Beruntung ada Wright bersaudara yang pernah bermimpi untuk menciptakan mahluk aneh yang bisa terbang di udara. Mungkin waktu masih kecil mereka rajin mengamati mahluk-mahluk yang bisa terbang. Mulailah mereka berpikir dan bertindak aneh sampai akhirnya sekumpulan barang yang telah dirangkai entah bagaimana caranya akhirnya bisa melayang-layang di udara. Hah hari ini aku di atas awan karena ulah dua orang aneh itu. Ya harus diakui memang orang-orang anehlah yang mengubah dunia. Bisa dibayangkan kalo Wright bersaudara tidak pernah berpikir gila mungkin sekarang tidak ada orang sekaya pemilik Singapore Airlines, Concorde, Air Bus dll. Makanya mereka harus terus berdoa untuk keselamatan jiwa Wright bersaudara. Ha..ha…mungkin tidak perlu juga, siapa tahu Wright bersaudara tidak percaya Tuhan makanya mereka bikin barang terbang karena merasa mereka bisa saingi sang Tuhan…apalagi mereka bisa bikin barang terbang yang lebih besar dari buatan Tuhan.
Tapi sebetulnya aku tidak sedang becerita tentang pesawat terbang. Hanya karena hari ini aku diatas pesawat terbang menembus awan-awan. Pesawatku agak bergoyang-goyang menabrak benda putih yang kelihatnnya indah dan tak bermassa itu. Pasti benda itu ada massanya tapi aku tidak pernah suka pelajaran fisika jadi aku anggap saja tidak ada massanya. Langit hari ini sangat cerah dan indah juga, awan-awan putih dengan bentuk aneh-aneh menghiasinya. Dulu waktu aku masih kecil aku sering membayangkan bentuk-bentuk awan di langit mulai dari bentuk binatang-binatang, bangungan-bangunan dan apa saja.......bahkan yang terlarang sekalipun. Ha..ha imajinasiku...... Tapi aku juga tidak sedang bicara tentang memori masa kecilku...tentang awan. Hari ini aku terbang dengan sebuah pesawat kecil dari suatu daerah tepencil dimana aku bekerja. Dua tahun sudah aku tinggal di daerah itu. Selama dua tahun itu pula aku merasa bahwa aku sedang membangun daerah itu, walaupun aku sendiri kurang yakin apa yang sedang aku bangun disana. Daerah itu menurut para penguasa dikategorikan sebagai salah satu yang termiskin di seantero bangsa yang besar ini. Dan itu seringkali disampaikan oleh penguasa daerah seolah-olah sebuah kebanggaan yang harus diketahui oleh semua orang. Hah... aku juga menjadi ragu apakah kemiskinan adalah nista seperti yang selalu diajarkan kepadaku sejak aku kecil. Apalagi waktu aku masih menjadi seorang ”pejuang” pergerekan mahasiswa yang sering disebut berhaluan kiri, ntah kirinya siapa dan kiri darimana. Kemiskinan harus diperangi seperti memerangi bakteri penyebab diare, tetapi ternyata kemiskinan lebih mirip virus HIV yang belum ada obatnya itu. Kalau kena hampir pasti akan mati.
Di daerahku ini aku menjadi sedikit bingung karena banyak sekali orang yang berbicara tentang kemisikinan hampir segala bentuk orang. Orang-oranga berkulit gelap berambut agak keriting bicara tentang kemiskinan, mereka berpakaian safari necis. Ada juga sekumpulan anak muda berambut gondrong, bercelana jins menggendong ransel yang setiap malam berdiskusi tentang kemiskinan. Ada juga sekumpulan orang berkulit terang seperti babi belanda, hidung panjang seperti petruk ntah darimana mereka datang, mereka juga bicara tentang kemiskinan daerahku. Semua orang bicara tentang kemiskinan. Dan aku juga ikut-ikutan dengan mereka itu....tapi aku mau bicara tentang itu dari atas awan sambil terbang melayang-layang, ha...ha...terimakasih Wright.
Berpuluh kali bahkan hampir beratuskali aku terbang diatas langit negeriku....ketika aku harus pergi mengikuti perhelatan kumpul orang-orang pintar bicara. Perhelatan yang menyenangkan, tempat yang nyaman, makanan yang enak, lelucon yang mengocok perut semuanya menyenangkan....tapi itu semua demi kemiskinan.
Negeriku itu dari atas langit sungguh indah seperti ukiran para pemahat terbaik dari Bali atau Jepara....walau jujur sebetulnya aku tidak terlalu kagum dengan pahatan mereka. Tapi karena semua orang bilang bahwa mereka itu yang terbaik maka aku setuju saja mengumpakan negeriku seperti pahatan para seniman Bali dan Jepara itu. Satu pelajaran moral kekuatan umum bisa mengubah pandangan pribadi. Di musim kering ini hamparan tanah coklat, hitam sehabis terbakar. Batuan terkupas oleh panas terik, seperti kambing korban yang dikuliti. Lekuk-lekuk bukit dan lembah indah memesona seperti wanita-wanita Latin yang terkenal aduhai itu....aku pernah lihat di film-film yang konon dilarang beredar di negeri ini. Tapi aneh juga ya..buktinya aku punya film-film itu. Itu pasti karena dilarang....kalo saja tidak dilarang tapi dijual dengan harga mahal pasti aku tidak punya.
Rerumputan menguning di hamparan sabana, sebatang dua pohon di lembah-lembah bukit mulai meranggas. Memang terlalu panas musim kering kali ini. Sejumlah bangunan berbentuk kotak-kotak kecil berjejer di samping kiri kanan ruas jalan. Aku sedang diatas awan mencoba mengingat gambar negeriku. Aku coba menggambarkan setiap detailnya. Tiba-tiba gadis cantik semampai berdada montok menyodoriku sekotak makanan ringan. Busyet semua detail gambar negeriku itu hilang dan tiba-tiba aku teringat memori masa kecilku ketika melihat gambar-gambar awan diatas sana.....dulu aku pernah membayangkan awan seperti.....
”Terimakasih”.
Dia berlalu.... aku memanggil ulang semua detail gambar negeriku tadi. Syukurlah mereka belum pergi jauh. Hari itu aku sedang berkeliling negeri. Seperti biasa aku mengunjungi sahabat-sahabat yang bertugas di seluruh penjuru negeri untuk memerangi kemiskinan. Hari itu aku tinggal di sebuah kotak kecil dari bambu bulat ditutupi ilalang kering yang oleh orang-orang setempat disebut rumah. Yah itu memang betul sebuah rumah....meskipun tidak sedingin rumah yang kusewa, rumah aneh yang bergaya art deco---mungkin dulu ada orang Italia yang membangun rumah itu. Tapi apa betul ya art deco itu dari Italia....ha...ha aku tidak tahu. Tapi paling enak sok tahu kata deco biasanya dari sanalah....o ya padahal Deco kan pemain sepakbola dari Portugal yang aslinya sebetulnya dari Brasil juga. Aneh juga orang itu.
Angin malam keluar masuk rumah bambu itu tanpa sopan santun. Masuk tidak permisi keluar tidak pamit juga seperti jelangkung saja. Malam itu aku banyak mengamati, mendengar dan menonton. Sedari siangnya aku pergi mengkikuti sahabatku dan tuan rumah ke hamparan sabana mengamati beberapa ekor mahluk bertanduk si dungu kerbau. Menurut beberapa palaentolog binatang ini masih kerabat dinosaurus...astaga naga aku tak mengerti. Tuan rumah bercerita tentang rencana-rencananya. ”Bapa, ini kerbau saya mau pakai untuk acara saya punya anak. Saya punya anak sekarang sudah besar, sebentar lagi mau ambil perempuan. Kita siap-siap memang dari sekarang.” katanya bangga sambil menunjuk ratusan ekor mahluk hitam dungu di depan kami. ”Dorang minta berapa memang Bapa?” sahabatku bertanya padanya. ”Itu sudah, dorang itu keluarga besar. Dia punya Om pejabat di kantor daerah. Dorang minta 100 ekor.” katanya sambil mengernyitkan dahi walaupun ekspresinya kelihatan bangga. Mungkin karena dia punya lebih dari 100 ekor kerbau. Aku hanya mengamati saja. Beberapa kali segerombolan wanita kurus dengan beragam beban di kepala dan pundak mereka berlalu di depan kami. Mulut mereka berkomat-kamit seperti sedang mendaraskan mantra aji singset dan rapat wangi supaya suami-suami mereka tetap ingat pulang ke hangatnya pelukan malam mereka. Bukan....mereka sedang menguyah sirih yang membuat gigi mereka menjadi hitam, bibir memerah kering. Ada beberapa wanita muda yang cukup cantik.....juga demikian. Ah...aku tidak bisa bayangkan bagaimana rasanya jika harus melakukan french kiss dengan mereka. Untuk apa dibayangkan....aku jadi mual. Lalu sejumlah anak-anak kurus berpakaian kumal sambil tertawa gembira ria, menenteng ember dan jerigen kecil melintasi kami. Wajah-wajah ceria itu seolah tidak peduli pakaian mereka yang kumal, lusuh, atau yang kedodoran. Memang sungguh indah anak-anak itu, tidak ada yang lebih mujarab ketimbang hati yang gembira. Lapar, haus, kotor, jelek semua bisa dikalahkan oleh hati yang gembira. Buktinya...aku lihat di anak-anak itu. ”Selamat siang om”, mereka serentak seperti paduan suara. ”Selamat siang.” jawab kami trio. Aku melanjutkan ”Kamu pigi ambil air dimana?” ”Di mata air yang di bukit om.” jawab mereka. ”Kenapa pigi jauh sekali, kenapa tidak di sumur mama tua itu saja?” tanyaku lagi. ”Su kering om, su tidak ada air lagi. Sekarang harus ke mata air.” kata salah seorang gadis kecil di antara anak-anak itu. Kasihan sekali anak-anak itu. Aku pernah pergi ke mata air itu, dari tempat kami bicara saat ini sekitar 2 km, berarti dari kampung terjauh itu sekitar 5 km. Sejauh itu hanya untuk 5 liter air dan yang belum tentu juga mereka dapat. Karena di puncak musim kering seperti sekarang ini air di mata air itu tidak cukup memenuhi kebutuhan semua penduduk desa.
Kami kembali ke pembicaraan tentang kerbau setelah anak-anak itu pergi. Sekitar dua bulan lagi anak tertua si tuan rumah akan menikah. Dia jatuh cinta pada orang yang salah..karena dia harus menyediakan 100 ekor kerbau untuk mendapatkan gadis impiannya. Padahal si tuan rumah masih punya 3 orang anak laki-laki, kalau saja mereka jatuh cinta pada orang yang salah lagi...bagaimana. Ntahlah. Urusan hitung-hitungan kerbau pasti mereka sudah lebih mahir. Lagipula itu bukan masalah bagi mereka, malah kebanggaan. Jadi untuk apa dipusingkan. Maklumlah aku juga pernah memelihara kerbau, maksudku orangtuaku pernah memelihara kerbau. Dulu orangtuaku pernah menjual kerbau kami yang hanya satu ekor saja ditambah sehamparan lahan supaya abangku bisa masuk di akademi tentara. Semuanya terjual tapi gelar tentara tak pernah tergapai. Kan orang di negeri ini lebih baik 100 kerbau untuk satu orang gadis desa...yah yang tidak seseksi Julia Perez, tapi jelas, itu pertukaran yang pasti. Aku hanya berpikir aneh saja....bagaimana kalau tidak punya kerbau? Apa bisa menikah juga? Apa ada klasifikasi kecantikan dan kemolekan wanita dibandingkan dengan jumlah kerbau yang harus diserahkan? Misalnya saja 1-10 kerbau untuk perempuan tipe A, 11-20 untuk tipe B, 21-30 untuk tipe C dstnya. Ternyata tidak juga kata mereka semuanya tergantung kesepakatan. Tidak ada harga tetap, karena ini bukan supermarket dan bukan juga pasar inpres. Ini bukan perdangangan. Ini adalah warisan adiluhung nenek-nenek-nenek moyang. Lalu mengapa harus ada pertukaran yang seperti itu. Yah karena memang begitulah lazimnya. Semua orang melakukannya.Itu cuma salah satu dari cerita negeriku.
Hah ini yang pertama kali muncul di memoriku...mungkin karena aku pernah terpikat setengah mati pada salah seorang gadis cantik negeri ini. Luar biasa kecantikannya seperti bintang Bollywood Aishawara Ray. Tentu saja dia bukan tipe gadis pedalaman seperti rombongan ibu-ibu kurus bergigi hitam tadi. Tapi yang satu ini luar biasa, dia produk peradaban yang agak berbeda walaupun di negeri yang sama. Sayangnya sahabat-sahabatku mengingatkan aku tentang jumlah kerbau, sapi, kuda kalau aku nekad jatuh hati pada si bintang film India itu. Ternyata cintaku tidak buta. Aku pilih mundur saja lah. Karena aku tidak tertarik untuk beternak kerbau ataupun membeli kerbau. Tentu saja karena aku sadar aku tidak akan mampu membeli kerbau sebanyak itu.
Itulah negeriku dan masih banyak cerita tentang negeriku ini. Di atas awan aku mengingat dan merenung semua peristiwa negeriku. Cerita para penggila kemiskinan. Sekarang aku sadar ternyata cukup banyak orang yang penggila kemiskinan yang lebih fanatik dari para penggila bola dari Inggris yang bernama hooligan itu. Ini betul-betul kegilaan yang gila. Ada lagi kelaziman-kelaziman yang gila. Seratus kerbau untuk seorang putri. Yah tentu saja harga seorang putri lebih dari 100 kerbau. Orang Inggris menyebut yang sangat berharga sebagai priceless, yang artinya bukan tidak berharga, seperti kata-kata lain yang jika disambung dengan less. Tapi artinya tak ternilai tak bisa dibandingkan dengan nilai apapun juga. Bukankah seharusnya begitu juga dengan seorang putri? Bukankah seharusnya tak ada nilai yang bisa disetarakan dengan nilai seorang putri, tentu saja tidak setara dengan 100 ekor mahluk besar bertanduk yang dungu pula. Tapi itulah kelaziman yang terjadi di negeriku. Kelaziman-kelaziman yang membuat kelompok penggila kemiskinan semakin banyak di negeri ini. Hebatnya mereka bukan orang miskin. Mungkin sama dengan para penggila bola yang kebanyakan bukan pemain bola. Nah itu lazim juga kan. Aku teringat lagi di depan rumah tempat aku menginap malam itu sebuah kotak batu yang ditutup dengan selembar batu pipih atau yang dibuat menjadi pipih berdiri tegak. Dengan ornamen kepala kerbau bertanduk dua meter di salah satu ujungnya dan patung bagian ekor kerbau di ujung lainnya. Bangunan itu menggambarkan seekor kerbau besar berdiri di atasnya. ”Ini saya punya nenek punya kuburan. Kita potong 40 kerbau besar waktu penguburan. Ada 70 kerbau yang terkumpul waktu itu. Tapi yang dipotong Cuma 40. Itu daging orang kampung asal ambil-ambil saja. Dua minggu orang kampung makan daging kerbau terus.” si tuan rumah bercerita dengan sangat bangga. ”Kenapa banyak sekali dipotong Bapa. Orang kampung kan Cuma 100 kk saja. Potong 10 ekor saja kan sudah cukup.” kataku menimpali. ”Hei anak. Kamu tidak mengerti. Kalo disini begitu memang. Kita punya keluarga banyak, jadi semua kita undang dari seluruh negeri ini kita undang, Jadi harus potong banyak-banyak memang. Kalau tidak nanti kita dapat malu.”dia berhenti sebentar. Sebelumnya kita punya tetangga sudah potong 30 ekor, kita tidak boleh kalah dari mereka.”sekali lagi dengan sangat bangga ia bercerita. Aku mengingat detail cerita itu. Orang-orang ini pikirku. Sama seperti awan gemawan. Bentuk indah di waktu tertentu lalu hilang tak lagi berbentuk. Itu kelaziman lain di negeriku ini. Semua kelaziman yang merupakan kebanggan setiap orang, tapi hanya memperpanjang daftar penggila kemiskinan. Awan agak tebal sepertinya. Pesawatku tergoncang sedikit.
Aku berhenti mengingat negeriku karena memori keanehan itu mengganggu kenyamananku apalagi goncangan-goncangan menyebalkan ini. Apa dulu Wright memikirkan tentang goncangan di langit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI