“Ujian Nasional hampir tiba, harus ikut banyak bimbingan belajar dan ga boleh bolos pelajaran tambahan.”
“UN bulan depan, aaaah ga siap. Aku pusing mama.”
“Dadaku sesek, kalo sampai ga lulus malu sama sekolah dan keluarga. Tapi aku ga siap!”
Begitu banyak kata-kata tak sanggup atau uraian rasa stress seperti yang diungkapkan diatas oleh para pelajar yang hendak menjalani ujian kelulusan atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Ujian Nasional (UN). Perjalanan menuntut ilmu selama tiga tahun yang penuh dengan ulangan harian, ujian semester dan ujian kenaikan kelas berubah menjadi tiada arti dengan keputusan kelulusan melalui ujian enam mata pelajaran dengan nilai rata-rata 5,5 selama seminggu (berlaku untuk UN tahun 2012).
Kontraversi sering terjadi pada masa-masa menjelang ujian nasional. Seringkali media menyajikan liputan para pelajar yang tengah mempersiapkan ujian nasional dengan penuh rasa cemas dan kekhawatiran apakah mereka sanggup melewati masa-masa tersebut. Bahkan adapula drama yang terjadi setelah hasil kelulusan itu diberikan, banyaknya siswa-siswi berprestasi dan telah diterima di universitas-universitas ternama di Indonesia bahkan di mancanegara yang anehnya tidak berhasil melewati ujian nasional. Sungguh ironis. Terdapat banyak opini yang tidak menyetujui dengan sistem ujian di negara merah putih ini tapi tetap pemerintah tidak merubah kebijakan tersebut. Selalu ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia tengah mencapai standar pendidikan Internasional. Apakah layak bagi bangsa yang penuh dengan ramah tamah ini mengejar sebuah STANDAR INTERNASIONAL dengan tidak memperhatikan prosesnya yang penuh dengan kecurangan? Apakah pancasila dengan sila-silanya yang sangat bijaksana harus luntur dengan keinginan diakui di negara-negara lain? Apakah sistem kehidupan beragama hanya sebuah symbol bagi negeri merah putih ini??
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bagaimana sistem ujian nasional itu berlangsung. Pemerintah hendak menyajikan kebijakannya yang “transparan” kepada masyarakat. Menurut mereka sistem ujian nasional sudah sesuai dengan prosedur, tapi bagaimanakah yang terjadi di dalam sekolah??
“Selamat atas kelulusan 100%”, spanduk-spanduk yang bertengger di pintu masuk sekolah-sekolah baik negeri ataupun swasta tentu memiliki nilai khusus tersendiri bagi para orangtua yang hendak menyekolahkan anaknya. Status kelulusan 100 persen juga merupakan target dan pengukur keberhasilan kinerja dinas pendidikan kabupaten/kota. Namun sangat disayangkan upaya untuk mencapai harapan tersebut ditempuh oleh beberapa pihak dengan cara yang tidak mendidik. Pendidikan yang mengikuti pengajaran guru selama hampir tiga tahun dengan penerapan kedisiplinan, ketekunan, dan kejujuran, tiba-tiba menjadi tidak berarti di akhir masa pendidikan dan pengajaran.
Prosedur standar pengawasan ujian nasional yang dianggap “ketat” tampaknya masih kurang berhasil. Ruang ujian diisi oleh dua pengawas, baik berasal dari sekolah lain ataupun pengawas silang. Sebelum soal dibagikan seluruh tas pelajar diperintahkan berada di depan kelas, tidak adanya barang elektronik seperti hp di tempat duduk masing-masing dan hanya diperbolehkan peralatan tulis serta kartu ujian yang berada di atas meja. Petugas pun menunjukkan bahwa soal ujian masih tersegel di dalam amplop, yang berarti soal ujian tersebut masih “aman”. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban berlangsungnya ujian terdapat tulisan “Dilarang masuk selain peserta ujian dan pengawas” ditempel di bagian depan setiap ruang.
Pengawas ruang tidak diperkenankan membawa telpon seluler. Di dalam POS tertulis sanksi bagi siswa dan pengawas ruang yang melanggar. Selain itu, untuk menghindari menyontek terdapat lima tipe soal: A, B, C, D, E, untuk SMA/MA dan SMK atau empat untuk SMP/MTs di setiap pelaksanaan ujian. Dan setiap hari, denah tipe soal yang disediakan menyertai soal ujian, berubah. Perubahan denah tempat duduk disebutkan menyebabkan kegelisahan siswa terutama pada hari pertama penyelenggaraan UN.
Kelancaran dan keamanan pelaksanaan ujian dipantau oleh satuan pengawas pendidikan atau lebih dikenal dengan pengawas independen dan petugas dari kepolisian sektor terdekat.
Namun, sangat disayangkan bagaimana masih terdapatnya kasus penemuan para pelajar yang terlihat membawa ponsel ke dalam ruangan ujian oleh media, kertas-kertas jawaban yang terlihat dibuang para pelajar di tempat sampah, dan lain sebagainya. Apakah betul para pengawas tidak melihat gerak-gerik para pelajarnya yang tengah membuka kertas jawaban dan melihat ponsel ketika tengah menghadapi ujian atau memang guru dan/ atau pengawas mengambil tindakan “diam”?
Pembentukan karakter para penerus bangsa yang menjadi ciri dari pendidikan akhirnya hanya menjadi impian saja. Pengalaman siswa dengan kondisi demikian secara bersama-sama dengan teman sekelas, dengan teman se sekolah, dan dengan teman semua sekolah lain di daerahnya, dan di daerah dan di kabupaten dan provinsi lain akan menanamkan keyakinan yang salah bagi siswa-siswa. Tindakan yang dilakukan oleh sebagian guru pengawas, dan/ atau pengawas satuan pendidikan, dan/ atau pihak-pihak lain pada kondisi seperti ini tentu akan diamini siswa sebagai hal yang positif, suatu bentuk tanggung jawab dan solidaritas pihak lain yang tinggi, dan celakanya jika diakui sebagai bentuk kegiatan yang mulia.
Jika saja UN berjalan jujur tentunya dapat menunjukkan bagaimana sebenarnya wajah pendidikan Indonesia. Pemerintah dapat mengukur bagaimana sebenarnya penyebaran sistem pendidikan yang tidak merata di negara ini dari ujung sabang sampai merauke. Standar nilai yang terus saja dinaikkan setiap tahunnya oleh pemerintah yang tanpa peduli bagaimana para tokoh pendidikan Indonesia kewalahan oleh nilai ujian yang tinggi namun sistem pendidikan yang bobrok sehingga memilih jalan singkat melalui tindakan kecurangan. Hasil yang terus ingin di pamerkan para pejabat negara kepada dunia bahwa negara kita tetap mampu bersaing secara internasional dengan nilai-nilai di atas kertas namun tidak pernah memanusiakan manusia seperti filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistic.
Pendidikan ranah merah putih tercinta kita sudah terlalu condong ke arah barat yang membentuk manusia individualis dan focus pada kompetisi namun melupakan esensi keagamaan, bahkan pendidikan agama bukanlah salah satu mata pelajaran yang diujikan ketika Ujian Nasional.
Rasulullah saw telah bersabda: "Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi).
"Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju surga." (HR. Muslim dan at-Turmudzi).
Sesuai dengan sabda Rasulullah swt dan para sahabat tentang ilmu pengetahuan, saya merasa penasaran bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia memiliki kiblat ke arah pendidikan Islam? Bukankah negara Indonesia ini memiliki penduduk yang notabennya adalah muslim, pemeluk agama Islam? Dan menurut sejarah, Islam pernah menjadi cahaya bagi seluruh dunia untuk ilmu pengetahuan di masa kegelapan Eropa selama beratus-ratus tahun. Apakah UN tetap akan menyimpan kecurangan seperti sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H