Mohon tunggu...
Humaniora

Surat Kecil untuk Bumi Pertiwi

30 September 2016   23:15 Diperbarui: 30 September 2016   23:32 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia, 19 September 2016

Kepada Bumi Pertiwi Indonesia

Jalan Indonesia, Kecamatan Indonesia, Kota Indonesia,

Provinsi Indonesia

Di Indonesia

Halo Indonesia, bagaimana kabarmu hari ini? Sudah 71 tahun sejak tahun 1945 kau masih berdiri dengan kokoh. Aku turut bahagia melihatmu.

Hai Indonesia, apakah kamu tahu? Kamu tampak sangat membanggakan. Kamu begitu luar biasa dihadapan negara-negara yang lain. Kau tampil dengan alam yang sangat mempesona, langit yang biru menghias, udara yang sejuk, sungai yang mengalir, air terjun, tanah yang subur, laut membentang luas, jajaran gunung yang membentang dari sabang sampai merauke, keajaiban alam Indonesia yang menakjubkan, sangat menarik perhatian bagi orang dari negara lain. Bagian dari dirimu bahkan dijadikan sebagai tujuan objek wisata bagi orang-orang dari luar negri, seperti Pantai Kuta, Tanah Lot, Bunaken, Raja Ampat, bahkan salah satu bagianmu dijadikan sebagai 1 dari 7 Keajaiban Dunia, yaitu Candi Borobudur. Sejarahmu sangat hebat, mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi dirimu, yang mereka junjung tinggi. Peninggalan sejarah banyak menghias dirimu, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Gedong Songo, banteng-benteng bekas perjuangan, dan masih banyak lagi. Itu semua menghiasi tubuhmu dan membuatmu menarik.

Tetapi, apakah kau tahu, Indonesia, apa yang kulihat sekarang ini? Aku melihat banyak hal yang mengerikan. Sekarang ini, banyak sekali orang yang membuang sampah di sungaimu yang indah itu, membuat sungaimu menjadi buruk dan bau, dan akhirnya terjadi banjir. Udara terasa semakin panas, akibat dari pencemaran udara oleh asap-asap. Tidak hanya itu, laut Bunaken yang dulu menjadi tempat yang berisi terumbu karang yang menakjubkan, kini hancur, mereka banyak yang dirusak, terumbu karang dicoret. Bekas-bekas candi yang bersejarah juga dirusak, dicoret-coret. Bahkan Pantai Kuta yang menjadi tempat idaman para wisatawan, kini peminatnya menjadi berkurang, karena sampah yang banyak dan mengotori pantai itu. Siapa yang salah? Aku? Kamu? Pemerintah? Orang dari luar negri? Para pendahulu? Atau masyarakat sekarang ini? Siapa yang bersalah! Dunia ini serasa sudah berakhir, semua hilang ditelan kehancuran.

Aku sedih, sangat sedih melihat semua ini terjadi. Semua berubah, kepedulian akan lingkungan berkurang sangat banyak, digantikan oleh teknologi seperti handphone. Berita tentang alam ini juga diganti menjadi berita tentang teknologi dan politik. Bahkan teknologi seperti menguasai masyarakat zaman sekarang ini. Apakah perkembangan teknologi ini bersalah? Tentu TIDAK! Bukanlah teknologi yang bersalah, tetapi masyarakat yang lebih memperhatikan teknologi daripada lingkungan alam sekitarnya. Kepedulian mereka tidak ada untuk lingkungan, padahal mereka hidup di lingkungan dan dengan lingkungan. Mengapa? Mengapa ini terjadi? Masyarakat lebih tertarik pada teknologi daripada lingkungan alam yang ajaib ini. Teknologi seperti menjadi kabut tebal yang menghalangi pandangan kita terhadap alam ini.

Aku tahu, tidak semua bagian dari dirimu yang rusak. Aku ingin kamu menjadi seperti dulu lagi, kembali menjadi Bumi Pertiwi yang asri, indah, ajaib, dan tentunya dirimu yang dikenal dan dibanggakan oleh banyak orang. Aku berharap agar masyarakat menjadi lebih peduli lingkunguan, tidak hanya pada teknologi, juga agar KITA, pemerintah dan masyarakat, bekerja sama untuk mengembalikan keasrian dan kejayaan Bumi Indonesia.

Hai Indonesia, sekian dulu surat dariku ini. Semoga harapanku dan harapanmu menjadi kenyataan, semoga kamu menjadi pribadi yang lebih hebat lagi. Aku berharap saat kita bertemu, kau sudah menjadi pribadi yang lebih baik dan membanggakan. Sekian, sampai jumpa.

Salam sayang dari penggemarmu

Dam’s

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun