Media sosial telah melahirkan bahasa dan kosa kata baru. Bahasa ini kemudian melahirkan pemahaman akan dunia yang baru. Lalu seperti apakah pencitraan realita dunia baru dalam media sosial kita?
PENANDA yang membedakan kita dan generasi yang akan datang adalah kefasihan berbahasa di dunia digital. Kita yang tadinya terbiasa berbahasa dengan pensil/pena, buku, koran, dan mesin ketik, kini harus membiasakan untuk berbahasa dengan menggunakan teknologi maju: komputer, laptop, hingga tablet/smartphone. Kita masih membutuhkan sebuah transisi, sebuah migrasi untuk menggunakan bahasa baru ini.
Oleh pemikir di dunia pendidikan dan pengajaran Marc Prensky, kita digolongkan ke dalam kaum imigran digital (digital immigrant). Sedang generasi yang muncul kemudian adalah kaum pribumi digital (digital native)Â yang memang telah lahir untuk terbiasa berbahasa digital sebagai sebuah kelaziman. Bagaimana agar proses migrasi kita berjalan dengan lancar?
Pertama-tama yang harus disadari adalah pensil/pena, buku, koran, dan mesin ketik pada suatu ketika sebagai suatu bahasa akan usang, digantikan dengan bahasa baru yang lazim digunakan dalam games komputer, email, internet, telepon genggam dan instant messaging. Itulah sebabnya, kosa kata "gaptek" dari penyingkatan "gagap teknologi" adalah kosa kata yang tepat guna.
Gagap adalah persoalan ketidakmampuan untuk berbahasa dengan baik dan dalam hal ini, keterbataan dalam menggunakan bahasa digital. Maka penting untuk bisa menguasai bahasa ini.
Kedua, kemampuan berbahasa mempengaruhi sistematika berpikir dan mengolah informasi. Oleh karena itu, bila tidak sesegera mungkin bermigrasi, antara kita dan generasi pribumi digital akan memiliki pola berpikir dan orientasi pemikiran yang berbeda. Itulah yang seringkali didengungkan dengan akan datangnya "a brave new world" untuk menggantikan dunia yang kini kita kenal.
Pertanyaannya: dapatkah kita mengenali citra realita yang akan muncul itu. Setidaknya, dari embrionya yang kini sudah ada. Seperti apakah wujudnya?
Berawal dari "Aku" Bahasa pertama dunia digital yang harus dikuasai adalah bahasa "aku". Aku sebagai identitas, aku sebagai tubuh, aku sebagai pribadi yang unik, dan aku sebagai mahluk sosial. Manifestasinya muncul dalam ceceran status di lini masa/waktu (timeline) di facebook, twitter, g+, dan lainnya.
Namun apakah "aku" ini nyata?
Filsuf Perancis Jean Baudrillard bernubuat dunia sekarang semakin masuk ke hiperrealitas di mana kita tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang bukan.