Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Memburu “Nyawa” Salman Rushdie

9 April 2012   12:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:50 1757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salman Rushdie yang diburu nyawa-nya

Sejak darahnya dihalalkan lewat fatwa Ayatullah Khomeini tahun 1989, kekerasan terus membayangi gerak-gerik Salman Rushdie. Bahkan kekerasan tak cuma tertuju padanya, melainkan pada semua orang yang terlibat dalam proses karya kreatifnya. Namun dapatkah kekerasan “membunuh” Salman Rushdie?

[caption id="" align="aligncenter" width="509" caption="Salman Rushdie yang diburu "][/caption] TANGGAL 13 Maret 2012, dunia terkejut! Seorang imam masjid tewas saat berupaya memadamkan api di masjid syiah di Anderlecht di pinggiran Brussel karena serangan seorang pria. Pria itu masuk ke area masjid membawa sebuah kapak, bom molotov, dan sekaleng bensin, lalu dengan kapak ia mengancam orang-orang di masjid, dan ia memecahkan jendela kemudian melemparkan bom molotov hingga masjid terbakar. Peristiwa ini mengingatkan pada kejadian di kota yang sama, bulan yang sama, namun pada tahun 1989. Saat itu seorang imam bernama Abdullah Muhammad al-Ahdal ditembak mati oleh seorang pria bersenjata di dalam masjid. Pembunuhan itu diklaim berkaitan dengan tuduhan bahwa imam itu telah menjadi terlalu moderat dan karena ia juga menolak fatwa mati terhadap penulis Salman Rushdie yang dikeluarkan oleh pemimpin tertinggi Syiah Iran saat itu. Hal tadi hanya untuk menggambarkan rangkaian kekerasan untuk “membunuh” Salman Rusdhie. Salman telah dibunuh berkali-kali lewat pembakaran buku, biblioklasme atau librisida. Buku atau media tulisannya dibakar, dihancurkan, atau dimusnahkan. Tindakan ini dilakukan di depan umum dan sering didasari atas motif moral, keagamaan, atau politik. Tidak hanya itu. Upaya “membunuh” Salman Rushdie juga melibatkan pembunuhan orang-orang yang berani memperbanyak gagasan-gagasannya. Para penerjemah, tukang cetak, di berbagai belahan dunia, terbunuh. Bahkan upaya “pembunuhan” baru-baru ini, saat Salman Rushdie dijadwalkan bertandang ke Festival Sastra Internationl di Jaipur, India. Sekelompok orang berunjuk rasa meminta panitia festival membatalkan acara Salman Rushdie. Unjuk rasa ini dipimpin oleh Paiker Farukh dari Islam India, Dewan Milli India. Ancaman pembunuhan dilontarkan sehingga akhirnya Salman Rushdie menyatakan mundur dari festival di Jaipur. Atas alasan apa? Paiker Farukh mengatakan Festival Kesusastraan di Jaipur itu berupaya menampilkan Salman Ruhsdie sebagai seorang pahlawan. India seolah mengharamkan penulis yang “seharusnya” menjadi anak kesayangan negerinya. Siapa Salman Rushdie? Salman Rushdie adalah novelis India-Inggris, lahir dari kelas menengah di Mumbai, India pada tanggal 19 Juni 1947. Ia merupakan seorang pengarang penting di akhir abad ke-20 yang terkenal karena campuran unik antara sejarah dan realisme magis dalam karyanya. Nafas realisme magis dari Peter Carey, Angela Carter, E.L. Doctorow, John Fowles, Mark Helprin atau Emma Tennant ada dalam karyanya. Sejarah yang ditulisnya adalah sejarah bangsa India sendiri. Sebanyak 13 buku karya tulisannya telah memenangi sejumlah penghargaan, termasuk Booker Prize untuk Midnight’s Children pada 1981. Ia bersembunyi setelah Ayatollah Khomeini, pemimpin negeri Iran saat itu, mengeluarkan fatwa pada 14 Februari 1989 yang memerintahkan kaum Muslim untuk membunuhnya karena dianggap menghina Islam dalam bukunya yang berjudul The Satanic Verses. Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir yang menang nobel sastra tahun 1988, mengkritik Khomeini telah melakukan “intellectual terrorism“. Sedang V.S. Naipaul menggambarkan fatwa Khomeini sebagai “an extreme form of literary criticism.” Tapi Khomeini tak bergeming dan hingga hari ini, fatwa itu terus membayangi kehidupan Salman Rushdie. Di Indonesia Upaya pemburuan dan “pembunuhan” Salman Rushdie ternyata sepi saja di Indonesia. Sangat mengherankan ternyata Indonesia, yang populasi penduduk Muslimnya mayoritas, ternyata sepi saja menanggapi terbitnya salah satu karya Salman Rushdie, Anak-Anak Tengah Malam (Midnight’s Children) terbitan Serambi, Oktober 2009. Ayu Utami menulis pengantar diskusi buku Midnight’s Children di Komunitas Salihara, 8 Oktober 2010 dengan paragraf awal yang sangat menarik: [caption id="" align="alignright" width="230" caption="Terjemahan "]

Terjemahan Midnight Children terbitan Serambi, 2011
Terjemahan Midnight Children terbitan Serambi, 2011
[/caption] “Mengapa buku ini diterjemahkan? Mengapa, kira-kira, penerbitnya merasa kita perlu membacanya? Salman Rushdie, patut diduga, memiliki banyak musuh di negeri ini–mereka yang membencinya demi perkara Ayat-Ayat Setan, kebanyakan tanpa merasa perlu membaca karyanya yang kental bagai kari. Di sisi lain, Midnight’s Children–novel kedua yang ditulisnya jauh sebelum Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan)–mendapat penghargaan kesusastraan sangat tinggi dan, sejauh ini umum dianggap karya terbaik Rushdie. Kita agaknya memang perlu membacanya, sebagai peminat sastra, maupun sebagai patriot yang percaya bahwa sejarah kita adalah sejarah kolonialisme dan kemerdekaan sebuah bangsa.” Ayu Utami memahami kadang kebencian dan upaya “pembunuhan” menutup peluang bagi kita untuk melihat apa sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh Salman Rushdie lewat karya-karyanya. Ia telah berupaya dibunuh dengan beragam cara, tetapi yang paling penting adalah menemukan apa yang hendak disampaikannya. Dalam karya Salman Rushdie, kita bisa melihat sumbangan sastra sebagai upaya membongkar ideologi. Serta bagaimana sastra melakukannya dengan langkah-langkah yang berbeda dari “sejarah”. Seperti dalam pengantar karyanya ini, Salman Rushdie menulis “Di Barat orang cenderung membaca Midnight’s Children sebagai novel fantasi, sedangkan di India orang memandangnya novel realis, hampir menyerupai buku sejarah.” Artinya, novel ini berhasil menemukan maknanya bagi pembaca di India sebagai upaya reflektif menggambarkan bahwa cita-cita kemerdekaan India telah runtuh satu demi satu di depan mata Saleem Sinai. Tapi tak sulit membayangkan bahwa kelompok-kelompok tertentu akan tiba-tiba bergolak seperti kejadian di India. Memburu dan melakukan “pembunuhan” atas karya-karya Salman Rusdhie tanpa pernah berusaha memahaminya, menemukan manfaatnya bagi kekayaan hati pembacanya. [dam]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun