Mohon tunggu...
Damar Mulyadi
Damar Mulyadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya mahasiswa UNDIP Fakultas hukum tahun 2024

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemunculan "Kreak" di Semarang Banyak Mengaitkan dengan Isu PILKADA Mendatang

15 Oktober 2024   01:40 Diperbarui: 15 Oktober 2024   01:52 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemunculan "Kreak" di Semarang Banyak Mengaitkan dengan Isu Pilkada mendatang 

 

Dalam beberapa bulan terakhir, kota Semarang diramaikan oleh kemunculan istilah "KREAK" yang tersebar luas di media sosial. Fenomena ini menarik perhatian berbagai kalangan karena muncul bertepatan dengan mendekatnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang. Banyak yang berspekulasi bahwa istilah KREAK memiliki hubungan dengan dinamika politik lokal, baik sebagai strategi komunikasi politik terselubung maupun sebagai fenomena sosial yang mencerminkan perubahan pola interaksi politik masyarakat. Artikel ilmiah populer ini akan membahas asal-usul kemunculan KREAK, spekulasi seputar keterkaitannya dengan Pilkada, dan implikasinya dalam konteks politik lokal dan komunikasi massa. Isu politik memang seringkali menimbulkan berbagai simbol, gerakan, atau istilah baru yang mencuri perhatian masyarakat, dan KREAK tampaknya menjadi salah satu di antaranya.

Banyak analis politik lokal menilai kemunculan KREAK tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik menjelang Pilkada. Beberapa menduga, ini adalah strategi komunikasi politik dari salah satu bakal calon untuk membangun brand atau identitas yang lebih dekat dengan masyarakat. Dalam setiap Pilkada, simbol-simbol atau jargon-jargon baru memang sering muncul sebagai bagian dari upaya calon kepala daerah untuk menancapkan pengaruh mereka di benak pemilih. Menurut teori branding politik, simbol seperti KREAK dapat berfungsi sebagai alat untuk menciptakan kesan awal yang kuat dan menyebar dengan cepat di kalangan masyarakat. Dalam konteks Pilkada, penggunaan istilah ini juga bisa dianggap sebagai bagian dari soft campaigning atau kampanye terselubung. Dengan menciptakan istilah yang tidak secara langsung merujuk pada calon atau program politik tertentu, namun dapat dikaitkan dengan pesan politik yang lebih luas, para calon atau tim sukses dapat menghindari regulasi kampanye yang ketat sambil tetap mendapatkan eksposur di media sosial. Istilah seperti KREAK juga dapat digunakan sebagai sinyal kepada kelompok pemilih tertentu, khususnya pemilih muda yang lebih akrab dengan budaya digital dan cenderung merespons baik pada simbol-simbol yang unik dan kreatif.

Secara etimologis, KREAK tampaknya merupakan akronim yang sengaja diciptakan untuk menimbulkan rasa penasaran. Namun, tanpa adanya definisi resmi, istilah ini menjadi semacam blank canvas yang terbuka bagi berbagai interpretasi. Beberapa pengguna internet mengaitkan KREAK dengan singkatan dari kata-kata tertentu yang bernuansa politik, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk gerakan sosial baru yang berusaha menyampaikan pesan secara tidak langsung. KREAK, menurut beberapa sumber, diduga menjadi bagian dari strategi branding politik yang dirancang untuk menarik perhatian generasi muda. Mengingat bahwa anak muda sering menjadi segmen pemilih yang penting dalam setiap kontestasi politik, penciptaan simbol-simbol yang lebih "pop" dan mudah dikenali seperti KREAK bisa menjadi cara untuk menggalang dukungan dari kelompok pemilih ini.

Respons masyarakat terhadap fenomena KREAK cukup beragam. Ada yang merasa penasaran dan mencari tahu apa sebenarnya makna di balik istilah tersebut, sementara yang lain menganggapnya hanya sebagai fenomena viral sesaat tanpa relevansi yang nyata dengan Pilkada mendatang. Namun, tak bisa dipungkiri, penggunaan istilah ini di media sosial dan ruang-ruang diskusi online semakin meluas, bahkan mulai menjadi bagian dari pembicaraan publik. Sebagian besar pengguna internet merespons fenomena ini dengan menciptakan meme, gambar, dan komentar lucu yang menambah daya viral dari KREAK. Namun, di balik lelucon dan meme, ada kekhawatiran bahwa istilah ini dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk memanipulasi opini publik tanpa disadari oleh masyarakat. Dalam kajian komunikasi massa, istilah semacam ini sering disebut sebagai empty signifier terhadap simbol yang terbuka untuk berbagai interpretasi, tetapi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi persepsi publik.

Kemunculan KREAK menunjukkan bagaimana politik lokal di Indonesia, khususnya di kota Semarang, semakin dipengaruhi oleh pola komunikasi digital. Tren ini mencerminkan pergeseran dari kampanye tradisional yang berbasis pada tatap muka dan media cetak, menuju ke kampanye berbasis media sosial dan digital. Penggunaan simbol-simbol seperti KREAK memungkinkan aktor-aktor politik untuk menjangkau lebih banyak pemilih secara cepat dan murah, terutama di kalangan pemuda yang cenderung apatis terhadap politik formal tetapi aktif di dunia digital. Namun, fenomena ini juga menimbulkan tantangan etis. Ada kekhawatiran bahwa strategi semacam ini bisa menjadi bentuk manipulasi yang tidak sehat jika masyarakat tidak memiliki akses terhadap informasi yang jelas dan transparan. Di era digital, di mana berita palsu dan informasi yang tidak akurat dapat menyebar dengan cepat, penggunaan simbol-simbol yang ambigu seperti KREAK bisa menjadi alat yang berbahaya dalam mempengaruhi opini publik secara tidak adil.

KREAK di Semarang, meskipun masih misterius dan belum memiliki penjelasan yang jelas, semakin dikaitkan dengan dinamika politik menjelang Pilkada mendatang. Sebagai bagian dari fenomena sosial-politik, KREAK menunjukkan bahwa simbol-simbol baru di ranah politik lokal dapat menjadi alat komunikasi yang efektif jika dikelola dengan baik. Kini, masyarakat Semarang tengah menunggu apakah KREAK hanya sekadar tren sesaat, atau benar-benar akan menjadi bagian penting dari kampanye politik di Pilkada mendatang.

Fenomena KREAK di Semarang menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana politik lokal berkembang di era digital. KREAK, meskipun masih misterius, menunjukkan bagaimana strategi komunikasi politik kini semakin terhubung dengan budaya digital dan media sosial. Bagi para calon kepala daerah, ini membuka peluang untuk berinovasi dalam kampanye mereka, tetapi juga membawa risiko jika tidak dikelola dengan transparan dan bertanggung jawab. Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk lebih kritis terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul di ranah politik dan media sosial. Kita harus memastikan bahwa kita tidak hanya menjadi konsumen pasif dari simbol-simbol politik yang ambigu, tetapi juga aktif dalam mencari informasi yang jelas dan objektif agar dapat membuat keputusan politik yang tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun