Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat gejala menarik di tengah masyarakat Indonesia, di mana kritik sosial terhadap profesi tertentu dapat berbalik menjadi gelombang simpati massal. Salah satu kasus yang cukup mencolok adalah reaksi masyarakat Indonesia terkait kasus Gus Miftah dan penjual es teh yang sangat viral kemarin. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana dinamika mentalitas masyarakat terbentuk, serta apa implikasinya terhadap struktur sosial-ekonomi yang lebih luas. Fenomena ini membuka perdebatan penting dari sudut pandang mahasiswa Universitas Airlangga yang dididik untuk berpikir kritis dan multidimensi: apakah narasi simpati yang didorong oleh stigma negatif sebenarnya membantu meningkatkan martabat profesi atau justru membentuk mentalitas yang rapuh dan bergantung pada belas kasihan publik?
Komentar masyarakat terhadap penjual es teh viral menghasilkan gelombang simpati yang besar. Sekarang orang lebih memperhatikan penjual daripada sebelumnya. Namun, yang menarik adalah perubahan cerita ini di tempat-tempat sosial tertentu, di mana penjual lain tampaknya berharap untuk "dijelekkan" untuk mendapatkan perhatian yang sama. Pertanyaan moral muncul sebagai akibat dari fenomena ini: apakah simpati massal ini hanya karena solidaritas, atau sebenarnya merupakan bentuk eksploitasi narasi negatif? Saya pikir ini menunjukkan bagaimana budaya simpati instan yang didorong oleh media sosial membentuk dinamika sosial kita. Para penjual es teh, yang dulunya hanya dapat menjual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekarang secara tidak langsung terlibat dalam mekanisme eksistensi di internet. Mereka berharap stigma atau kritik terhadap profesi mereka akan membuat masyarakat lebih empati. Namun, apakah ini baik untuk kesehatan? Apakah ini hanya hasil dari sistem sosial-ekonomi yang tidak memberikan ruang untuk kebanggaan profesi atau hasil dari masyarakat yang terlalu menginginkan perhatian kolektif? Pertanyaan ini penting untuk dipertimbangkan.
Dalam situasi ini, masyarakat tampaknya menginternalisasi gagasan bahwa kerja keras yang tidak terlihat akan lebih sulit mendapatkan dukungan daripada penderitaan yang terlihat, atau bahkan direkayasa. Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa budaya ini, meskipun tampak sederhana, memiliki dampak besar terhadap mentalitas bangsa. Ini mendorong orang untuk melihat diri mereka sebagai korban, yang pada gilirannya mengurangi nilai profesionalisme dan kerja keras. Jika kita melihat lebih dalam, kita akan menemukan bahwa fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan cara orang berpikir, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistem sosial-ekonomi kita. Bagaimana bisa stigma terhadap penjual es teh begitu kuat? Apakah ini karena profesi ini dianggap tidak bergengsi atau karena tidak ada upaya nyata untuk meningkatkan prestise pekerjaan ini?
Simpati yang didorong oleh media sosial hanyalah solusi temporer yang tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Penjual es teh dan pekerja informal lainnya tidak membutuhkan simpati; mereka hanya membutuhkan struktur ekonomi dan kebijakan yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Misalnya, program pemberdayaan ekonomi memiliki nilai yang lebih besar daripada konten viral media sosial yang bersifat sementara. Meskipun demikian, kenyataan di lapangan seringkali berbeda dari yang diharapkan. Alat pengganti untuk mengabaikan tanggung jawab kolektif yang lebih besar adalah simpati instan. Tanpa mempertimbangkan cara mendorong perubahan struktural yang lebih mendalam, masyarakat hanya "berkontribusi" dengan memberi perhatian dan empati sesaat.
Fenomena ini memiliki konsekuensi budaya yang signifikan. Kita melihat pergeseran nilai dalam budaya kerja ketika penjual es teh mulai berharap untuk "dijelekkan" sebagai tanda simpati. Sekarang, nilai kerja keras dan profesionalisme tidak lagi penting; yang lebih penting adalah kemampuan untuk menarik perhatian publik melalui cerita tentang kesusahan orang. Sebagai mahasiswa yang hidup di tengah globalisasi, saya melihat fenomena ini sebagai hal yang mengkhawatirkan. Dalam dunia yang semakin kompetitif saat ini, cara berpikir ini tidak hanya tidak produktif tetapi juga merusak semangat keberlanjutan dan inovasi. Negara ini tidak akan maju jika generasi mudanya dididik untuk menganggap "simpati" sebagai solusi utama untuk ketimpangan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H