Mohon tunggu...
Damar I Manakku
Damar I Manakku Mohon Tunggu... Guru - Damar I Manakku ( Rahmat R, S.S) adalah Salah satu Guru Bahasa Indonesia di Sulawesi Selatan

Penulis Sastra ( cerpen dan puisi), pelaku teater, pembaca puisi, melestarikan budaya Makassar adalah hak segala bangsa. Juga saat ini menjadi tenaga pendidik Guru Bahasa Indonesia, di satu sekolah Islam Terpadu di Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencari Pemenang antara Puisi dan Petisi

19 Januari 2018   20:45 Diperbarui: 20 Januari 2018   21:15 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik sastra indonesia akhir-akhir ini menjelma menjadi perhatian penting dalam dinamika kesastraan indonesia, terkhusus dalam dunia penyairan. Muncul babak baru tentang lahirnya gerakan puisi esai yang dipelopori oleh Denny Januar Ali atau lebih umum dikenal dengan nama Denny JA. Belum usai perdebatan mengenai dirinya pada sebuah proyek pengakuan dalam buku dengan judul "33 Penyair Indonesia Paling Berpengaruh", kini proyek baru tentang pengumpulan puisi esai di 34 Provinsi oleh penyair se-Indonesia mendapat tanggapan pro-kontra.

Sumber foto: /pingpdf.com
Sumber foto: /pingpdf.com
Adanya endus kabar tentang praktik bayaran kepada penyair yang mendukung proyek buku Denny JA mendapat penolakan keras dari beberapa para penyair, sastrawan dan pemerhati Sastra Indonesia. Dari tanggapan tajam dan keras itulah sehingga melahirkan sebuah bentuk penolakan yang disebut petisi. Kata "petisi" menurut KBBI berarti (surat) permohonan resmi kepada pemerintah. 

Sedang petisi bersinonim dengan gugatan, permintaan, permohonan dan tuntutan. Sikap petisi ini pula yang dijadikan sebagai media bagi beberapa penyair untuk menolak gerakan puisi esai yang dimotori oleh Denny JA. Sikap antipati terhadap karya dan cara Denny JA begitu mudahnya menyebar hingga ke ruang-ruang media sosial, kelompok sastra dan sebagainya. Jika demikian sikap para beberapa penyair, mampukah proyek puisi esai Denny JA berhenti? Apa tujuan sebenar-benarnya dari Denny JA membayar penyair lalu memuluskan proyeknya? Bagaimana masa depan Sastra Indonesia setelah puisi esai dijegal?

Saat ini, banyak pengkritik telah buta dan tuli. Roland Barthes dalam bukunya "Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa", menyatakan:

"Seseorang bersikap pura-pura bodoh untuk menjadikan publik mengajukan protes sesuai dengan kepentingan orang itu, dengan demikian memanfaatkannya dari persekongkolan dengan ketidakberdayaan menuju persekongkolan dengan kecerdasan"

Sikap yang telah diambil oleh Denny JA seakan memunculkan diri ke panggung Sastra Indonesia untuk menguji penalaran kita mengenai kejelasan Sastra Indonesia. Mampukah kita melawan dengan sikap dingin atau hanya menjadi penonton atau sekadar mengkritik dengan buta?

Sikap yang sebenarnya perlu di ambil adalah mampukah kita meredam gerakan yang menurut sebagian pemerhati busuk dan menyesatkan? Mampukah kita melawan dengan karya versus karya? Atau sekadar ikut meramaikan penolakan dengan menandatangani petisi yang telah diusung oleh beberapa penyair dan pemerhati.

Memandang persoalan ini, polemik ini semakin memberikan jalan ketenaran Denny JA pada panggung sejarah Sastra Indonesia, ketidakmampuan membuka ruang dan forum mendedah karya dan maksud Denny JA semakin mengaburkan bentuk perlawanan yang menolak. Jika hanya perlakuan petisi dianggap menjadi pentolan kemenangan para kontra, maka Sastra Indonesia akan menjadi sebuah panggung pesta ujar benci, melupakan panggung puisi yang sebenarnya punya kemungkinan melawan sendiri, juga ketakutan paling berimbas adalah redamnya pemikiran-pemikiran sastra untuk membuat gerakan atau angkatan baru.

Pada dasarnya, sikap berkarya adalah tuntutan besar bagi polemik ini. Panggung pro dan kontra menyikapi ini menjadi gelitikan untuk pemikir sastra dalam membingkai sejarah perpuisian Indonesia. Tantangan ini pula sebenarnya menjadi pelecut untuk semakin menghargai dan memandang kembali Sastra Indonesia. Kajian puisi-puisi perlu dikembangbiakkan agar mampu menelaah dan membuat ramuan baru dalam mengolah puisi-puisi. Puisi tak seharusnya diperdebatkan pada tata cara dan gerakan apa, tetapi semuanya tergantung pada proses kreatif dari seorang penulis.

Marilah kita berpikir secara sadar, jika kita menolak gerakan Denny JA dalam panggung sejarah Sastra Indonesia, setidaknya kita harus paham dan sadar bahwa dia adalah manusia.

Makassar, 19 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun