Beberapa waktu yang lalu, yaitu pada tanggal 19 Januari 2016 media Indonesia dikejutkan oleh ‘Iron Man’ Indonesia. Bagaimana tidak mengagumkan: seorang anak bangsa berpendidikan sekolah teknik menengah menciptakan tangan robotik dari barang rongsokan yang dapat mengatasi kelumpuhannya. Lebih hebat lagi tangan robotik ini dikendalikan dengan sinyal otak. Terlepas dari dibutuhkannya pemahaman utuh akan mekanisme kerja tangan robotik tersebut, kejadian ini menyorot peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan teknologi mutakhir Brain-Computer Interface (Antarmuka Otak-Komputer).
Harapan bagi penderita lumpuh             Â
Dalam kehidupan sehari-hari contohnya ketika kita membuat secangkir kopi, menuangkan air panas dan mengaduk seduhan kopi, seringkali kita lupa betapa vitalnya kemampuan bergerak. Baru ketika kemampuan tersebut hilang kita dapat menghargainya. Stroke sebagai salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia seringkali berujung pada kelumpuhan.Teknologi futuristik Brain-Computer Interface (BCI) memberikan harapan baru untuk mengatasi kelumpuhan bukan hanya untuk penderita stroke tetapi juga untuk penderita trauma tulang belakang atau penyakit motor neuron.
Brain-Computer Interface (BCI) merupakan perangkat yang menghubungkan otak dan komputer. BCI berfungsi sebagai saluran komunikasi yang menerjemahkan sinyal listrik otak menjadi perintah yang menggerakan sebuah perangkat seperti kursor komputer atua tangan robotik. Dengan menggunakan BCI hanya dengan berpikir, seorang penderita trauma tulang belakang bisa menggerakan sebuah kursi roda robotik.
Seorang yang mengalami kesulitan berbicara karena stroke bisa berkomunikasi dengan bantuan BCI, kira-kira seperti fisikawan Stephen Hawking. Bagi yang tidak mengalami kelumpuhan, di masa depan harapannya adalah kita bisa mengoperasikan telepon genggam kita hanya dengan berpikir. Memang dalam dua dasawarsa terakhir, penelitian BCI meningkat seiring dengan pengembangkan teknologi yang pesat. Namun masih banyak tantangan yang dihadapi peneliti untuk mewujudkan alat yang dapat digunakan sehari-hari.
Memecahkan sandi sinyal otak
Otak manusia merupakan organ padat yang terdiri atas sekitar 100 miliar sel saraf yang disebut neuron. Setiap neuron berkomunikasi dengan neuron-neuron lainnya melalui konduksi sinyal listrik atau secara kimiawi. Berbagai teknologi pencitraan memampukan kita untuk mengamati aktivitas otak saat melakukan kegiatan tertentu, seperti saat melakukan gerakan tertentu. Penelitian tersebut memberikan informasi mengenai struktur spesifik otak yang terlibat dalam pergerakan. Salah satu tantangan utama dalam menciptakan Brain-Computer Interface (BCI) yang efektif adalah memecahkan sandi sinyal otak yang mengontrol pergerakan.
Untuk itu penelitian sains dasar memainkan peran penting dalam memahami mekanisme kerja otak. Melalui eksperimen anatomis, fisiologis, perilaku motorik, dan pemodelan matematik banyak kemajuan yang telah dicapai dalam memahami bagaimana otak mengontrol pergerakan. Pemahaman ini tidak hanya penting untuk pengembangan teknologi BCI tetapi juga untuk memahami berbagai mekanisme penyakit motorik, mengembangkan terapi rehabilitasi dan pengobatan. Saat ini kita memahami secara garis besar bagaimana otak mengontrol pergerakan tetapi kode apa yang digunakan otak serta parameter apa yang dikode masih menjadi perdebatan dan secara aktif diteliti oleh ilmuwan-ilmuwan dunia.
Pengukuran sinyal listrik otak
Brain-Computer Interface (BCI) terdiri atas tiga komponen utama, yaitu 1) pengukuran sinyal otak, 2) komputer pemroses sinyal, dan 3) perangkat yang digerakkan. Dalam BCI yang diciptakan oleh ‘Iron Man’ Indonesia, I Wayan Sutawan atau Tawan, ketiga komponen tersebut adalah 1) pengukur sinyal otak yang melingkar kepala Tawan, 2) komputer pemroses di kepala dan punggung, dan 3) kerangka yang menyangga tangannya. Tawan menyebut komponen pengukur sinyal otak yang digunakannya elektroensefalografi (EEG). Akan tetapi apakah benar alat yang melingkar kepala Tawan mengukur sinyal listrik otak?
Elektroensefalografi (EEG) merupakan prosedur rutin yang digunakan di rumah sakit untuk menyelidiki kejang. Dengan menggunakan teknik ini kita dapat merekam aktivitas listrik otak manusia dengan meletakkan elektroda pada permukaan kulit kepala dan mengaplikasikan materi gel penghantar listrik. Kemudian pada layar komputer kita dapat melihat gelombang aktivitas otak yang memiliki karakteristik yang khas. Sinyal yang diukur EEG sangat lemah karena harus menembus tulang, otot dan kulit kepala.