarik pada soal-soal lain. Bukan soal 12,1 triliunnya, tapi soal Ahok-nya, bukan soal silumannya, tapi soal perilaku Ahok yang tidak beretika, "banyak koar", pencitraan, "banyak bacot", dan seterusnya. Pertanyaan menjadi menarik, apakah ini soal kultur? benarkan dugaan banyak ahli bahwa kultur Indonesia adalah kultur kemasan yang mementingkan tampilan ketimbang isi? begitu pentingkan kesantunan sehingga tanpanya substansinya bisa diabaikan?  lebih najiskah orang yang berbicara kasar tapi tidak korupsi dibandingkan dengan sosok yang santun tapi maling uang rakyat? Ahok itu bicara blak-blakan dan cenderung kasar, semua juga tahu, dan Ahok juga lebih tahu. Namun apakah ini menjadi faktor utama? Dalam habitat tertentu cara bicara memang menjadi faktor utama. Dunia diplomasi misalnya, akan sangat diharamkan bicara blak-blakan, tidak boleh straight to the point, jangankan tutur kata, dimana  duduk dan berdiri pun ada aturannya. Habitat diplomat punya pakem sendiri bagaimana berkomunikasi dan sangat-sangat canggih. Ahok pastilah akan tertolak dalam habitat ini. Tapi kenapa habitat diplomat ini perlu super santun dalam berkomunikasi? jawabnya sederhana, diplomasi adalah upaya menghindari negara berperang. Jika komunikasi Ahok yang dipakai maka negara pasti akan lebih cepat berperang. Komunikasi canggih yang berbunga juga diperlukan dalam percakapan adat. Coba perhatikan tiap acara adat, pasti raja adat berbicara dengan sangat santun, berpantun, memuliakan lawan bicara, pilihan katanya juga tertentu. Mengapa harus demikian? mirip dengan dunia diplomasi, tutur adat kita dimaksudkan agara raja-raja saling dihormati, dan jika tidak akan melahirkan perang antar raja. Komunikasi Ahok juga tidak pas di sini. Para ulama dan rohaniawan juga tampaknya dituntut untuk bertutur santun. Ini logis saja, karena mereka mereprentasikan manusia yang mulia mewakili Tuhannya. Tutur bahasa mereka tentunya harus bahasa sorgawi yang penuh dengan perdamaian, kasih, dan kelembutan. Lagi-lagi komunikasi Ahok akan tertolak disini. Ada lagi, para negarawan konon juga harus berbahasa filsafat, dan jauh dari ungkapan bahasa cercan atau makian. Lagi-lagi Ahok tidak bakal kerasan di habitat ini. Terus, apakah tutur bahasa ala Ahok ini anti these terhadap kultur Indonesia dan dengan demikian Ahok harus mengubah dirinya sehingga dia bukan dirinya lagi? Bentar dulu. Mari kita lihat kultur Indonesia yang kaya ini. Ternyata kultur Indonesia tidak identik dengan pola tertentu yang selama ini kita kenali media-media. Saya besar di Medan, gaya bahasanya ya seperti Sutan Batughana, selain sangat kasar, ya ngeri-ngeri sedap. Tutur bahasanya ini mungkin mengagetkan di publik Jakarta tapi tidak untuk anak Medan. Ini ternyata masalah style karena penggunaan kata dan ungkapan kasar ini tidak melahirkan konflik diantara para penggunanya. "Ah bajingan kau, ku matikanlah kau nanti", ucapkanlah kalimat ini di Medan, tidak bakal ada yang murka. Uniknya, style ini bukan melulu punya Medan. Betawi juga punya gaya ini. "Gile loe, gue tabok loe ntar", kalimat ini sudah sangat sering kita dengar di seharian kita di Jakarta. Masih banyak lagi style lainnya di Nusantara. Artinya, bertutur sopan itu tidak boleh disandera oleh kultur tertentu karena Medan dan Betawi dan lain-lainya adalah bagian dari kultur Indonesia. Jika demikian kayanya kultur Indonesia terus mengapa gaya Ahok menjadi masalah?. Nah konon katanya Gubernur adalah Pamong Praja, jadi harus sopan bertutur dan teladan bersikap. Apakah Ahok tidak sopan? kalau dipetik dari kultur Medan dan Betawi, bahasa Ahok masih terlalu sopan. Terus bagaimana kita mendefisikan sopan dari keberagaman kultur Indonesia ini? Kesalahan Ahok mungkin adalah dia tidak mengenakan topeng "kemunafikan", konon masker ini wajib dikenakan  di ranah publik. Ahok sendiri sudah sering bicara bahwa dia tidak mau munafik. Ah lupakan dulu perdebatan soal sopan bertutur ini. Ada pertanyaan lebih menarik. Apakah gaya bahasa Ahok ini yang sedang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini? Kata seorang pakar di salah satu media, model komunikasi Ahok ini lah yang sedang dibutuhkan oleh DKI yang sudah kronis korupsinya. Bahasa sopan sudah tidak mempan lagi. Benar juga, setelah kejadian ini, transparasni APBD DKI semakin terang menderang, rakyak semakin melek, semua mata jadi tertuju pada setiap angka anggaran. Dulunya, para koruptor menutup rapat akses ini. Saya membayangkan, jika Ahok menggunakan bahasa diplomat, apa mungkin dana siluman ini bisa terkuak?

****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun