Kepada Yth.
Bp. Djohar Arifin Husin
Ketua Umum PSSI
Di Tempat
Dengan Hormat,
Pertama-tama saya mohon maaf atas kelancangan saya yang kembali menulis surat ini untuk yang kedua kalinya kepada Bapak. Dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri untuk kembali menulis surat terbuka ini, karena seperti yang sudah saya tulis sebelum ini dalam surat pertama saya….”Surat terbuka ini saya buat didasari oleh hanya satu alasan mendasar yaitu karena saya mencintai PSSI sebagai sebuah lembaga otoritas tertinggi yang mengatur sepakbola di Republik ini. Saya mencintai PSSI dengan segala kelemahan dan kelebihannya, karena sampai detik ini, saya masih mengimani bahwa PSSI adalah alat perjuangan bangsa. Walaupun karena perasaan cinta itu, berkali-kali pula saya harus mengalami “luka” di hati karena banyaknya absurditas dalam pengelolaan sepakbola kita”
Perkembangan mengenai kisruh persepakbolaan kita akhir-akhir ini membuat “luka” di hati itu terkupas kembali, apa yang saya khawatirkan dalam surat pertama saya sebagian justru menjadi kenyataan akhir-akhir ini. Beberapa point yang kembali perlu saya ingatkan dalam surat pertama saya sehubungan dengan perkembangan akhir-akhir ini adalah sebagai berikut :
Politisasi Sepakbola Nasional
“publikpun tahu bahwa Bapak adalah hasil kompromi terbaik dari politisasi yang terjadi selama Kongres tersebut. Politisasi disini, bukan hanya karena melibatkan kepentingan elite partai-partai tertentu, tetapi juga karena melibatkan banyaknya kepentingan kelompok dan orang per orang di luar partai. Di titik inilah Bapak seharusnya mampu membuat garis tegas antara kepentingan sepakbola nasional dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama mereka yang telah menyokong Bapak untuk menjadi seorang pemenang. Saya percaya, jika pada titik ini Bapak mengambil sikap yang tegas, maka kedepan kita mulai belajar untuk secara bertahap menghancurkan salah satu sumber “penyakit” kita yaitu politisasi sepakbola. Garis tegas tersebut haruslah berdasarkan keyakinan pribadi Bapak mengenai apa yang baik dan benar bagi pengelolaan sepakbola kita ke depan, karena Bapak adalah seorang mantan pemain, mantan wasit dan sudah lama berkecimpung dalam dunia sepakbola kita. Bapak adalah ketua umum yang paling ideal dilihat dari sisi latar belakang dan pengalaman Bapak.”
Kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini justru jauh sekali dari apa yang saya harapkan dalam surat pertama saya tersebut. Secara sadar Bapak memilih untuk berpihak kepada kubu tertentu dalam arena konflik berbau politis di PSSI ini.
Secara simbolik Bapak dan beberapa pengurus PSSI pernah melakukan rapat di rumah Bp. Arifin Panigoro yang dalam sebuah kesempatan pernah mengklaim dirinya sebagai “Dewan Syuro” di PSSI, yang menurut hemat saya justru merendahkan martabat organisasi sebesar PSSI, karena beliau berbicara bukan dalam kapasitas sebagai pengurus resmi PSSI. Fenomena ini secara tidak langsung mengajarkan publik sepakbola kita bahwa uang dan kekuasaan serta politik balas budi berada diatas akal sehat dan hati nurani. Keputusan tersebut dengan sangat “telanjang” menunjukkan bahwa Bapak sebagai Ketua Umum PSSI telah dengan secara sadar membawa kembali lembaga PSSI kedalam arena konflik politis. Dalam surat ini, saya tidak perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan “arena konflik politis” tersebut, karena saya percaya publik sepakbola kita sudah faham dan maklum akan realita absurd tersebut.
Sebuah “dosa besar” dari rezim lama PSSI yang kembali diulangi bukan…?
Sebagai akibat dari keterlibatan Bapak dalam “arena konflik politis” tersebut, perkenankan saya untuk mengingatkan kembali beberapa “buah-buah” dari kebijakan PSSI yang merupakan “akar masalah yang paling mendasar” yang membuat iklim sepakbola di Republik ini menjadi karut marut saat ini. Menurut hemat saya keputusan yang diambil bukan didasari atas sebuah keputusan yang objektif demi membangun iklim sepakbola yang sehat, tetapi lebih kepada sebuah bentuk kompromi untuk mengakomodir kepentingan kubu tertentu.
Dualisme Kompetisi Profesional.
Wacana yang ingin dibangun adalah “Sepakbola Industri” dengan segala atribut profesionalismenya. Sebuah visi yang jelas akan didukung oleh semua publik sepakbola kita. Titik krusial dari masalah ini adalah bagaimana mengambil kebijakan sehubungan dengan eksistensi Liga Primer Indonesia yang sudah bergulir setengah jalan. Dengan otoritas yang sudah diberikan oleh FIFA kepada Komite Normalisasi pimpinan Bp. Agum Gumelar untuk membawa Liga Primer Indonesia dibawah PSSI atau menghentikan sama sekali, Komite Normalisasi memutuskan untuk membawa LPI dibawah kontrol PSSI, sebuah “warisan” berharga yang mampu menjaga keutuhan sepakbola kita ditengah-tengah kontroversi kelahirannya.
Setelah berada dibawah kontrol PSSI inilah, justru terlihat dengan sangat jelas kepentingan kubu pro-perubahan yang menggagas kelahiran Liga Primer Indonesia menjadi sangat dominan dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai bentuk dan format kompetisi Liga Indonesia 2011-2012. Ada tiga kesalahan fatal yang jelas-jelas menunjukkan keberpihakan Bapak kepada kubu pro-perubahan yang biasa disebut “Kubu Jenggala” yaitu :
1. Membubarkan kompetisi Liga Primer Indonesia di tengah jalan.
Membubarkan sebuah kompetisi di tengah jalan, jelas adalah sebuah keputusan yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai sportifitas maupun nilai-nilai profesionalisme yang seharusnya menjadi landasan dalam sebuah “Sepakbola Industri”. Bagaimana mungkin sebuah kompetisi yang katanya profesional dengan ala konsorsiumnya ini dengan mudahnya dibubarkan di tengah jalan? Bagaimana kita bisa belajar menghargai makna sebuah proses untuk tumbuh dan berkembang jika kita justru mengabaikan hal yang paling fundamental dalam sebuah kompetisi yaitu nilai sportifitas itu sendiri?
Disinilah saya melihat pengkhianatan yang luar biasa terhadap amanat revolusi sepakbola Indonesia, karena ternyata Liga Primer Indonesia hanya dijadikan sebagai “media” atau lebih tepatnya “alat politik”dalam mencapai “tujuan” politis yang sesungguhnya yaitu orientasi kekuasaan di PSSI.
2. Pengingkaran terhadap realita kompetisi di Indonesia.
Dengan ditinggalkannya segala kerusakan dalam pengelolaan kompetisi oleh pengurus PSSI terdahulu yang dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai profesionalitas dalam pengelolaan sebuah klub, PSSI dalam hal ini Komite Kompetisi yang dipimpin Bp.Sihar Sitorus pada awalnya membuat “gebrakan” yang sangat revolusioner yaitu menghilangkan peringkat dan kasta kompetisi produk rezim lama dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua klub untuk memenuhi kriteria menjadi klub profesional sesuai kriteria yang ditetapkan AFC.
Di satu sisi, jika kita jujur pada diri sendiri, publik sepakbola kitapun tahu bahwa tidak ada satupun klub di Indonesia yang dapat memenuhi kriteria klub profesional versi AFC tersebut, karena memang realita inilah yang menjadi “warisan” yang ditinggalkan PSSI rezim lama. Seharusnya realita inilah yang menjadi pijakan Bapak dalam mengelola kompetisi ke depan, bukan justru mengingkarinya dengan memaksakan “hanya” 24 klub “terpilih” untuk menjalani verifikasi oleh AFC dengan alasan agar Indonesia terhindar dari sanksi 3 tahun tidak dapat berpartisipasi di Liga Champions Asia.
Melihat dinamika proses tarik-ulur yang terjadi medio Agustus sampai Oktober 2011 lalu, jelas sekali terlihat tidak adanya konsistensi terhadap ide-ide revolusioner yang digagas Komite Kompetisi tersebut. Berkali-kali format dan bentuk kompetisi berubah, dan puncaknya sejarah mencatat pada 14 Oktober 2011, AFC mengumumkan bahwa tidak ada satupun klub di Indonesia yang dapat memenuhi kriteria sebagai klub profesional. Bukankah tanpa verifikasi AFC tersebut kita semua juga tahu akan hasil akhirnya?
Keputusan PSSI ini jelas kontradiktif dengan ide-ide revolusioner yang digagas sebelumnya sekaligus merupakan pengingkaran terhadap realita kompetisi sepakbola kita.
3. Dualisme kepengurusan klub
Perpecahan yang dialami beberapa klub baik klub Divisi Utama maupun eks Liga Super Indonesia adalah salah satu ekses negatif dari kebijakan PSSI menghapuskan Liga Primer Indonesia dan memaksakan klub-klub eks LPI untuk masuk dalam liga profesional dengan konsep “mergernya”. Di titik inilah kembali rasionalitas kita digugat, mengapa? Karena jelas sekali, menyatukan dua kultur yang berbeda dengan sejarahnya masing-masing sambil berjudi dengan waktu adalah sebuah absurditas. Pernikahan dua anak manusia yang berbeda latar belakang dan budaya saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan penyesuaian dalam proses adaptasinya, apalagi “menikahkan” dua klub yang merupakan kumpulan lebih dari dua anak manusia yang terorganisir dengan sejarahnya masing-masing yang sangat panjang dan kompleks disertai perjudian dengan waktu? Pertimbangan sisi bisnis tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya alasan, karena berarti itu hanya menyederhanakan masalah.
“Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah ke Depan”
Kutipan diatas adalah tema besar dalam surat terbuka pertama saya kepada Bapak, begitupun dengan surat kedua ini, saya masih tetap konsisten untuk menjadikan kutipan diatas sebagai “jiwa” dari beberapa solusi yang menurut hemat saya layak diperjuangkan, walaupun dalam tataran praksis melihat kenyataan akhir-akhir ini, sepertinya hal ini hampir tidak mungkin dilakukan, karena ekskalase konflik yang sudah semakin meningkat. Karena tawaran solusi yang akan saya tulis, hanya akan dapat diperjuangkan sebagai sebuah komitmen jika iklim persepakbolaan kita sudah dalam keaadaan yang kondusif.
1. Menjaga eksistensi klub-klub Liga Primer Indonesia.
Yang dimaksud dengan point ini yaitu eksistensi yang utuh, artinya klub-klub tersebut tidak dibubarkan keberadaannya. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, klub-klub yang berkompetisi di Liga Primer Indonesia harus terus berjalan menyelesaikan kompetisi musim ini. Dengan melanjutkan kompetisi tersebut, dengan segala resikonya berarti PSSI telah berhasil mengajarkan dua hal penting bagi publik sepakbola kita, Pertama,yaitu konsistensi terhadap nilai-nilai sportifitas dan Kedua, yaitu konsistensi terhadap amanat revolusi sepakbola kita yaitu membangun sebuah fondasi dasar kompetisi yang profesional.
Jika hal ini dilakukan, maka persepsi sebagian publik sepakbola akan adanya “campur tangan politis” dari kubu tertentu akan gugur dengan sendirinya. Begitupun dengan kasus dualisme klub akan dapat terpecahkan dengan sendirinya, kecuali mungkin untuk kasus Arema Malang, karena kasus yang menimpa klub ini sangat kompleks, tetapi minimal Arema hanya akan “tersisa” dua kubu yang dapat diselesaikan melalui forum hukum formal perdata di Pengadilan.
2. Melakukan revolusi total terhadap semua tingkatan kompetisi sebelumnya.
Seiring dengan berjalannya kompetisi Liga Primer Indonesia, PSSI melalui Komite Kompetisi dapat melakukan verifikasi klub sesuai standar AFC yang terbuka bagi semua klub di semua tingkatan kompetisi dari Divisi III sampai Liga Super Indonesia seperti yang pernah diwacanakan Komite Kompetisi. Verifikasi klub ini haruslah transparan dan objektif, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah meniadakan sementara kompetisi dan hanya fokus untuk membenahi sekaligus memenuhi standar minimal kriteria klub profesional. Jeda kompetisi dibatasi hanya sampai pada selesainya kompetisi Liga Primer Indonesia. Selama jeda waktu tersebut, komite-komite yang ada di PSSI juga bisa fokus pada agenda kerja mereka, dan memanfaatkan waktu jeda untuk mengimplementasikan target-target jangka pendek dan menengah. Pembekuan kompetisi sementara waktu, juga merupakan kesempatan bagi PSSI untuk menyelesaikan polemik keberadaan PT. Liga Indonesia.
Hasil dari pemeringkatan berdasarkan hasil verifikasi klub akan menjadi dasar bagi PSSI untuk menata dari awal fondasi sebuah kompetisi yang profesional. Konsekuensi terbesar yang hampir pasti terjadi adalah sanksi dari AFC untuk tidak berlaga di level Liga Champions Asia, resiko ini menurut hemat saya justru adalah sebuah “Blessing in Disguise”, karena waktu 3 tahun adalah waktu yang cukup dalam mengimplementasikan ide-ide revolusioner PSSI tersebut. Ibarat membangun rumah, 3 tahun adalah waktu yang cukup untuk membangun fondasi yang kokoh. Alasan harga diri bangsa yang selama ini selalu dikumandangkan hanyalah sebuah lelucon yang sangat tidak lucu. Membangun fondasi yang kokoh berarti kita justru telah menunjukkan harga diri sebuah Bangsa yang terhormat.
3. Menyelenggarakan Konggres Tahunan sebagai legitimasi atas agenda perubahan.
Konggres tahunan dapat diselenggarakan selama masa jeda kompetisi sampai selesainya Kompetisi Liga Primer Indonesia. Konggres ini perlu dilakukan dengan salah satu agenda utama adalah solusi terhadap eksistensi klub-klub Liga Primer Indonesia jika kompetisi yang dijalani telah selesai. Solusi yang paling realistis adalah mencabut hukuman Persibo, Persema, Persebaya dan PSM serta mengakui klub-klub baru sebagai anggota PSSI yang resmi, sehingga dengan demikian semua klub yang telah menyelesaikan kompetisi Liga Primer Indonesia juga dapat disertakan dalam proses verifikasi klub.
Forum konggres ini juga dapat membicarakan mengenai polemik PT.Liga Indonesia serta komposisi saham yang selama ini menjadi perdebatan, serta eksistensi PT. Liga Prima sebagai penyelanggara Liga Primer Indonesia. Walaupun domain penentuan PT yang mengelola kompetisi ada di tangan Komite Eksekutif, PSSI juga tetap harus belajar mendengar dan menghargai aspirasi seluruh pemilik hak suara di dalam Konggres Tahunan tersebut. Saya meyakini bahwa agenda yang mulia seperti rencana audit keuangan PT.Liga Indonesia juga pasti akan didukung oleh mayoritas pemilik suara PSSI, apalagi tidak ada alasan yang sangat kuat dan mendasar untuk menolak wacana tersebut. Justru melalui forum Konggres Tahunan inilah, “seleksi alam” terhadap manusia-manusia yang pro-revolusi maupun yang anti-revolusi akan dapat dipetakan secara lebih objektif, khususnya oleh publik sepakbola kita.
Ketiga solusi tersebut diatas dalam tataran ide/konsep adalah yang ideal, minimal bagi saya pribadi, akan tetapi dalam tataran praksis, melihat fenomena akhir-akhir ini, sepertinya solusi-solusi tersebut hanya akan menjadi sebuah utopia saja. Ekskalase konflik sudah berada pada titik yang hampir tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang beretika dan beradab lagi, karena “nuansa” politiknya sudah sangat kentara dan sangat “telanjang” dimainkan oleh kedua kubu yang berseteru saat ini.
Dengan penuh rasa duka saya menulis surat ini kepada Bapak, karena saya sungguh sudah tidak punya harapan lagi atas kepemimpinan Bapak di PSSI saat ini, karena seperti yang sudah saya tulis di atas….Sebuah “dosa besar” dari rezim lama PSSI yang kembali diulangi bukan…?
Jika ada kata-kata saya yang kurang pantas, secara pribadi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bp. Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu berkenan untuk menjaga rasionalitas dan hati nurani Bapak serta segenap pengurus PSSI saat ini dalam menjalani dan mengemban amanat revolusi sepakbola kita.
Terima kasih.
Salam,
Damianus Gading
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H