[caption id="attachment_152303" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Kita tak perlu bernubuat setiap kali orang mempersoalkan masa depan perfilman. Yang perlu dilakukan adalah berbuat. Apa yang bisa diperbuat oleh penonton? Sederhana. Mari mulai menonton film-film Indonesia yang bermutu setiap kamis.
LANGIT seakan runtuh Jumat (25/11) lalu. Aura dari ruangan yang sejatinya menjadi cikal bakal percakapan penuh dinamika di antara orang-orang muda justru menjadi sekelam mendung di atas Jakarta. Apa yang terjadi? Kepada mereka yang menyimak isi Kopdar Budaya #8 bertajuk "Masa Depan Perfilman Indonesia" telah disodorkan berbagai fakta pahit situasi perfilman Indonesia. Dimulai dari dua sutradara muda berbakat: Ifa Ifansyah dan Andibachtiar Yusuf serta seorang aktor muda Oka Antara, masing-masing menyuarakan opini yang meresahkan mereka, kemudian berturut-turut penulis naskah Prima Rusdi dan publisis Ade Kusumaningrum menyoal berbagai kendala di dapur perfilman yang awam diketahui oleh penonton. Apa saja persoalan perfilman Indonesia? Kendala Budaya Ifa Ifansyah, sutradara film yang membesut Garuda di Dadaku dan Sang Penari mengajukan suatu pandangan bahwa persoalan menonton film Indonesia adalah persoalan persepsi. Masyarakat sudah terlanjur kental berpersepsi "tidak ada film Indonesia yang bagus" sehingga setiap kali ditanya, apa film Indonesia yang bagus saat ini, cenderung angkat bahu dan tidak mau membicarakannya. Masyarakat tidak lagi punya kebanggaan pada film-film Indonesia yang diproduksi dewasa ini. Persepsi masyarakat pada film Indonesia jauh berbeda ketika Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan sineas senior berkarya. Persepsi negatif ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena memang sudah menjadi realita yang vulgar: film Indonesia belakangan ini didominasi oleh film horor, slapstick dan umbar paha. Efek buruk dari persepsi negatif ini adalah generalisasi dan generalisasi ini berbahaya karena tidak semua film Indonesia seperti itu. Begitu ada film yang berkualitas, tetapi sayangnya diacuhkan karena masyarakat kadung mispersepsi. Sineas dokumenter dan film feature Andibachtiar Yusuf mengimbuhkan persoalan budaya masyarakat kita. Apa-apa yang dari luar negeri dipandang lebih bagus daripada produk negeri sendiri. Begitulah juga yang terjadi dengan film Indonesia. Sudah kalah nilai produksinya dibanding film luar negeri, diperparah kondisinya dengan mentalitas masyarakat yang menghamba produk negeri manca. Ilustrasi ini menurut sutradara yang lebih sering dipanggil Ucup ini sudah cukup memberi sinyal bahwa tidak ada masa depan bagi film Indonesia. Apa Maunya Penonton Indonesia? Penonton Indonesia sungguh paradoks, keluh Oka Antara, pemain sinetron dan aktor di film Sang Penari. Di satu sisi menuntut kualitas film Indonesia ditingkatkan, namun begitu ada film Indonesia yang secara kualitas tak perlu dipertanyakan, tetap yang laku ditonton adalah film yang mutunya rata-rata. Data dari FilmIndonesia.or.id memberi gambaran film mana yang paling banyak ditonton masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2011 ini. 10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2011 berdasarkan tahun edar film: 1. Surat Kecil Untuk Tuhan: 748.842 2. Arwah Goyang Karawang: 727.540 3. Get Married 3: 563.942 4. Tanda Tanya: 552.612 5. Di Bawah Lindungan Ka'bah: 520.267 6. Purple Love: 503.133 7. Tendangan dari Langit: 491.077 8. Catatan Harian Si Boy: 450.000 9. Kuntilanak Kesurupan: 446.718 10. Ada Apa dengan Pocong?: 417.380 Sumber: FilmIndonesia.or.id Tambah Oka Antara, di kalangan para pekerja film sudah bukan rahasia lagi bahwa tidak bisa mencari nafkah dari perfilman. Ladang sinetron paling menjanjikan memberi nafkah yang lebih stabil dibandingkan bermain film bagus. Secara terang-terangan, Oka berkata ia akan lebih memilih bermain sinetron daripada film di kesempatan berikutnya. Negara yang Abai dan Nirproteksi Tak cukup dengan fakta-fakta yang membuat hati terhenyak, Prima Rusdi dan Ade Kusumaningrum yang lebih dulu terjun dalam bisnis perfilman sebagai penulis naskah dan publisis film menambahkan persoalan abainya negara dalam kerja-kerja perfilman Indonesia. Terungkapnya tiga belas pajak yang dibebankan pada proses produksi film, kinerja Lembaga Sensor Film (LSF), tidak adanya proteksi pada film Indonesia yang bila diperbandingkan dengan Perancis, Korea, dan bahkan Malaysia, serta tak kunjung terbitnya iklim kebijakan yang pro-kerja kreatif dibeberkan satu demi satu secara detil. Soal yang terakhir tentang proteksi sebetulnya demikian sederhana. Negara Perancis, misalnya, memberi proteksi terhadap film buatan negeri sendiri untuk tayang selama sebulan penuh sebelum akhirnya diturunkan dari layar bioskop. Korea punya durasi proteksi yang lebih pendek, yakni selama 21 hari, sedangkan Malaysia 14 hari. Akan tetapi di Indonesia, proteksi ini tidak ada sama sekali sehingga film Indonesia bisa hanya bertahan 1 hari untuk kemudian tidak pernah lagi diputar di bioskop karena alasan ada film luar yang menunggu untuk ditayangkan. Masa Depan Adalah Sekarang Di tengah porandanya perfilman Indonesia, dimanakah harapan berada? Hampir semua yang ikut Kopdar Budaya resah. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah pada penonton. Masa depan perfilman Indonesia adalah sekarang dan kuncinya ada pada penonton. Bila penonton Indonesia bersedia menonton film Indonesia, perfilman Indonesia bisa bernafas lega. Tak perlu seluruhnya, seandainya itu impian yang terlalu muluk, cukup 50% dari 20 juta penduduk yang berdiam di Jakarta, itu sudah sanggup memberi titik terang pada langit gelap perfilman Indonesia. Bagaimana penonton bisa terlibat? Prima Rusdi menganjurkan agar setiap hari Kamis penonton menyempatkan untuk menonton film Indonesia. Kenapa setiap hari Kamis, karena pada hari itu terjadi pergantian film yang tidak laku dan digantikan film berikutnya. Bila film Indonesia tetap ada penontonnya, umurnya di bioskop jauh lebih lama tayang. Sederhana sebetulnya dan mungkin. Kini tinggal bagaimana berbuat untuk film Indonesia. [dam] Seluruh isi artikel merupakan catatan saya pribadi sebagai peserta Kopdar Budaya #8 pada Jumat 25 November 2011. Artikel sejenis di Kompasiana: Kambing Hitam Film Impor Itu Sudah Pergi, Penonton sebagai Kambing Hitam Baru? karya Arofiq Masa Depan Film Indonesia karya Nana Sudiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H