Saya ini orang Jawa, suami pun demikian. Kami berdua lahir dari satu generasi dimana ayah ibu mengenal nasi sebagai penganan utama.
Jadi inget, tahun lalu, ketika hendak berwisata, dalam menentukan tujuan wisata, yang utama: nggak ada kendala soal bahasa dan....ada yang menjual nasi. Sedikit malu-maluin ga sih, terutama jika mengingat bahwa era pergaulan internasional tidak selalu melibatkan nasi.
Setelah mendapat info dari guru bahasa Inggris yang istri ekspatriat british di Khobar sini, bahwa curry sudah menjadi makanan nasional Inggris, yayy cucok deh, ada nasi, aman;p. Mantap tujuan wisata;p.
Di pesawat, menunya nasi, wong kami naik penerbangan komersil Abu Dhabi (you know lah;p). Sesampai di Heathrow, kami naik kereta ke Paddington. Sampai di stasiun yang mirip kereta di film Harry Potter itu, kami disambut jajaran penjual roti dan kopi. No and no. Kayaknya saya ga napsu liat ruti, walau jam sudah menunjukkan pukul sekitar 7.30 malam waktu London, pas buat makan malam. Kami bertiga, saya, suami dan anak pun lanjut ke hotel. Untunglah, di hotel tempat menginap ada restoran Thailand, yang menyediakan nasi goreng. Wah, nasinya cukup enak, tapi masih kalah sama nasi goreng Indonesia. Indahnya makan nasi;p. Putri saya, beda sama emaknya, dia bisa menerima apa saja yang penting unsur karbohidrat. Kentang atau roti dia mau. Tapi, mind set 'nasi'' tetap mengalir di pembuluh darah, yang mengakibatkan saya merasa putri saya belum maem kalau belum disuapi nasi. Halagh;p.
Padahal, makan tanpa nasi gapapa juga. Ketika kami menjenguk satwa di London Zoo, kami ketemu dengan jam makan siang. Menu yang tersedia di cafetaria cuma kentang dan nugget, atau sandwich dalam kemasan karton bentuk segitiga. Ya terima nasib. Ternyata, tidak makan tanpa nasi tak mengapa, tak bikin pingsan juga.
Malamnya, di tengah angin dingin London, kami menyusuri jalan Bayswater, dimana didalamnya banyak terdapat resto India atau warung makan oriental. Kami menemukan satu restoran Cina yang enak malam itu. Dan perut saya anteng dengan nasi.
Menu wisata hari berikutnya adalah Saatchi Gallery. Keren memang, saya betah melihat karya seni di dalamnya, juga betah duduk di halaman galeri tersebut. Jam sudah lewat dari makan siang. Teuteup, pengen makan nasi. Maka, dengan naik bis merah, kami sukses kesasar ketika hendak ke Bayswater. Alhasil, kami makan di warung makan Malaysia, di dekat hotel. Dengan kondisi setengah masuk angin, karna acara nyasar itu membuat kami sampai sana pukul 5 sore. Plus, mba penjaga warung yang orang Malay itu jutek pisan. Huh! Mestinya ada warung Indonesia yang mudah ditemukan di London.
Wah, pikiran harus makan nasi ini sepertinya pelan-pelan mesti diubah. Kalau tidak, sepertinya susah untuk survive di belantara dunia yang cuma kenal kentang dan roti;p. Tapi mengubah mind set bukan semudah membalik tutup dandang...kecuali makanan Indonesia sudah mendunia, warung tegal dan warung padang tersebar di seantero jagat, dan semua ras umat manusia kenal nasi;p.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H