Judul diatas saya pinjam dari judul sebuah tulisan reportase singkat di Majalah HIDUP No.52 Edisi 27 Desember 2009. Reportase dari Majalah HIDUP tersebut mengambil tempat dalam acara seminar dan launching buku "Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?" di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 10 Desember 2009 yang lalu.
Saya terinspirasi dengan kutipan dalam reportase tersebut, dimana dengan secara gamblang Pater Ignatius Ismartono, SJ mengatakan :
"Seorang Katolik tidak boleh menyebut dirinya Katolik, kalau dia tidak mengakui bahwa agama lain juga merupakan jalan yang direstui Allah".
Kata-kata tersebut bagiku merupakan sebuah kesimpulan yang sempurna sebagai penutup dari refleksi pribadiku yang amat panjang sejak masa awal reformasi sampai detik ini. Sebuah refleksi pribadi dalam melihat realita kehidupan sosial mengenai kehidupan beragama di negeri ini.
Sharing tentang permenungan ini sejatinya hanya ingin kusharingkan kepada mereka yang seiman denganku, akan tetapi sebagai pribadi yang mengimani bahwa "agama adalah alat dan bukan tujuan" maka kuberanikan diriku untuk mensharingkannya secara terbuka melalui media ini.
Sebagai pribadi yang turut mengalami sendiri sakit dan pedihnya perjuangan dalam meruntuhkan sebuah rezim otoriter, melihat dengan mata kepala sendiri setiap aksi kekerasan yang harus kami alami pada waktu itu membuatku berefleksi bahwa pada saat itu setiap aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tidak memandang perbedaan yang ada. Perbedaan kampus, organisasi mahasiswa, agama, suku, ras bahkan ideologi perjuangan bersatu dalam menghadapi musuh bersama yaitu rezim Orde Baru. Rekayasa peristiwa Mei 1998 dengan kerusuhan berskala masif yang menggunakan isu ras dan agama ternyata tidak mampu menghancurkan perjuangan mahasiswa pada waktu itu.
Peristiwa itu mengingatkanku akan perjuangan para pendahulu kita dalam aksi revolusi merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pada titik ini, dalam refleksi itu aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa aku dilahirkan dalam sebuah bangsa yang secara alami mampu bersatu, berjuang dan membangun dirinya dalam realita perbedaan yang luar biasa kompleks dan bahkan pada titik tertentu berlawanan satu dengan lainnya.
Babak-babak berikutnya dalam masa awal reformasi adalah cerita-cerita kelam berupa kerusuhan dengan motif agama, suku dan ras yang melanda berbagai tempat di Republik ini. Khusus dalam tulisan ini, saya hanya akan membatasi pada peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan yang ternyata masih sangat rapuh. Peristiwa kerusuhan di Pulau Ambon dan Poso yang memakan korban jiwa dalam skala masif, pembakaran dan penutupan paksa terhadap tempat ibadah di beberapa tempat, tumbuh suburnya organisasi masa atas nama agama yang ekstrim dan selalu menggunakan kekerasan sebagai pembenaran dalam setiap aksinya adalah realita sosial yang menunjukan rapuhnya kehidupan keagamaan di Republik ini terlepas dari ada atau tidaknya oknum-oknum yang berkepentingan dalam semua peristiwa tersebut.
Agama Katolik sebagai agama minoritas di Republik ini juga tidak luput dari peristiwa kekerasan tersebut, sebagai umat Katolik di wilayah Keuskupan Agung Jakarta masih melekat kuat dalam benakku peristiwa penutupan paksa Paroki St.Bernadette, Ciledug pada bulan Agustus 2004 lalu, bahkan siswa-siswi sekolah Sang Timur harus berjalan kaki memutar lebih jauh akibat penutupan paksa Gereja tersebut, yang membuatku sedih adalah fakta bahwa sebagian diantaranya adalah siswa sekolah luar biasa bagi anak-anak cacat bawaan sejak lahir.
Pada bulan November 2008 lalu, Paroki Damai Kristus, Kampung Duri juga mengalami nasib serupa ditutup paksa oleh sekelompok organisasi tertentu dengan berbagai alasan.
Belum lagi dua peristiwa itu diselesaikan, di bulan Desember tahun ini giliran Paroki St.Albertus, Perumahan Taman Harapan Indah Bekasi, dibakar sekelompok massa yang tidak bertanggungjawab, padahal paroki tersebut sedang dalam proses pembangunan fisik Gereja setelah semua ijin formal sesuai ketentuan peraturan dapat dipenuhi.
Pada titik ini, banyak gugatan dalam refleksi pribadiku dalam melihat "Wajah Allah" dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Aku terhanyut bukan lagi dalam sebuah sikap reflektif, tetapi justru lebih menjurus kepada sikap antipati. Bahkan pada titik tertentu aku menggugat eksistensi bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang terbukti mampu bertahan dan tetap bersatu dalam segala ujian dan cobaan yang telah dijalaninya.
Titik tolak refleksiku perlahan-lahan mengalami titik balik ketika membaca kembali tulisan dari Almarhum Mgr.Leo Soekoto, SJ Uskup Agung Jakarta kedua (21 Mei 1970 - 10 November 1995) dalam buku Hasil Sinode Keuskupan Agung Jakarta tahun 1990 yang dengan nada sedikit "meramal" menulis demikian :
"Di segala zaman Gereja mengalami tekanan, ancaman, dan penganiayaan. Iman, Harapan dan Cintakasih kita harus sedemikian kuat sehingga kita tahan banting. Kita harus siap bagi masa-masa yang lebih berat, dimana kesetiaan pada iman Katolik menuntut keberanian, pengorbanan dan kesediaan untuk menderita." Kutipan ini diambil kembali oleh Uskup Agung Jakarta ketiga Kardinal Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ yang telah mengundurkan diri (sesuai ketentuan Hukum Kanonik Gereja Katolik jika genap berusia 75 tahun wajib mengajukan pengunduran diri sebagai Uskup kepada Paus) dalam wawancaranya dengan majalah HIDUP beberapa waktu yang lalu. Gereja dalam arti ini bukan hanya sekedar bangunan fisik berupa gedung gereja, tetapi Gereja dalam arti persekutuan orang-orang yang beriman kepada Kristus dan ajaran-Nya.
Merenungkan kembali tulisan dari almarhum...seorang pribadi yang sangat aku takuti karena sifat tegas dan galaknya ketika aku masih kanak-kanak di bangku Sekolah Dasar tersebut, mampu membuka kembali lembaran refleksi yang baru. Justru pada titik ini aku "terpaksa" kembali merenungi apa artinya menjadi manusia yang beriman sekaligus beragama.
Hal ini juga berkaitan erat dengan kunjungan Kardinal Mgr. Jean-Louis Tauran, Presiden dari Dewan Kepausan Untuk Dialog Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan ke Indonesia beberapa waktu yang lalu yang dalam kuliah umumnya mengatakan : "Sifat toleransi adalah merumuskan batas. Tujuannya menghindari konflik. Namun, ketika batas itu tersentuh, konflik mudah terjadi. Sebaliknya dengan Cinta, ia tak memiliki batasan."
Pada titik inilah, aku mulai merasakan buah-buah refleksi dari semangat dan kemampuan untuk berani menderita sekaligus semangat dan kemampuan untuk membangun komunikasi dengan setiap manusia dengan segala persamaan maupun perbedaannya atas dasar Cinta...bukan hanya sekedar untuk menghargai saja..tetapi harus lebih dari itu.
Kesediaan untuk berani menderita telah dilakukan secara sempurna oleh Kristus sendiri dengan setia dan taat menjalani segala penderitaan dan siksaan hingga wafat di kayu salib yang pada waktu itu merupakan lambang penghinaan yang paling hina bagi seorang anak manusia.
Kesediaan untuk menderita telah dilakukan juga secara sempurna oleh Bunda Maria yang rela dan setia menjalani kehamilan diluar pernikahan yang pada masa itu dapat diancam dengan hukuman rajam (dilempari batu hingga mati), dan kesediaannya untuk menderita sebagai seorang ibu menemani, melihat dengan mata kepala sendiri puteranya disiksa hingga wafat di kayu salib. Begitu juga dengan peran sang ayah dan suami..St.Yusuf yang dengan rela dan setia menderita karena bersedia mengambil Maria sebagai isterinya dan berjuang melindungi anak dan isterinya dari kejaran prajurit Romawi.
Kesediaan untuk menderita ketiga tokoh tersebut hanya dimungkinkan oleh sebuah spiritualitas...yaitu spiritualitas CINTA. Ketiga tokoh itu mengajarkan kepada kita bahwa Cinta kepada Allah memiliki konsekuensi logis yaitu keberanian untuk menderita menghadapi segala cobaan sekaligus tetap setia kepada-Nya.
Melihat realita kehidupan beragama saat ini, justru spiritualitas Cinta seperti itulah yang harus terus menerus kita hayati dalam hidup sehari-hari sebagai umat Katolik. Seperti kata almarhum Mgr.Leo Soekoto,SJ bahwa Iman, Harapan dan Cintakasih harus sedemikian kuat agar kita tahan banting. Sehubungan dengan itu, kiranya sangatlah relevan dengan apa yang dikatakan oleh Pater Ignatius Ismartono,SJ dalam paragraf pembuka diatas. Karena kesediaan untuk menderita yang dilandasi oleh spiritualitas Cinta tersebut berarti juga keberanian dan kerelaan kita sebagai umat Katolik untuk melihat bahwa Allah yang Esa tersebut juga hadir dalam semua agama dan kepercayaan yang ada di Republik ini. Kita tidak dituntut untuk mencintai agama dan kepercayaan lain...tetapi kita dituntut untuk mencintai manusia yang menganut agama dan kepercayaan lain tersebut. Sikap ini jelas membutuhkan pengorbanan dan kerelaan untuk menderita yang sangat besar, karena memang tidak mudah sebagai manusia yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan ketika suatu saat peristiwa-peristiwa diatas kita alami sendiri.
Perjuangan untuk melawan ketidakadilan dalam kehidupan beragama di Republik ini harus didasari atas spiritualitas tersebut. Bukankah dengan semakin beratnya beban "salib" yang harus kita panggul dalam hidup ini...kita justru diberi kesempatan dan kehormatan oleh Allah sendiri untuk mengalami dan menyerupai apa yang pernah dialami oleh Kristus sendiri dalam memanggul salib-Nya lebih dari 2000 tahun yang lalu..??
Berani mengakui diri sebagai seorang Katolik, berarti berani mengakui agama dan kepercayaan lain sebagai jalan yang direstui Allah sekaligus mencintai manusia-manusia yang memeluk agama dan kepercayaan lain tersebut, bukan hanya sekedar menghargai mereka...berani mengakui diri sebagai Katolik, berarti berani untuk berkorban dan menderita dalam menghadapi cobaan hidup sehari-hari termasuk juga cobaan ketika kebebasan kita dalam melaksanakan ibadah di Republik ini masih dibatasi oleh oknum-oknum tertentu...
Terima kasih dan Selamat Natal bagi yang merayakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H