Mohon tunggu...
Damianus Gading
Damianus Gading Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bangsa Indonesia 24 karat karena tidak jelas suku aslinya..perpaduan harmonis dari buah cinta suku Flores dan Sunda, lahir di Kota Hujan, 10 Oktober 1979..."just a simple man..looks simple outside..but little bit complex inside..."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenangan Penuh Perjuangan...Bogor 1995-1998...

15 Juni 2011   12:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminari Menengah Stella Maris Bogor Angkatan 1995

Banyak orang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah ketika beranjak dari usia remaja ke usia dewasa. Bagiku sendiri, masa SMA bukanlah masa yang indah, bagiku masa SMA adalah masa dimana untuk pertama kalinya dalam hidupku aku harus berjuang mati-matian untuk mengekang dan "membunuh kebebasanku"..."kebebasan" untuk mengekspresikan semua gejolak hati seorang remaja dimasa pubertasnya...berjuang untuk terus menerus mencari dan mencari tanpa mengenal lelah untuk menjawab sebuah pertanyaan "Siapakah aku?"...berjuang untuk menjadi seseorang yang "dilahirkan" kembali. Entahlah..apakah aku telah kehilangan masa-masa indah yang seharusnya dialami seorang anak remaja yang normal? Biarlah para pembaca budiman yang menyimpulkannya, aku hanya ingin mensharingkan sebuah pengalaman di masa SMA dulu... Kota Bogor, Juli 1995 dengan berat hati kedua orangtuaku mengantarkan aku...putera pertamanya untuk memulai sebuah hidup baru ke asrama Seminari Menengah Stella Maris,Bogor. Bagi orang Katolik, nama Seminari sendiri tidaklah asing, di lembaga yang bernama Seminari inilah untuk pertama kalinya seorang remaja/dewasa pria yang bercita-cita untuk menjadi seorang Imam/Romo/Pastor/Bruder memulai perjuangannya untuk meraih cita-cita mulia tersebut. Seminari adalah salah satu sistem pendidikan Katolik yang bersifat homogen, karena semua siswanya haruslah seorang laki-laki tulen dan diwajibkan untuk tinggal di Asrama dengan segala keketatan peraturannya.Secara akademik kami "bergabung" dan tercatat sebagai siswa di SMU Budi Mulia,Bogor. Tidak seperti halnya SMU Kolese Petrus Kanisius Mertoyudan di Magelang yang merupakan sebuah asrama Seminari sekaligus sebuah SMA yang berdiri sendiri seperti SMA-SMA lainnya. Belum ada satu minggu hidup lepas dari keluarga...hampir tiap malam diam-diam aku menangis dikamar mandi. Kamar mandi waktu itu adalah "ruang privat yang paling sakral" bagiku, karena aku bisa berpikir, merenung, tertawa, menangis dan berdoa sendirian..tempat dimana aku bisa mengekspresikan semua gejolak hati ini. Aku menangis karena aku merasa telah menyia-nyiakan masa remajaku di sebuah "penjara suci" di Kota Bogor ini.Di kamar mandi inilah aku bisa menjadi diriku sendiri yang sebenarnya dengan melepas segala "topeng" yang menutupinya...dan di kamar mandi ini juga aku memulai refleksi hidupku untuk pertama kalinya mengenai motivasi panggilanku untuk menjadi seorang Romo....dan selama 3 tahun berikutnya dikamar mandi yang sama...yang paling ujung...dan bernomor 7 itulah aku selalu menempatkan diri untuk "beristirahat melepas lelah" dari segala kepengatan hidup sejak pagi hingga malam, sambil "berefleksi" mengenai semua peristiwa harian yang kualami bersama saudara-saudara seperjuanganku...khususnya siswa-siswa Angkatan 1995. Tahun Pertama..."Masa yang Menakutkan..." Sanctitas (Kesucian), Scientia (Pengetahuan) dan Sanitas (Kesehatan) adalah filosofi dasar pendidikan di semua Seminari. Sebagai anak remaja yang masih lekat dengan budaya hidup diluar tembok asrama, aku sangat "tersiksa" menjalani semua proses tersebut. Ketaatan akan peraturan asrama kumaknai sebagai sebuah sikap pembodohan yang justru ingin membuat manusia menjadi kaku seperti mayat yang hidup. Kami dituntut untuk taat dan disiplin dalam menjalankan semua aktifitas dari bangun pagi sampai tidur malam apalagi ditambah dengan ketentuan wajib Silentium Magnum (dilarang berbicara untuk menjaga susasana hening setelah Ibadat Completorium dari jam 9 malam sampai jam 7 pagi). Ketidaktaatan terhadap semua peraturan tersebut memiliki konsekuensi yang tidak main-main dan yang paling menakutkan bagiku adalah dikeluarkan dari asrama Seminari dan terpaksa melanjutkan pendidikan SMA di sekolah lain. Mengapa aku takut dikeluarkan? Pertama-tama dan yang utama adalah bukan karena aku ingin tetap bercita-cita menjadi seorang Romo, tetapi lebih karena sebuah realita bahwa aku harus berani mempertanggungjawabkan pilihanku secara bebas dan sadar untuk studi di tempat ini kepada kedua orangtuaku, bapakku hanyalah seorang security di sebuah sekolah Katolik, dan aku sadar betul mencari sekolah di tempat lain apalagi saat pertengahan tahun adalah sesuatu yang amat mahal, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Atas dasar inilah aku dengan sangat terpaksa menjalani semua rutinitas di Seminari...ya karena aku takut...karena aku seorang pengecut...aku takut melanggar peraturan...aku takut kepada kakak-kakak kelasku karena budaya senioritas masih sangat kuat pada waktu itu...aku takut pada semua Romo staff di Seminari...dan yang paling menyedihkan...aku takut pada diriku sendiri.... Masa tahun pertama ini adalah masa yang paling berat, tanpa kusadari aku mulai belajar untuk tidak lagi menjadi anak manja, suka tidak suka aku harus belajar mengurus diriku sendiri dan mau berkompromi dengan semua realita yang ada. Aku belajar untuk melawan rasa nyaman akan diriku sendiri dan jujur saja...itu sangatlah melelahkan...tiap hari aku harus berjuang melawan rasa lapar kala malam menjelang..melawan rasa mengantuk yang luar biasa setiap bangun pagi-pagi buta...melawan rasa malas ketika melihat banyaknya pakaian yang belum dicuci...melawan keinginan untuk berbicara di saat jam silentium...melawan rasa bosan yang setiap saat meliputi hati dan pikiranku...melawan perasaan "jatuh hati" pada seorang gadis siswi di SMU Budi Mulia yang sangat ingin kumiliki...ya...aku melawan "ego" yang sangat melekat kuat dalam diriku... Di tahun pertama ini pula aku mulai mengenal secara pribadi teman-teman seangkatanku, tahun pertama ini adalah tahun yang penuh gejolak bagi kami, karena pada masa inilah kami mulai memperlihatkan jati diri kami masing-masing, kami semua masih sangat egois walaupun seangkatan. Masing-masing dari kami seolah-olah ingin memperlihatkan siapa yang lebih pintar dalam hal akademis, siapa yang lebih suci dalam hal berdoa, siapa yang lebih rajin dalam hal bekerja, siapa yang lebih kaya karena penampilannya, siapa yang paling pantas disegani karena keberaniannya menggunakan cara-cara kekerasan ala preman dalam menyelesaikan permasalahan diantara kami. Tetapi di tahun  pertama ini pula aku mengenal pribadi-pribadi yang luar biasa...yang tetap rendah hati, sabar dan selalu tersenyum dengan tulus menghadapi segala dinamika kehidupan di angkatan kami. Di tahun ini juga Romo Rektor kami Rm.Benedictus Sudjarwo,Pr dipanggil menghadap Sang Pemilik Kehidupan.... Tahun Kedua..."Masa Pemberontakan..." Tahun kedua adalah tahun yang penuh dengan "warna", karena justru di tahun kedua inilah tanpa kusadari aku menjadi pribadi yang sudah jauh berubah begitupun halnya dengan dinamika kehidupan diangkatan kami. Di tahun kedua inilah aku mulai berani melanggar berbagai peraturan asrama, mulai dari jarang mengikuti Misa Harian karena lebih memilih melanjutkan tidur baik di Kapel dikolong organ maupun di tempat lain yang kuanggap strategis, merokok diam-diam di tempat favoritku kamar mandi nomor 7, "loncat pagar" asrama hampir setiap malam minggu dan baru kembali pagi menjelang subuh sekedar untuk merasa menjadi remaja normal, memanfaatkan tugas malam cuci piring di dapur Pastoran Katedral hanya untuk mencuri makanan, melanggar jam silentium dengan bergadang sampai menjelang pagi dengan beberapa teman di tempat-tempat yang kami anggap strategis di dalam asrama sambil makan makanan hasil curian di Pastoran, minum anggur hasil curian dari Kapel Seminari dan merokok sepuas-puasnya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya terjatuh juga....ya...dari sekian banyak pelanggaran yang kulakukan, aku tertangkap basah oleh seorang Romo yang baru saja ditahbiskan dan bertugas di Katedral..yang justru dianggap sopir pastoran oleh salah seorang kawanku karena memang belum pernah terlihat sebelumnya. Jam 1 pagi persis setelah kami mampu lolos keluar dari tembok asrama, Romo tersebut memergoki kami bertiga....dan keesokan harinya kami dihukum oleh salah satu Romo staff pamong waktu itu Rm.Christoforus Tri Harsono,Pr (sekarang Rektor di Seminari Tinggi St.Petrus-Paulus, Bandung) untuk pulang kerumah masing-masing...skorsing selama 2 minggu penuh...Peristiwa itu adalah pertanda sial bagi nasibku, karena sejak peristiwa itu ada beberapa pelanggaran lagi yang kerap membuatku tertangkap basah dan membuatku positif harus dikeluarkan dari Seminari saat kenaikan kelas ke kelas 3 SMA karena telah tiga kali mendapat peringatan tertulis. Di titik inilah aku merasakan ketakutan yang luar biasa, tidak ada seorangpun teman seangkatanku termasuk yang paling akrab denganku tahu mengenai hal ini, pada titik ini aku pasrah pada keputusan Romo Rektor dan selalu membayangkan kecewa dan marahnya bapakku saat pulang liburan sekolah nantinya, karena terbukti sudah aku bukanlah seorang anak yang bisa bertanggungjawab dan hanya menyusahkan orang tua saja. Dan justru ketika pasrah itulah aku tidak lagi merasa takut, karena aku siap menghadapi segala resiko dari semua pelanggaran yang kulakukan. Anehnya...waktu itu menjelang ujian akhir kenaikan kelas, aku terpilih sebagai salah satu siswa yang mewakili SMU Budi Mulia,Bogor dalam "English Speech And Debate Competition" se-Kotamadya Bogor yang diselenggarakan oleh salah satu Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris bekerjasama dengan BBC Australia, dan diluar dugaan aku masuk peringkat tiga besar dan berhak mewakili SMU Budi Mulia Bogor untuk berkompetisi di tingkat nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Kebetulan kompetisi di tingkat nasional tersebut akan diselenggarakan pada saat liburan sekolah kenaikan kelas di pertengahan Juni 1997. Sehubungan dengan kejadian itu, pejabat Romo Rektor sementara waktu itu Rm. Ridwan Amo,Pr (karena Romo Rektor kami sebelumnya Pater Victor Solekase,Pr meninggal dunia) memanggilku keruangan kerjanya dan berbicara empat mata denganku...sebuah momen yang tidak akan pernah terlupakan bagiku. Romo Ridwan tanpa kuduga sebelumnya ternyata masih memberikanku kesempatan terakhir untuk melanjutkan pendidikan di Seminari sampai ke kelas 3 SMA, dengan "pengawasan khusus" selama 3 bulan, dimana jika ada saja satu pelanggaran sekecil apapun maka otomatis pintu Seminari tertutup bagiku....syukurlah... Bagi angkatanku tahun kedua adalah masa yang indah akan kebersamaan. kami mulai belajar untuk "menangis dan tertawa bersama" setiap gangguan akan salah satu kawan angkatan kami adalah gangguan bagi seluruh angkatan. Kekompakan kami mencapai puncaknya di tahun kedua ini, bahkan dalam titik tertentu kami tidak segan-segan berkonfrontasi secara fisik dengan kakak kelas kami khususnya kelas 3 (angkatan 1994) di setiap pertandingan Rector Cup maupun setiap ada benturan diantara kami dalam hidup harian di asrama. Solidaritas ini memakan korban, salah seorang kakak kelas kami terpaksa dikeluarkan dari asrama karena perkelahian masal saat pertandingan Rector Cup. Kejadian ini justru membuat kebersamaan diantara angkatan kami sangatlah kuat, kami mulai belajar solider satu dengan yang lain. Dalam hal studi kami mengadakan pembagian tugas dengan menggolongkan beberapa anak yang pintar dalam bidang studi tertentu untuk memberikan bimbingan studi bagi yang lainnya, dan di setiap mata pelajaran baik kurikulum SMA maupun kurikulum Seminari ada teman-teman yang bertanggungjawab atas kemajuan akademik keseluruhan angkatan, kesadaran untuk maju bersama sangatlah kuat. Pada waktu Pater Victor Solekase,Pr menjadi Romo Rektor dibuatlah sebuah tradisi baru yang wajib dijalani setiap angkatan yaitu Correctio Fraterna dimana kami belajar untuk melakukan kritik secara tajam dan terbuka terhadap satu dengan yang lainnya, proses ini sangatlah melelahkan karena kami dituntut untuk jujur baik terhadap diri sendiri maupun rekan seangkatan, tidak jarang setelah proses "persidangan" ini ada satu atau dua teman yang sangat terpukul dan menangis dalam hatinya...contohnya adalah saya sendiri, tidak mudah memang untuk mengolah "buah-buah" dari proses Correctio Fraterna ini. Di akhir tahun kedua ini pula aku merasa sangat kehilangan seorang Romo Rektor yang amat kukagumi secara pribadi Pater Victor Solekase,Pr. Selama kepemimpinannya dinamika hidup di Seminari amatlah "berwarna", pribadi yang luar bisa..Pater yang satu ini dimataku memiliki kharisma yang tidak bisa kubantah, ia mampu "merangsang" spirit muda kami untuk maju dalam segala hal, seorang pendengar yang baik sekaligus konsultan pribadi terbaik yang pernah kujumpai. Tahun Ketiga..."Masa Pengambilan Keputusan..." Di tahun ketiga ini aku sungguh-sungguh ingin fokus dan tidak main-main lagi dalam menjalani semua aktifitasku di Seminari. Selama 3 bulan pertama, untuk pertama kalinya aku mau bangun pagi dengan niat sungguh dan mandi serta mengikuti Misa Harian tanpa tertidur, jam Lectio Divina (Bacaan Rohani) setiap selesai Ibadat Pagi kugunakan untuk membaca buku Brevir maupun buku-buku renungan dari Pater Antoni De Mello,SJ, aku mulai rajin mengunjungi Sakramen Mahakudus secara pribadi, "berkontemplasi" secara positif di kamar mandi nomor 7, bekerja sebaik-baiknya dalam mengkoordinasikan pekerjaan membersihkan semua kamar mandi  yang merupakan tanggungjawabku waktu itu sebagai komandan WC, aku mulai serius dalam hal studi karena itu adalah tahun terakhir kami dalam menghadapi EBTANAS, apalagi sebagai ketua kelas aku berkewajiban menjaga reputasi siswa-siswa Seminari yang hampir setiap tahunnya pasti menjadi lulusan terbaik di SMU Budi Mulia dengan NEM tertinggi baik secara pribadi maupun nilai rata-rata seangkatan, bahkan kakak-kakak kelasku (angkatan 1992 dan 1994) ada yang pernah mencapai NEM tertinggi se-Kotamadya Bogor waktu itu. Di tahun ketiga inilah aku mulai sungguh jatuh cinta pada spiritualitas salah satu serikat dalam Gereja Katolik dan sangat ingin sekali menjadi salah satu Imamnya dalam serikat tersebut. Retret yang kami lakukan di tahun ketiga adalah retret yang paling berat, karena kami harus sungguh-sungguh merenungi kembali motivasi panggilan kami apakah akan tetap melanjutkan ke Seminari Tinggi untuk mewujudkan cita-cita menjadi Romo atau justru memilih untuk tidak melanjutkan cita-cita nan suci itu. Sepulang dari retret diakhir tahun 1997 itu, justru angkatanku mulai mengalami perpecahan yang sangat tidak kondusif bagiku untuk melanjutkan dan mempertahankan benih-benih panggilan yang mulai tumbuh waktu itu. Untuk pertama kalinya aku harus berhadapan langsung dengan pribadi-pribadi yang sangat idealis sekaligus keras kepala, dimulai dari sebuah diskusi internal sampai perdebatan terbuka mengenai apa yang harus kami lakukan dalam membimbing adik-adik kelas kami. Sangat disayangkan proses yang seharusnya berjalan indah itu, perlahan-lahan menjadi konflik terbuka diantara kami, walau sebenarnya hanya beberapa teman termasuk aku sendiri yang terlibat konflik terbuka tersebut, sedangkan mayoritas yang lain (silent majority) di angkatan kami adalah pribadi-pribadi yang netral dan tidak memihak salah satu pihak yang merasa paling benar. Sangat disayangkan perbedaan idealisme dan konflik terbuka tersebut terbawa sampai kami lulus sekolah. Secara pribadi aku mohon maaf kepada semua teman-teman seperjuanganku Angkatan 1995 karena saat itu aku belum mampu memaafkan diri sendiri dan memaafkan mereka-mereka yang berkonflik denganku, aku justru memperuncing situasi dengan mengumpulkan teman-teman yang "sealiran" dan melakukan konflik terbuka dalam tataran wacana tentu saja, bukan dalam hal kekerasan dan syukurlah tidak pernah terjadi sampai tahap itu. Tetapi justru melalui peristiwa ini aku bisa melihat "luka" yang tersimpan dalam hati sejak lama antara satu pribadi dengan yang lainnya, ternyata kami belum sungguh-sungguh menjadi sebuah komunitas yang fraterna...yang sungguh bersaudara satu sama lain...sebuah proses yang belum kunjung selesai bagi kami... Di akhir tahun masa studi setelah melalui permenungan yang panjang dan mendalam, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar tembok Seminari setelah lulus, yang artinya aku tidak akan melanjutkan pendidikan ke tahun keempat di Seminari sebagai masa persiapan sebelum masuk Seminari Tinggi. Sebuah keputusan yang tidak mudah, karena waktu itu masih ada sedikit keinginan untuk tetap melakukan test masuk di salah satu serikat yang sangat kukagumi waktu itu. Sayang permohonanku kepada Pater Magister di Novisiat tersebut untuk menjalani test masuk langsung setelah lulus SMA di Seminari tidak diperbolehkan, kecuali jika aku menyelesaikan seluruh proses pendidikan sampai tahun keempat di Seminari..... Sekedar sebuah sharing pengalaman....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun