Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Pantaskah Kita Bersikap Netral?

10 Juni 2014   19:57 Diperbarui: 9 November 2022   16:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tempat tergelap di neraka menanti mereka yang mempertahankan kenetralan di saat krisis moral terjadi (Pixabay)

"The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis." - Dante Alighieri (Tempat tergelap di neraka menanti mereka yang mempertahankan kenetralan di saat krisis moral terjadi)

Demikian kutipan dari penulis Dante Alighieri. Banyak orang kemudian mengartikan krisis moral yang dimaksud penulis Italia ini adalah perang, rasisme, dan bentuk-bentuk diskriminasi, dan korupsi. Banyak orang juga kemudian mencoba mengartikan kenetralan dengan sikap diam, tidak berbuat apa-apa, berpangku tangan.

Beragam tafsir atas kutipan itu tidak mengurangi esensi bahwa ada persoalan yang harus segera disikapi di saat krisis dan kenetralan bukanlah solusi.

Saya berpikir kutipan tadi relevan untuk membaca situasi politik di Indonesia saat ini, hari ini. Ketika krisis moral terjadi di dalam kehidupan kita: diskriminasi, korupsi, penyeragaman, oligarki yang sudah tidak malu-malu ditunjukkan, dan bahkan dibanggakan. Ketika orang beribadah tidak lagi dilindungi, ketika orang berusaha tidak lagi mendapat kepastian, ketika pembunuhan dibenarkan, inilah krisis moral paling buruk.

Di saat krisis seperti ini, saya bertanya kepada diri saya sendiri: masih pantaskah netral? Masih pantaskah berdiam diri?

Ternyata saya sudah tidak bisa lagi bangga menjadi swing voter kalau situasinya sudah demikian genting. Saya sudah tidak bisa lagi diam melihat kenyataan buruk ini. Ini saat yang tepat untuk mengambil pilihan: saya harus ikut memperjuangkan ke-Bhinneka Tunggal Ika dan tegaknya hukum yang sama bagi semua orang.

Saya sendiri baru bisa menetapkannya kemarin, tepatnya pagi hari, 9 Juni 2014, sebulan sebelum pilpres. Selama ini saya berusaha cermat, mencari masa depan terbaik buat saya dan keluarga saya.

Memang, meskipun terdengar naif, tapi itulah sejatinya makna pilihan kita. Pada saat berada dalam kotak pemilihan nanti, saat kita berdiri sendiri dan di tangan kita cuma ada kertas pilihan, sesungguhnya kita memilih bukan untuk Indonesia, kita memilih untuk masa depan kita sendiri.

Saya berpikir sejumlah isu penting yang harus terpenuhi: 1/. terjaminnya kehidupan Indonesia yang menjunjung ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dan 2/. kepastian hukum yang sama bagi semua orang. Dua isu penting ini sangat relevan untuk saya dan keluarga saya yang minoritas dan posisinya lemah di hadapan orang yang berkuasa.

Namun manakala saya menonton Debat Capres tadi malam dan menyaksikan kedua kandidat pasangan capres berbicara, saya lalu berpikir memang seharusnya ada lagi isu ketiga yang jauh lebih penting: kepemimpinan yang memberi teladan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun