Dialu-alu sebagai sahabat terbaik penulis, namun tak jarang justru dapat menjadi musuh. Dicari-cari sebagai rujukan utama, tetapi dapat dikesampingkan begitu saja. Inilah cerita tentang kamus, tempat samudera kata-kata, dan segudang misteri di balik proses pembuatannya.
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber: http://th06.deviantart.net/fs16/150/i/2007/134/0/b/Love___Hate_by_scarlet_kiss.jpg"][/caption]
BOLEH diuji ke setiap penulis, apakah mereka memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau tidak dan bagaimana mereka memposisikan kamus tersebut dalam proses kerja mereka. Umumnya terbagi dua. Di satu sisi, terdapat para penulis yang memposisikan KBBI sebagai sahabat terbaik mereka, yang tidak bisa tidak harus memeriksa setiap kata untuk mengetahui kebenaran artinya, dan oleh karenanya mereka berpikir perlu untuk memiliki KBBI. Sedang di sisi lain, ada yang berpikir KBBI memasung kreativitas kata, setiap kata dipenjarakan dalam artian yang baku dan kaku, dan dengan sendirinya mereka "mengemohi" kehadiran kamus dalam proses kerja kreatifnya. Ujian ini sekaligus memperlihatkan bagaimana kamus diperlakukan dalam keseharian kebahasaan kita.
Mengapa harus kamus? Alif Danya Munsyi, atau dikenal dengan nama lain Remy Sylado, atau dengan nama aslinya Yapi Panda Abdiel Tambayong atau disingkat Yopie Tambayong, mengumpulkan esai-esai tentang bahasa Indonesia, lalu diterbitkan dengan judul Bahasa Menunjukkan Bangsa pada tahun 2005. Yang hendak ia sampaikan lewat bukunya adalah bahasa Indonesia menunjukkan pukau sebuah bangsa yang besar dengan kosa-kata yang kaya. Ia menyayangkan bahwa akhirnya bahasa Indonesia dikhianati oleh bangsanya sendiri yang tadinya sudah bersumpah untuk bukan saja berbangsa dan bertanah air satu, tetapi juga berbahasa satu, tetapi pada prakteknya kita ber-dwi bahasa. Bahasa Inggris menjadi begitu penting dibandingkan bahasa sendiri. Bahkan di sekolah-sekolah dasar, pencantuman SD Bilingual dianggap jauh lebih utama dari yang hanya berbahasa Indonesia semata. Delapan puluh tiga tahun (1928-2011) kita terikat oleh "sumpah" para pemuda di Kongres Pemuda II untuk berbahasa Indonesia. Tentulah menarik untuk menilai selama kurun 80-an tahun ini, sejauh mana perkembangan bahasa ini? Dan sejauh mana, bangsa ini menghargai bahasanya sendiri? Oleh karena kamus menyimpan kekayaan kosa kata kita maka membicarakan soal kamus dalam kebahasaan kita ternyata punya relevansi yang kuat.
Bagi saya, membicarakan soal kamus selalu menarik. Ketertarikan pertama saya, justru dari kata kamus itu sendiri. Siapa sangka kata kamus diserap dari bahasa Arab qamus (قاموس), dengan bentuk jamaknya qawamis. Kata Arab itu sendiri berasal dari kata Yunani Ωκεανός (okeanos) yang berarti 'samudera'. Sejarah kata itu jelas memperlihatkan makna dasar yang terkandung dalam kata kamus, yaitu wadah pengetahuan, khususnya pengetahuan bahasa, yang tidak terhingga dalam dan luasnya. Menyelami samudera kata-kata tentulah menyenangkan, .
Ketertarikan kedua saya, pada sejarah dan proses pembuatannya. Bagaimana ceritanya sampai KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat memiliki 90.049 lema dan sublema, serta 2.034 peribahasa? Bagaimana penentuannya? Saya berimajinasi proses kerja di Pusat Bahasa sama seperti proses penyusunan Oxford English Dictionary yang ceritanya tercantum dalam buku The Professor and The Mad Man karya Simon Winchester. Di dalam buku itu, Simon Winchester ingin menjawab pertanyaan utama: benarkah James Murray, editor utama OED, baru bertemu William Chester Minor, kontributor paling aktif dalam OED, setelah 20 tahun korespondensi dan baru pada saat itu sang profesor disadarkan bahwa kontributornya itu adalah seorang pasien Rumah Sakit Jiwa? Cara Simon Winchester menuturkan kisah tersebut sangat detil bak detektif. Ia mencari latar belakang siapa tokoh-tokoh tersebut dan menemukan fakta bahwa William Chester Minor adalah dokter tentara yang kemudian menjadi skizofrenia gara-gara perang dan dalam paranoia yang berlebihan ia menembak George Merret. Dan editor utama OED, James Murray, sebetulnya tidak pernah mengenyam bangku kuliah dan mengajarkan bahasa Latin pada sapi-sapi semasa mudanya. Proses kerja yang rumit yang digambarkan bila dikerjakan oleh satu orang, OED ini baru selesai setelah 120 tahun hanya untuk memasukkan istilah-istilah ini hingga terkumpul 59 juta kata (OED Edisi Kedua), lalu ditambah 60 tahun untuk memeriksa kata demi kata (proofedit).
Dari segi sejarah, pembuatan kamus hingga menjadi KBBI seperti sekarang ternyata juga menarik. Menurut catatan, karya leksikografi tertua dalam sejarah studi bahasa di Indonesia adalah daftar kata Tionghoa-Melayu pada awal abad ke-15. Daftar ini berisi 500 lema. Ada pula daftar kata Italia-Melayu yang disusun oleh Pigafetta pada tahun 1522. Kamus antarbahasa tertua dalam sejarah bahasa Melayu adalah Spraeck ende woord-boek, Inde Malaysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsche Woorden karya Frederick de Houtman yang diterbitkan pada tahun 1603. Kamus bahasa Jawa tertua adalah Lexicon Javanum terbit pada 1706 yang sekarang tersimpan di Vatikan. Kamus Bahasa Sunda baru ditulis oleh A. de Wilde tahun 1841, dengan judul Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek. Kamus-kamus yang ditulis oleh para ahli bahasa asing tersebut biasanya terbatas pada kamus dwibahasa.
Namun kamus ekabahasa pertama di Indonesia merupakan kamus bahasa Melayu yang ditulis oleh Raja Ali Haji, berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama. Kamus ini terbit pada abad ke-19. Kitab Pengetahuan Bahasa sebenarnya bukan kamus murni namun merupakan kamus ensiklopedia untuk keperluan pelajar. Kemudian pada tahun 1930 terbit kamus Bahasa Jawa Baoesastra Djawa karya W.J.S Poerwadarminta, C.S. Hardjasoedarma, dan J.C. Poedjasoedira. Boesastra Djawa merupakan kamus ekabahasa, seperti juga Kamoes Bahasa Soenda karya R. Satjadibrata yang terbit tahun 1948.
Setelah kemerdekaan penerbitan kamus di Indonesia menjadi lebih merebak. Pusat Bahasa merupakan penerbit utama kamus Bahasa Indonesia berukuran besar. Selain itu Pusat Bahasa turut pula menerbitkan puluhan kamus bahasa daerah. Kamus besar terbitan Pusat Bahasa pertama adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, terbit tahun 1952. Kemudian pada tahun 1988 terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksudkan sebagai kamus baku untuk bahasa Indonesia. Kamus ini merupakan hasil karya tim, dengan pemimpin redaksi Sri Sukesi Adiwimarta dan Adi Sunaryo, dan penyelia Anton M. Moeliono. Edisi ketiga Kamus Besar Bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 2002. Kamus edisi ketiga ini memuat sekitar 78.000 lema. Dan edisi keempatnya adalah yang semenjak awal tadi saya bahas.
Maka bila kembali ke pertanyaan ujian di awal tulisan ini, tampak jelas saya mewakili penulis yang memilih untuk mencintai kamus dan senang menyelami samudera kata-kata. Saya yakin bahasa Indonesia sungguh hebat dan sangat kaya, dan oleh karena itu saya juga percaya bangsa kita sehebat bahasanya.
[dam]