Mohon tunggu...
Ayu Damayanti
Ayu Damayanti Mohon Tunggu... -

a student

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia vs Globalisasi

31 Oktober 2013   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Perindustrian meyakini perjanjian dagang ASEAN – China atau ASEAN-China Trade Agreement (ACFTA) pada akhirnya menjadi biang keladi banjirnya produk impor khususnya asal China karena kurangnya pemahaman terhadap kesepakatan perdagangan bebas tersebut. “Banyaknya produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri, karena banyak pihak tidak mempelajari dampak buruk implementasi dari kerjasama perdagangan ACFTA,” kata Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W Retraubun di Jakarta, Selasa (17/7). (dikutip dari www.kemenperin.go.id).

Ditempat yang berbeda, ekonom universitas Atmajaya, A Prasetyantoko mengungkapkan, lemahnya daya saing Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas ACFTA akan memperbesar resiko menuju desindustrialisasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi. “Daya saing negara kita masih rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Negara kita juga dihadapkan sejumlah paradoks yang bisa menghambat pertumbuhan dari negara berpendapatan menengah menjadi negara yang lebih maju,” terang Prasetyantoko. (dikutip dari www.kemenperin.go.id).

ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) merupakan sebuah kesepakatan perdagangan yang dibuat antara negara-negara ASEAN dengan China yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2010 dengan menggunakan prinsip perdagangan bebas. Perdagangan bebas tersebut didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan, yakni hambatan yang diterapkan pemerintah dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Terdapat enam elemen penting dalam Kerangka Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh antara ASEAN dan China, meliputi:

vPerdagangan dan langkah-langkah fasilitasi (mencangkup berbagai isu seperti penghapusan hambatan non-tarif, pengakuan standar di masing-masing pihak dan penilaian prosedur bagi sektor jasa;

vBantuan teknis dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara anggota yang baru di ASEAN;

vLangkah-langkah promosi perdagangan yang konsisten dengan peraturan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO-World Trade Organization);

vPerluasan kerja sama dalam bidang keuangan, pariwisata, pertanian, pengembangan sumber daya manusia, hak atas kekayaan intelekual (HaKI), dsb;

vPembentukan ACFTA dalam jangka waktu 10 tahun, dengan perlakuan khusus dan berbeda diberikan ke negara-negara anggota baru ASEAN;

vPembentukan lembaga-lembaga yang diperlukan untuk menjalankan komitmen kerangka kerja sama.

Dapat dilihat dari pernyataan Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W Retraubun dan ekonom universitas Atmajaya, A Prasetyantoko di atas bahwa Indonesia kurang mampu dalam menyingkapi derasnya jalur perdagangan harga murah yang ditawarkan China. Hal itu dapat dilihat dari tingginya konsumsi produk China dan rendahnya konsumsi produk dalam negeri.

Elektronik adalah produk China dengan pembelian terbesar oleh masyarakat Indonesia (34%), telepon seluler di posisi kedua dengan tingkat konsumsi 19%, serta mainan anak dan alat rumah tangga (non elektronik, alat teknik) dengan tingkat konsumsi 11,10% dan 9,90%. Presentasi tersebut membuat industri lokal gelisah. Hal ini dikarenakan industri lokal dinilai belum cukup siap menghadapi serbuan produk-produk China yang berharga murah. Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi yang cukup tinggi sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini dikhawatirkan akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan ditutupnya perusahaan dalam negeri akibat kalah bersaing.

Seharusnya kesepakatan ACFTA bermakna besar bagi kepentingan

geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan, serta meningkatkan peran Indonesia di ekonomi global. Namun tentunya pemerintah Indonesia perlu persiapan yang matang demi mencapai keberhasilan tersebut dan seharusnya jangka waktu yang ada selama ini cukup karena kesepakatan ACFTA tersebut telah dirancang sejak lama dan di tandatangani 8 tahun yang lalu, tepatnya 4 November 2002. Sedangkan jauh sebelumnya juga sudah dirancang dan disepakati Common Effective Prefential Tarif dalam rangka ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA), dan perjanjian tersebut telah ditandatangani 18 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Januari 1992 dan mulai berlaku tahun 2010

Dari sisi pemerintah ada beberapa hal yang seharusnya sudah dilakukan untuk mengantisipasi masalah ACFTA ini agar tidak semakin berlarut dan semakin bertambah gawat, yakni dengan cara:


  1. Renegoisasikan batasan-batasan normal dan sensitif berdasarkan kekuatan industri kita, sehingga masih ada waktu bagi industri dalam negeri untuk mempersiapkan sumber daya dan keahlian
  2. Perkuat infrastruktur, dari mulai ketersediaan listrik, kawasan industri terpadu, jalan raya (jalan tol, jalur lingkar luar, jalur trans-provinsi, jalur antar kota), jalur kereta api dan optimalisasi logistik melalui perbaikan dan pembangunan jalur kereta api sehingga tercipta logistics infrastructure yang lebih efisien sekaligus efektif.
  3. Pemberdayaan National Single Window secara lebih optimal termasuk kesiapan 24 jam pelabuhan dan pengurusan dokumen ekspor.
  4. Pemangkasan prosedur birokrasi dan perundangan yang tidak perlu dan menganggu proses bisnis tanpa meninggalkan fungsi pengawasan.
  5. Penghapusan Peraturan Daerah yang cenderung menghambat kinerja industri dalam negeri.
  6. Dukungan finansial, perpajakan, pengetahuan serta ketrampilan, dan kemudahan birokrasi bagi industri-industri dalam negeri terutama industri kecil dan menengah (SME).
  7. Penghapusan pungutan dan tarif dalam negeri yang menganggu, premanisme di jalur-jalur perdagangan, pasar-pasar, pelabuhan dan berbagai jenis pungutan liar yang menganggu.
  8. Fokus dan pengembangan pada industri pertanian, perikanan, dan kerajinan tangan serta industri yang berlandaskan pada penggunaan tenaga kerja massal. Karena industri ini yang rentan terhadap perdagangan bebas, dan dapat membantu memperkuat ketahanan industri dalam negeri.
  9. Perbaikan fungsi, sarana, prasarana, dan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional yang selama ini masih sangat tidak memuaskan sehingga menyebabkan orang lebih suka belajar dan mengambil beasiswa ke luar negeri termasuk menyebabkan banyak para pelajar berprestasi memutuskan tidak pulang dan bekerja di luar negeri.
  10. Memacu dan memberdayakan budaya wirausaha dikalangan generasi muda, sehingga dapat membangun ketahanan industri dalam negeri yang kuat.

Dari sisi pelaku bisnis sendiri ada beberapa hal yang seharusnya sudah dilakukan untuk menghadapi ACFTA:


  1. Peningkatan skill dan pengetahuan sumber daya manusia sehingga lebih kompeten dalam menghadapi era perdagangan bebas
  2. Meningkatkan efisiensi dan optimalisasi industri dalam negeri baik dengan perbaikan sistem seperti penerapan Supply Chain yang berbasis kepada SCOR 9.0, standarisasi industri yang mengacu kepada TUV dan SNI (Standar Nasional Indonesia), ISO, maupun perbaikan dan peningkatan alat-alat industri yang lebih modern dan efisien.
  3. Peningkatan modal kerja, perbaikan model bisnis, valuasi nilai bisnis dan segala hal yang dapat memperbaiki kinerja perusahaan.
  4. Fokus pada kekuatan yang memiliki daya saing, dan melepaskan bidang usaha yang tidak ada kaitannya dengan bidang usaha serta tidak memberikan nilai tambah bisnis.
  5. Kerjasama dengan mendirikan konsorsium industri yang dapat saling mendukung dan membantu anggotanya baik dari sisi keahlian, kemudahan lobi bisnis dan hal-hal lain yang dapat saling menguntungkan.
  6. Studi banding ke industri-industri kelas dunia yang dapat memberikan inspirasi peningkatan kinerja usaha, agar tidak tertinggal dalam persaingan internasional.

Dengan demikian Indonesia mungkin mampu menghadapi perdagangan bebas karena hal tersebut tidak dapat dipungkiri. Saya secara pribadi setuju dengan segala bentuk globalisasi di berbagai bidang yang fungsinya untuk memajukan bangsa, namun negara juga harus mempersiapkan diri dan menyaring arus globalisasi tersebut. Karena dapat di lihat dari perkembangan Jepang, yang semakin maju ketika ia mulai membuka diri untuk menerima arus globalisasi yang ada, tapi tetap ada penyaringan.



Indonesia bagaikan keran air, semua bentuk kerjasama dan segala bentuk peradaban atau budaya baru dari negara lain mengalir deras ke negara ini tanpa memilah mana yang baik dan buruk untuk rakyatnya. Jika di lihat dari bidang ekonomi, ACFTA, Indonesia seharusnya mampu merancang kemana arah pembangunan negara ini. Akankan lebih baik jika kita memperbaiki struktur yang ada di dalam negeri baru setelah itu berperan aktif di kancah global. Jadi, menurut saya Indonesia belum siap untuk masuk ke ekonomi global dan berada di pasar bebas karena negara ini belum menjadi negara maju, Indonesia masih dalam tahap pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Selama Indonesia belum mampu untuk kembali menjadi negara swasembada pangan, ya Indonesia belum siap.



http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4375

http://www.kemenperin.go.id/artikel/3817/Lalai-Dampak-Buruk-ACFTA,-Indonesia-Kebanjiran-Produk-China

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/02/11/acfta-tantangan-peluang-dan-menuju-world-class-player-72427.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun