Mohon tunggu...
Ilfi Khairani Rahman
Ilfi Khairani Rahman Mohon Tunggu... lainnya -

love art, cooking mania, kitten love

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mambangkik Batang Tarandam Ketika Pesantren berubah menjadi SMP Islami

17 Februari 2014   04:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesantren Sebagai Institusi Pendidikan Agama Islam yang tertua di Indonesia
Jauh sebelum masa kemerdekaan, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) telah menjadi sistem pendidikan nusantara, hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa. Namun demikian, secara historis awal kemunculan dan asal-usul pesantren masih menyisakan kontroversi di kalangan para ahli sejarah.
Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal Indonesia. Jika Steenbrink (mengutip dari Soegarda Poerbakawatja) memandang pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.
Pendapat selanjutnya  istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam bahasa jawa. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.Istilah santri juga terdapat dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Begitupun istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan.Khusus di Daerah istimewa Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah dan meunasah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kiyai (Jawa), Ustadz, Syech (Bahasa Arab), Buya, Malin  (Minangkabau) untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, pemimpin pesantren menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut mushrif (lurah pondok). Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri, berakhlak mulia, cinta tanah air sekaligus dapat meluaskan wawasan, memperdalam keilmuan serta pemahaman terhadap agama islam.
Selanjutnya, kapan kemunculan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia? Beberapa sumber tidak menyebutkan secara gamblang tentang kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, yang didirikan pada tahun 1062. Informasi ini dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
Terlepas dari perdebatan panjang dan berliku tentang asal-usul kemunculan pesantren, pada sisi yang lain pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah-tengah masyarakat selalu direspon positif oleh masyarakat, seperti dalam pembangunan Pesantren hampir sebahagiannya merupakan waqaf dan sumbangan dari masyarakat, adapula yang gotong royong dalam mendirikan pesantren.

Pesantren Dulu dan Sekarang

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pesantren dahulunya merupakan sistem pendidikan nusantara yang sangat merakyat, membaur dan tidak memiliki jurang atau tembok pemisah dengan masyarakat. Dahulu para santri yang libur dari masa belajar akan langsung ditugasi untuk terjun ke masyarakat menjadi Da'i dan  Dai'ah menyiarkan dakwah Islam, militan dalam menuntut ilmu agama, tawaddu' sehingga mentalnya tidak terbentuk menjadi mental ustadz atau ustadzah selebritis seperti yang banyak kita saksikan saat ini.
Wajah Pesantren terutama kurikulumnya saat ini tak lagi sekedar fokus pada kitab- kitab klasik (baca :ilmu agama) tetapi juga memasukkan mata pelajaran dan keterampilan umum, pesantren dikhotomi ilmu agama mulai kurang populer, sehingga mulailah reformasi ala pesantren dengan memasukkan kurikulum yang lebih modern tidak lagi tradisional. Jika dulu hanya dikenal Pesantren tradisional lain sekarang Pesantren tumbuh bak jamur dengan mengusung kurikulum yang lebih modern. Jika dulu pesantren fokus terhadap ilmu agama, sekarang pesantren mulai berasimilasi dengan membuka cabang-cabang ilmu umum selain ilmu agama layaknya SMA, seperti jurusan IA (Ilmu Alam), IS (Ilmu Sosial), IB (Ilmu Bahasa, Inggris, Jerman, Mandarin, Perancis). Disatu sisi bagus untuk meningkatkan mutu para santri dan mampu bersaing dengan sekolah umum, namun disisi yang lain kelas studi agama peminatnya makin menurun, kitab-kitab klasik mulai kehilangan pamor, padahal nafas pesantren itu sendiri awalnya adalah mengkaji ilmu agama seperti Ulumuttafsir, Ulumulhadis, Mahfuzhat, Mantiq, Bhalagah dll. Jika dipersentasekan 80% ilmu agama 20 % ilmu umum, namun yang terjadi sekarang kebalikannya, jadi jangan heran jika ada anak pesantren tidak mampu membaca kitab Kuning, tidak lagi mengerti dengan ilmu nahwu sharaf.
Apalagi semenjak Tradisi UN (Ujian Nasional) dan UAMBN (Ujian Akhir Madrasah Bertaraf Nasional) berlangsung yang otomatis santri diminta untuk lulus dengan standart yang berlaku secara nasional. Mau tidak mau pesantren harus mulai membekali siswa siswinya dengan pelajaran pelajaran umum yang berlaku, jika santri mampu melaksanakan UAMBN yang notabene dibawah naungan Depag menyelesaikan ujian dengan sukses dan lulus semua itu wajar  masih bisa ditolelir karena mata pelajaran yang di ujiankan termasuk kedalam kurikulum madrasah/pesantren, berbeda dengan UN yang notabene pelajaran umum yang persentasenya pembelajarannya jauh lebih kurang sehingga wajar jika ada santri yang tidak lulus UN.
Idealnya pesantren hanya mengikuti UAMBN dan tidak mengikuti UN, dan kenapa kita tidak mulai mencoba dan menerapkan metoda pendidikan seperti di luar negeri? Dimana pola pendidikan jelas dan terarah sesuai part (bagiannya) tidak ada pemaksaan apapun dan dibiarkan berkembang sehingga tidak bercampur baur tidak jelas.

Saya rindu sekali melihat para santri yang giat mengkaji ilmu agama, sehingga tidak setengah-setengah, pendidikan umum seperti matematika, IPA, IPS boleh saja di berikan sebagai tambahan namun bukan menjadi mata pelajaran utama, sehingga tidak merubah ciri khas pesantren itu sendiri, jangan sampai pesantren berubah nama dan diplesetkan menjadi SMP Islami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun