Dicari:
Saudagar Buku Puisi!
Akhir tahun 2013 menjadi masa yang buruk bagi dunia sastra, khususnya puisi. Sebuah jaringan toko buku besar yang sejak bertahun-tahun lalu telah menjadi tumpuan dalam penyebarluasan buku-buku sastra ke seluruh pelosok tanah air, telah menegaskan keberatan menyediakan tempat bagi buku puisi. “Tak punya nilai-jual,” “tak mungkin best-selling,” “hanya menyesaki rak,” begitu alasan saudagar buku. Seorang petugas pencatat kerjasama penjualan konsinyasi pernah bilang; “Berhentilah menerbitkan buku puisi! Lebih baik jualan buku masak-memasak atau buku panduan cara bersolek. Itu pasti laris!”
Di masa silam, ketersebaran puisi dihadang oleh otoritas tertentu dengan berbagai muslihat. Di mata Plato misalnya, penyair tak lebih dari seorang penutur di jalan sesat. Lelaku kepenyairan sekadar peniruan tak bulat dari dunia senyatanya. Karena itu, puisi bergelimang dusta ketimbang menyingkap wajah kebenaran. Di belahan Timur, para penyair Arab seperti Zuhair, Trafah, Imrul Qays, Amru ibn Kulsum, Antarah dan Labid, dianggap kaum laknat, orang-orang majnun yang bertutur dengan kekuatan sihir, dan karena itu tak pantas dipercayai. Di negeri ini, sejarah mengabarkan sebuah tragedi ketika Hamzah Fansuri (1607-1636) dienyahkan oleh kekuasaan Sultan Iskandar Muda, lantaran syair-syairnya dianggap menyebarkan ajaran tasawuf yang sesat. Tragedi serupa pernah pula dialami penyair sufi Al-Hallaj di Persia, lagi-lagi karena syair-syairnya dianggap bertentangan dengan rumusan teologi yang berkembang waktu itu.
Di kurun mutakhir ini--ketika semua orang bebas melisankan puisi--pihak yang paling gigih menyingkirkan puisi justru saudagar buku. Bila di masa lalu puisi dilarang, karena ia memiliki kekuatan yang menggerakkan, kini puisi ditolak karena ia sangat berpotensi merugikan. Akibatnya, buku puisi kian sulit menjangkau pembacanya. Alih-alih terjual, untuk dapat terpajang di rak toko buku saja sukarnya alang-kepalang. Banyak penerbit yang mengeluh lantaran pembatasan itu, meski mereka tetap bersetia pada buku sastra. Banyak yang terpaksa menghentikan produksi buku-buku sastra, namun banyak pula yang muncul kembali. Begitulah tarik-ulur minat penerbit terhadap buku-buku sastra di republik yang konon telah melahirkan penyair-penyair besar sekaliber Amir Hamzah, Chairil Anwar, WS Rendra, Sitor Situmorang, dan Sutardji Calzoum Bahcri.
Sinisme terhadap puisi sebagaimana ditunjukkan oleh saudagar buku itu membuat saya--sebagai pekerja sastra--merasa dicibirkan, bahkan sudah terhina. Kedigdayaan pasar yang tegak di atas pemberhalaan pada uang, bukan sekadar merendahkan,tapi sedang membinasakan dunia puisi secara perlahan. Bila dalihnya kelarisan, kecap dan terasi juga barang yang laku di pasaran. Tapi sebagai anak kandung keadaban yang diakui di belahan dunia mana pun, puisi tidak selayaknya ditakar semata-mata dengan parameter laku-tak laku, apalagi dengan kalkulasi untung-rugi belaka. Buku laku belum tentu buku bermutu. Tengoklah, deretan karya picisan yang sama sekali tidak dipancangkan di atas kedalaman pikiran, justru laris bagai martabak terang-bulan, sementara puisi yang didedahkan dengan pencapaian artistik, justru tergeletak, tak tersentuh, lalu berdebu selama berbulan-bulan. Inilah keadaban yang gandrung memuja kedangkalan dan senantiasa bersuka-ria dengan kepandiran.
Tuan-tuan saudagar buku tentu menyadari bahwa saban hari kita disuapi kelisanan berselera rendah yang hampir tak terbendung di televisi. Seolah-olah kebenaran hanya berasal dari kaum politisi, pengacara, dan pengamat tiba-tiba. Apapun persoalannya, yang muncul ke permukaan selalu subyek penutur dengan sudut pandang yang itu-itu saja. Seakan-akan tiada pintu lain yang dapat disingkapkan guna melihat kejernihan. Dalam lalu-lalang kelisanan yang tak henti-henti membuat kekeruhan itu, kejernihan dapat disingkap dari jendela puisi. Di jaman ketika kemunafikan dibela mati-matian dan kejujuran dianggap aib, serpihan-serpihan kebenaran dan raut-muka kewarasan dapat dibahasakan melalui puisi. Itu sebabnya kita masih membutuhkan puisi. Presiden sekalipun, juga menulis puisi, bahkan menerbitkan buku puisi. Bila ada yang menganggap puisi tak lagi digemari, kenapa media jejaring sosial seperti twitter dan facebook sesak oleh ungkapan-ungkapan yang disebut puisi oleh para penggunanya? Bukankah para penyair dunia-maya itu sedang mencari oase di tengah belantara bahasa yang sedang kemarau kejernihan? Kenapa pula, kaum sosialita Jakarta,ibu-ibu rumah tangga, hingga anak-anak ABG suka mem-posting puisi cinta--yang mereka kutip dari karya-karya penyair besar--di grup-grup WhatsApp dan Blackberry Mesengger? Jangankan mereka, orang yang anti-puisi sekalipun, menaruh hormat pada puisi.
Tuan-tuan saudagar buku tentu mengetahui, lantaran sulitnya menerbitkan buku puisi, dengan segala keterbatasan, banyak penyair yang nekat membiayai penerbitan bukunya sendiri,sementara hasil penjualan dengan cara menjajakannya di panggung-panggung sastra, belum tentu membuat mereka balik-modal. Beruntung penjualan online, yang lagi-lagi diselenggarakan dengan cara mengasong di laman media sosial, cukup menggembirakan. Penyair yang gigih berpromosi selalu beroleh order, paling tidak 1-3 eksemplar setiap hari. Meski transaksinya kadang-kadang bukan karena penawaran murni sebagaimana layaknya jual-beli, melainkan karena para pembelinya adalah kawan-kawan sesama penyuka sastra, sejawat-sejawat dekat, hingga segelintir orang yang masih menghargai sastra. Maka, para penyair masih berharap ada tempat memajang karya-karya mereka di toko buku. Adalah kebahagiaan yang tiada terkira bagi seorang penulis melihat bukunya terpajang. Dengan sistem konsinyasi, toko buku tak bakal rugi. Bila tak laku tentu bisa di-retour. Bila ada pembatasan waktu display, penerbit pasti maklum, karena tingginya tingkat kedatangan buku baru. Lalu, kenapa tuan saudagar keberatan?
Begitulah paceklik yang sedang melanda dunia puisi. Namun, di republik yang kementrian kebudayaannya sibuk menggelar peristiwa-peristiwa seremonial berkedok gagasan kebudayaan, puisi tetap muncul. Daftar buku puisi yang dihimpun komite juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013 hampir 40 judul, dan sebagian besar berasal dari penerbit indie. Jumlah yang mencengangkan bila ditakar dengan klaim tentang kelesuan dunia sastra yang kerap muncul dalam berbagai perbincangan. Untung masih ada penghargaan sastra seperti KLA yang masih bertahan hingga tahun ke-13. Demikian hendaknya puisi dimartabatkan, jalan kepenyairan dihargai, bukan direndahkan, apalagi disingkirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H