Di tengah maraknya cerita anak desa sukses di kota, drakula, penyihir, kaum metroseksual memenuhi jagat toko buku kita, pertanyaan paling besar yang harus ditanyakan adalah: "masihkah buku sastra menarik untuk dibaca?"
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber: http://www.flickr.com/photos/awantimur/3672028160/"][/caption] SESEKALI bermainlah ke toko buku. Tak perlu yang besar-besar, yang dekat rumah saja. Perhatikan bagaimana buku-buku disusun berdasarkan selera pasar. Cerita tentang anak desa yang sukses di kota, drakula yang dipuja dan dicinta manusia, penyihir yang mengalahkan mereka yang jahat dengan tuah mantra, dan kisah cinta masyarakat muda urban begitu marak. Karena memang begitulah situasinya. Begitu satu buku meledak di pasaran sehingga laris dan banyak dibaca, maka dengan segera akan diikuti oleh terbitnya buku-buku bertema sejenis. Seluruh kapital penerbit akan diguyurkan ke sana, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membanjiri pembaca dengan bacaan yang setema. Sebagai dampaknya, buku-buku jenis lain, yang barangkali penting dan dibutuhkan pembaca, semisal buku puisi, justru tidak diterbitkan dengan alasan tidak memenuhi kuota 3000 eksemplar. Pembaca dibatasi pilihannya oleh karena prinsip "bestsellerism" yang berlaku di toko buku. Tidak perlu merutuk "bestsellerism". Itu memang ombaknya zaman. Tetapi yang mencuat dari hasil kunjungan ke toko buku itu adalah, di manakah buku sastra berada di toko buku? Saya memberi artian bebas pada buku sastra sebagai buku yang memiliki pengaruh kepada kehidupan dan manusia pembacanya, fungsinya bukan hanya hiburan tetapi juga pengetahuan, terutama berkaitan dengan peningkatan buah budi kemanusiaan. Di manakah buku-buku sastra itu di toko buku? Saya seringkali menemukannya terpencil. Di pojok. Di antara timbunan buku-buku. Gatal untuk bertanya, masihkah sastra menarik bagi pembaca? Sebenarnya tahun-tahun belakangan ini, buku-buku sastra semakin mudah hadir. Dengan maraknya usaha penerbitan buku, tidak hanya di Jakarta juga daerah dan kemajuan dunia cyber membuat karya sastra tidak punya hambatan lagi untuk terbit. Bila karya sastra yang tidak bisa terbit lewat jalur penerbit, kini bisa terbit karena dibiayai sendiri oleh pengarangnya, dicetak dan didistribusikan dengan prinsip Print-On-Demand, atau tampil di dunia cyber, entah di facebook, multiply, cybersastra, puisi-indonesia, situseni, wordpress, blogger, kompasiana, fiksiana dll.) Tapi lagi-lagi pertanyaannya, masihkah sastra menarik bagi pembacanya? Untuk menjawab pertanyaan itu, sejenak kita perhatikan hubungan sastra dan pembacanya. Saat membicarakan sastra, entah itu dalam proses penciptaannya, hasil akhir penciptaannya, hingga penilaian di tangan media atau kritikus sastra, pembaca selalu didudukkan paling akhir/belakang. Pembaca hanya diberikan porsi kecil: “sekedar penggembira yang berdiri di pinggir jalan” alias sekedar pembeli. Apa yang terjadi di jagad sastra, yang sebenarnya amat menarik untuk diungkap, senantiasa berjarak dengan pembacanya. Sebagai contoh, sudah terlalu lama para pembaca disuguhi perdebatan demi perdebatan, semisal pengertian sastra oleh para sastrawan sebagai pelaku maupun kritikus sastra. Mulai dari sastra yang baik adalah sastra yang indah, yang kemudian dikoreksi oleh sastrawan Lekra bahwa sastra yang baik adalah sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, mudah dipahami petani dan buruh, serta membangkitkan semangat hidup mereka. Masing-masing pihak yang berdebat, kemudian di penghujung hari, tahu-tahu saling meniadakan. Pembaca hanya diwarisi oleh para sastrawan kisah dendam dan sakit hati di masa lalu, padahal pembaca sebenarnya, seperti halnya kebanyakan masyarakat umum, berjarak dengan sepotong realitas zaman tersebut, yang hingga kini masih diselimuti sisi gelap. Di situasi yang tak jelas, saat pembaca membaca Horison Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh sastrawan Taufiq Ismail dan kawan-kawan, tidak pembaca temukan nama-nama sastrawan Lekra seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun Sitor Situmorang. Padahal, ketiga nama itu sebaiknya dicatat dalam sejarah perpuisian Indonesia. Begitu pula nama-nama sastrawan eksil. Begitupun saat ada upaya dari Linus Suryadi AG untuk mengumpulkan puisi-puisi yang ditulis oleh para sastrawan terkini dalam edisi Tonggak, sejumlah nama penulis puisi tidak muncul. Atau contoh terkini, misalnya, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011, mana ada pembaca yang tahu. Yang pembaca kemudian tahu dari 5.506 penulis/sastrawan yang tercatat, tidak lebih dari sepuluh persen yang tercatat dalam buku-buku sejarah sastra yang kini beredar di sekolah-sekolah. Situasi ini tentu membuat pembaca sulit menangkap utuh seperti apakah sastra yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini tentu saja merugikan dan semakin memberi jarak sastra dengan para pembacanya. Padahal bagi pembaca, elemen paling penting dalam karya sastra, baik yang diusung oleh sastrawan yang percaya seni untuk seni, seni untuk rakyat, seni beraliran realisme sosialis, seni beraliran humanisme universal, ataupun karya sastra yang lahir dari sastra kanon, bacaan liar, sastra cina peranakan, sastra populer, roman picisan, sastra marginal, sastra feminis, sastra wangi, dan sekarang malah ada sastra koran, sastra cyber, dan masih banyak lagi, adalah nilai-nilai apa yang diusungnya, yang utama adalah nilai-nilai yang dapat meningkatkan buah budi kemanusiaan. Bukan pada ideologinya, siapa yang melahirkan, media lahirnya, dan lain-lain. Kondisi ini tentu patut disesalkan. Selama ini juga, sastra masih berjarak karena media (buku-buku, koran, majalah, internet) yang sedianya memuat karya-karya sastra itu meski mulai berjamuran sulit diakses oleh pembaca karena minimnya info yang ada atau kesulitan yang dihadapi oleh para pengelolanya. Pembaca sudah menyaksikan sendiri, matinya rubrik sastra di koran/televisi/radio, terbatasnya jumlah buku sastra yang diterbitkan baik judul maupun jumlah, situs yang tidak awet dan nyaris semua tercerai berai di jagad maya. Eksposur sastra dari karya-karya sastrawan, mulai dari sastrawan jadul sampai sastrawan cyber masih sulit mencapai pembaca. Namun sungguhpun jarak itu senantiasa ada, sastra tetap menarik bagi pembaca. Dari karya-karya seperti Godlob, Khotbah di Atas Bukit, Dilarang Mencintai Bunga-bunga, hingga Atheis, pembaca berdialog dengan karya itu tentang religiositas dan pergolakan batin di dalamnya. Dari karya Tetralogi Buru yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, pembaca berdialog tentang citra manusia Indonesia saat berada di bawah kesewenang- wenangan sistem yang jahat. Pembaca belajar tentang emansipasi, perlawanan, dan pembebasan dan mengamini bahwa "masalah sastra adalah manusia dalam kehidupannya" seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, pembaca berdialog dengan suka cita alam dan duka cita kemanusiaan. Hanya saja, sastra yang selalu didengung-dengungkan pembaca masih karya-karya itu saja, masih karya-karya yang tidak menggambarkan kekayaan sastra Indonesia seutuhnya dimana ada Sutardji Calzoum Bachri, Widji Tukul, Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto, dan lain-lain. Sebagai seorang pembaca, saya mengidamkan sastra Indonesia bisa lebih dekat lagi, lebih intim lagi. Biarpun harus berjuang untuk bersuara di tengah hiruk-pikuk kisah anak desa yang sukses di kota, drakula yang jatuh cinta, hingga penyihir sibuk memberi mantra, semoga sastra tahu bahwa ia selalu dicintai dan dibaca oleh pembacanya. [dam] * Diolah dari opini lama saya di depan komunitas Kedai Sastra Ilalang, "Masihkah Sastra Menarik Bagi Pembaca?", 5 Januari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H