Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Drama

Monolog Si Pengecut

24 November 2011   06:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16 1662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tergerak oleh artikel Karya Fiksi Drama : Ramai Pembaca, Sepi Penulis dari posting Eddy Roesdiono, luluh hati saya untuk berbagi. Semoga monolog singkat ini bisa memberi manfaat. Tambahan: Monolog dengan judul yang sama hanya pernah muncul di blog pribadi saya, belum pernah dipublikasikan untuk konsumsi publik. [dam] MONOLOG SI PENGECUT Layar perlahan terbuka. Seorang pengecut masuk ke dalam panggung. Tubuhnya gemetaran. Ia selalu berusaha menghindari tempat terang dan ramai. Dari sudut gelap yang terdiam, ia berkata lantang. PENGECUT:

"Seharusnya kupadamkan mentari karna teriknya butakan aku Seharusnya kumuramkan rembulan karena cahyanya dukakan aku Tapi aku takut tak 'kan kulihat lagi bayangmu"

Pengecut itu lalu pergi ke ujung panggung. Ia bersandar pada tiang, menatap ke atas seolah-olah ada pohon rimbun penuh dedaunan. Ia menutup telinganya dengan tangan. PENGECUT:

"Seharusnya kubunuh burung burung karna kicaunya tulikan aku Seharusnya kububarkan arak awan karna semaraknya gusarkan aku Tapi aku takut tak 'kan kudengar lagi sapamu"

Pengecut rebah di lantai, ia sibuk menyibak-nyibakkan tangan dan kakinya ke udara. PENGECUT:

"Seharusnya kubakar es di kutub sana karna dinginnya matirasakan jemariku Seharusnya kuusir juga binatang lautnya karna mesranya merah padamkan iriku Tapi aku takut tak 'kan bisa kujamah lagi tubuhmu"

Pengecut lalu berdiri, memandang ke atap langit sambil tangannya menadah, mengharap turunnya hujan. PENGECUT:

"Seharusnya kubiarkan hujan menerpaku karna derai airnya 'kan kelukan aku Seharusnya kurobek-robek gaun si pelangi karna indahnya harukan hatiku Tapi aku takut tak 'kan sanggup kulafalkan lagi namamu"

Pengecut jatuh terduduk. Ia menggerakkan tangannya seolah hendak menimba. PENGECUT:

"Seharusnya kukuras samudra raya karna anggunnya bisukan aku Seharusnya kuburu mati ikan-ikannya karna genitnya gelisahkan aku Tapi aku takut tak 'kan sempat kunyatakan lagi kasihku"

Pengecut terkelungkup. Tangannya menggedor-gedor lantai panggung. Suaranya lirih. PENGECUT:

"Seharusnya kulakukan semua itu karna tak lagi sanggup kusimpan rapat rahasia hatiku Tapi aku takut tak 'kan mau lagi kau temui aku"

Lampu panggung padam. Hanya tertinggal bunyi gedoran di lantai. Selesai. Desember 1997

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun